Friday, August 26, 2016
Tafsir cerita Ramayana
Tafsir Ramayana
Bambang Udoyono
Siapa tak kenal dengan cerita Ramayana? Mungkin saja anda belum pernah membaca cerita lengkapnya tapi saya yakin paling tidak anda tahu tentang cerita itu. Bagi mereka yang masih tinggal di lingkungan sosial berbudaya Jawa atau Sunda atau Bali mungkin memahami cerita ini dengan baik. Saya sudah membacanya sejak kecil. Kemudian ketika beranjak dewasa saya pernah nonton pertunjukan wayang kulit dan wayang wong dengan cerita ini. Ketika saya menjadi pramuwisata saya mempelajari cerita yang dipahatkan di dinding candi Prambanan.
Ada sebuah tafsir tentang cerita ini yang saya pernah baca. Saya membacanya di sebuah koran tapi saying sekali saya sudah lupa nama korannya apalagi nama penulisnya. Meskipun demikian ada satu poin yang masih saya ingat sampai sekarang.
Penulis ini manafsirkan sebuah episode dalam cerita ini dengan sangat menarik sehingga saya masih ingat sampai sekarang. Rama dan istrinya Sinta sedang berada di sebuah hutan dengan ditemani oleh Lesmono, adik laki laki Rama ketika Sinta melihat seekor kijang yang disebut dalam cerita itu sebagai kijang kencana alias kijang emas. Kijang cantik itu lewat di dekat mereka dan menarik perhatian Sinta. Dia lantas meminta suaminya menangkap kijang tersebut. Rama meminta Lesmono menjaga kakaknya dan dia lantas memburu si kijang. Pada awalnya dia ingin menangkap si kijang hidup hidup tapi ternyata kijang itu mampu berlari dengan sangat cepat sehingga Rama tidak mampu menangkapnya. Dia berlari menjauhi Sinta dan Lesmono. Rama terus mengejar sehingga mereka tidak terlihat lagi oleh Sinta dan Lesmono.
Rama kehilangan kesabaran dan lantas memutuskan untuk memanah kijang itu. Dibidiknya si kijang dan tak lama kemudian anak panah melesat dan mengenai si kijang. Ketika anak panah mengenainya si kijang menjerit keras memanggil nama Sinta lalu jatuh tersungkur dan berubah ujud menjadi seorang raksasa. Ternyata dia adalah Kala Marica, seorang prajurit dari kerajaan Alengka yang disuruh oleh rajanya Rahwana untuk menggoda Rama dan Sinta. Kala Marica berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Dia sudah memisahkan Rama dari Sinta.
Sementara itu Sinta yang dijaga oleh Lesmono mendengar suara jeritan yang memanggil namanya dari kejauhan. Suara itu tidak terlalu jelas tapi terdengar namanya dipanggil. Sinta lalu meminta Lesmono untuk menyusul kakaknya karena dia mengkuatirkan keselamatan Rama.
Pada awalnya Lesmono menolak. Dia sangat yakin dengan kesaktian kakaknya. Dia yakin tak seorangpun mampu mengalahkan Rama. Tapi Sinta tetap berkeras memerintahkannya mencari Rama. Akhirnya Lesmono mengalah tapi dengan syarat Sinta tidak akan keluar dari garis yang akan dia buat. Lesmono kemudian membuat garis melingkar di tanah. Dia menekankan agar Sinta jangan sekali sekali melangkah keluar dari garis itu, apapun yang terjadi. Sinta berjanji mematuhinya. Setelah itu Lesmono pergi menyusul Rama.
Tidak lama kemudian muncul seorang pengemis tua mendatangi Sinta. Dia meminta sedekah dari Sinta. Ketika dia akan melangkahi garis yang sudah dibikin oleh Lesmono seketika dia langsung jatuh terjengkang ke belakang seolah olah ada kekuatan yang mendorongnya. Sinta merasa iba lantas dia melangkah keluar dari garis untuk menolong pengemis tua dan memberinya sedekah. Si pengemis tua mendadak berubah menjadi seorang raksasa yang gagah perkasa yang lantas memaksa Sinta mengikutinya. Dialah Rahwana, raja raksasa dari Alengka yang mencintai Sinta dan ingin memperistrinya meskipun Sinta sudah bersuami. Kemudian Sinta dibawa dengan paksa ke Alengka. Inilah penyebab perang besar antara Rama yang memiliki bala tentara kera dengan Rahwana dengan bala tentara raksasanya.
Penulis yang saya lupa namanya tadi menafsirkan peristiwa penculikan ini dengan menarik. Menurut dia garis yang dibikin oleh Lesmono adalah metafora dari norma agama. Wanita dibatasi perilakunya oleh norma agama. Ketika dia berada di dalam garis itu dia akan tetap selamat. Tetapi kalau dia melangkah keluar dari garis itu alias melanggar norma agama maka dia akan mendapatkan malapetaka yang disimbolkan dengan diculik raja raksasa.
Saya sangat setuju dengan tafsir penulis ini. Saya perhatikan di dalam masyarakat banyak sekali wanita yang menjadi ruwet hidupnya karena melangkah keluar dari norma agama. Sebaliknya saya melihat banyak sekali wanita yang tetap aman bahkan hidup mulia karena tetap berada di dalam garis itu.
Tafsir lain adalah tentang kijang kencana. Dia menafsirkannya sebagai harta duniawi. Wanita bisa mendorong suaminya terlalu bernafsu mengejar harta duniawi sehingga berakibat negatif. Bukan kebahagiaan yang didapat tapi justru malapetaka.
Apakah demikian maksud penulis cerita Ramayana? Hanya Tuhan dan dia yang tahu dengan pasti. Meskipun demikian karya sastra memang penuh dengan metafora. Karya sastra terbuka terhadap tafsir. Jadi sah sah saja kita menafsirkan karya sastra. Setelah tersebar maka karya sastra memang milik publik yang bebas menafsirkan bahkan menciptakan tambahan atau pengurangan seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita.
Labels:
Alengka,
Lesmono,
Rahwana,
Rama,
Ramayana,
Sinta,
tafsir Ramayana,
wayang Jawa,
wayang kulit,
wayang wong
Subscribe to:
Comments (Atom)