Wednesday, October 12, 2016

Catatan tentang cerita fiksi dan pendidikan karakter.


Pagi ini aku melihat postingan Mas Hernowo tentang sebuah artikel di Kompas yang berjudul “Cerita Fiksi dan pendidikan Karakter’ oleh Conrad William Watson seorang dosen ITB. Karena kemarin saya belum sempat membaca artikel tersebut maka terdorong oleh postingan mas hernowo itu saya lantas membacanya dengan cermat.
Sebenarnya inti utama artikel tersebut tidak baru buat saya.  Ketika saya masih di smp almarhum bapak sudah berkali kali berkata bahwa cerita fiksi sangat berpengaruh pada karakter manusia.  Cerita fiksi yang dominan pada satu bangsa akan membentuk karakter bangsa tersebut. Beliau memberi contoh beberapa bangsa yang terpengaruh oleh karya fiksi.  Eropa, India, Cina, Jepang, dipengaruhi oleh karya sastra para pujangga mereka.  Jawa kemudian dipengaruhi oleh karya banyak bangsa dalam banyak gelombang. 
Meskipun demikian penjelasan rinci bagaimana pengaruh itu bekerja memang baru saya baca kali ini.  Dalam artikel tersebut ditulis :
....“menonton film atau drama fiksi dapat memicu pelepasan endorfin, senyawa kimia yang menimbulkan perasaan senang...dan meningkatkan ikatan dengan orang sekitar”.
 Kemudian Dunbar menjelaskan bagaimana dongeng dan cerita rakyat mewariskan kebajikan atau menanamkan nilai luhur yang lain, dan betapa penting proses ini untuk “kohesivitas sosial” (kerapatan anggota komunitas atau pakumbuhan satu sama lain).  Apabila kita merenungkan sebentar saja penemuan Dunbar ini, kita dapat menginsafi pentingnya kini usaha membentuk karakter bangsa. (Kompas 12 Oktober 2016)
William lantas menganjurkan orang tua untuk menuturkan cerita kepada anak anaknya sebagai upaya pembentukan karakter.  Para guru juga diharapkan melakukan kegiatan serupa.
Saya punya harapan atau impian agar upaya pembentukan karakter lewat cerita ini ditindak lanjuti oleh semua pihak – pemerintah, pers, penulis, penerbit, orang tua, guru dll dengan sangat serius , terencana, well coordinated. Sebagai pemimpinnya ya mestinya RI 1.
Dengan kata lain pemerintah dan berbagai pihak tsb melakukan kegiatan besar berupa rekayasa kebudayaan dengan fokus membangun literatur bangsa yang akan bisa mempengaruhi karakter bangsa di masa depan.
Sudah saatnya pemerintah merumuskan dengan rinci kebudayaan semacam apa yang kita inginkan.  Sudah saatnya kebudayaan direkayasa, tidak dibiarkan berjalan sendiri apalagi dikuasai, dibentuk oleh orang asing lewat film, games, cerita cerita yang kurang bermutu dan bahkan membentuk karakter yang negatif.
Sudah tentu bakal ada perbenturan opini, pendapat dan kepentingan. Sudah pasti ada pihak yang diuntungkan dengan keadaan sekarang yang akan berupaya menjegal apabila upaya ini dianggap sebagai ancaman kepada kepentingan mereka.
Pengusaha hitam yang berbisnis prostitusi, pornografi pasti tidak mau masyarakat kita menjadi relijius, bermoral beradab karena itu artinya pasar mereka bakal menciut dan bahkan terancam bangkrut.  Maka mereka akan berupaya menciptakan opini yang menggambarkan upaya ini sebagai langkah yang salah, langkah mundur, dan segala macam cap yang negatif.  Karena itu jurus mereka harus diantisipasi dengan tepat.
Pembangunan karakter bangsa adalah kepentingan semua golongan, semua agama, semua kelas sosial, semua suku.  Oleh karena itu sebaiknya semua pihak bekerja sama saling mendukung mencapai tujuan sebagai bangsa yang memiliki karakter : relijius, jujur, pekerja keras (tidak bermental jalan pintas sehingga bermimpi menggandakan uang dsb), rasional (sehingga tidak percaya klenik, dukun dsb), toleran (sehingga tidak lagi saling tuding antar golongan dan bahkan berkelahi),  egaliter (sehingga tidak arogan, tidak merasa golongannya, sukunya yang paling maju, paling unggul), sopan (sehingga tidak berperilaku kasar) dan beberapa sifat positif lain.
Buat para penulis termasuk blogger inilah lahan yang masih terbuka sangat luas buat diolah.  Inilah tantangannya , bagaimana menciptakan cerita yang mampu mempengaruhi opini masyarakat.  Di masa lalu banyak karya sastra yang membuat nenek moyang kita menjadi bersifat feodalis.  Akibatnya masyarakat percaya bahwa ada satu golongan tertentu yang lebih tinggi derajatnya daripada semua golongan.  Kelas elit itulah yang berhak memerintah secara turun temurun.  Kepercayaan ini bertahan ribuan tahun di banyak negara termasuk di Indonesia.  Bahkan detik inipun masih terasa pengaruhnya karena masih banyak orang yang percaya bahwa pemimpin adalah harus keturunan pemimpin juga. 
Sekarang saatnya menulis karya yang tidak terasa menggurui karena banyak orang yang kurang tertarik dengan karya yang terasa menggurui.  Meskipun demikian karya tsb mampu mencetak opini bahwa manusia adalah sederajat.  Dalam negara yang demokratis semuanya adalah sederajat.  Dalam masyarakat yang relijius semuanya sederajat. Hanya ketaqwaan sajalah yang membedakan derajat manusia di mata Allah.  Bukan harta, bukan pangkat, bukan jabatan.
Semoga akan lahir karya yang mengilhami masyarakat bahwa keberhasilan adalah hasil dari doa dan kerja keras, bukan dari jalan pintas. 
Saya lihat sebenarnya bukan hanya karya fiksi yang berpengaruh di masyarakat. Karya non fiksipun memiliki pengaruh yang kuat.
Artikel atau postingan di blog atau buku kisah perjalanan ke luar negri yang ditulis dengan segar, menarik tanpa bernada khotbah barangkali bisa memotivasi orang banyak untuk berperilaku tertib dan sopan ketika sedang berlalu lintas.  Ini karena masyarakat kita punya mentalitas rendah diri. Merasa kalah dengan orang luar negri. Maka mereka cenderung meniru perilaku orang luar.
Kisah sukses pebisnis, ilmuwan, musisi, penulis, seniman, politisi dan lain lain barangkali bisa menginspirasi orang untuk meniru cara mereka meraih sukses dengan cara yang rasional, bukan dari upaya menggandakan uang atau memakai jimat atau melakukan saran dukun.
Bagaimana dengan orang yang tidak bisa menulis?  Apakah mereka bisa berperan? Tentu saja bisa. Saya pernah menonton sebuah liputan di televisi tentang upaya seseorang membangun kebiasaan membaca di kalangan anak anak dengan perpustakaan keliling.  Seribu satu upaya bisa dilakukan orang sesuai dengan kemampuan dan tantangan yang dihadapi oleh lingkungannya.
Semoga semakin banyak orang tergugah melakukan upaya positif konstruktif.  Tidak perlu menunggu. Segeralah berpikir untuk menemukan jalan menuju impian besar ini – membangun karakter bangsa yang unggul dengan karya fiksi dan non fiksi.