Saya sedang menulis buku ketika telepon genggam saya
menerima order untuk memandu city tour di kota Jakarta pada tanggal
28 Mei 2018. Saya mendapat informasi
bahwa tamunya bakal menginap di Hotel FM di dekat bandara. Program city
tour Jakarta ini sebenarnya sudah tidak asing lagi buat saya tapi ada
beberapa tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya seperti Museum Art 1
dan rumah makan Tugu Paleis di Menteng.
Pada hari H saya berangkat pagi pagi sekali. Sesudah subuh saya langsung memesan Gojek
menuju ke terminal Kayu ringin. Jam 6.00
pagi bus Damri berangkat dari sana dan di luar dugaan saya, jam 7.00 pagi saya
sudah sampai di hotel Amaris di dekat bandara.
Saya harus turun di sana karena bus Damri tidak melewati hotel FM. Jadi dari depan hotel Amaris saya naik gojek
lagi sampai ke hotel FM. Jam 7.15 saya
sudah sampai di hotel tersebut. Terlalu
pagi sebenarnya karena tour dimulai
jam 9.00. Tapi tidak masalah, saya bisa mengisi waktu luang dengan memotret
hotel itu untuk saya unggah di Google map
lalu membuat reviewnya.
Sekitar jam 8.00 ada dua orang bule yang keluar dari
restaurant dan duduk di lobby. Saya kira
mereka tamu saya lalu saya sapa. Ternyata dugaan saya meleset. Jam 9.00 lewat sedikit ada dua orang masuk ke
lobby. Salah satunya perempuan bule yang
agak tua dengan anak laki lakinya yang tampangnya tidak terlalu bule, kulitnya
agak mirip orang Asia. Awalnya saya agak ragu tapi setelah bertegur sapa
ternyata mereka adalah tamu saya. Mereka
orang Belanda jadi saya berbicara dalam bahasa Inggris.
Tour dimulai dengan kunjungan ke Kota Tua. Di dalam mobil segera terjalin obrolan akrab
dengan ibu dan anak. Mereka ramah sekali
sehingga obrolan dengan mudah mengalir lancar jaya. Si anak laki laki yang
bernama Ruben adalah seorang manajer sebuah perusahaan travel di Bangkok
sedangkan ibunya, namanya Nada, adalah seorang seniwati. Dia menguasai seni
lukis dan seni kriya, terutama keramik. Namun pekerjaan utamanya adalah
mengelola sebuah hotel kecil di daerah Bourdeau di Perancis selatan. Di sana dia memiliki sebuah rumah tua dari
abad ke 18 yang disewakan kepada tamu tamu. Ketika sedang penuh tamu dari kota besar
seperti Paris maka dia tidur di rumah mobilnya. Dia memiliki sebuah rumah mobil
yaitu kendaraan yang berbentuk seperti bus yang dilengkapi dengan kamar mandi,
kamar makan , tempat tidur dan lain lain.
Pagi itu Kota Tua sudah padat dengan pengunjung yang
kebanyakan para pelajar dari Jakarta dan sekitarnya. Seperti bisa paparan saya tentang kawasan itu
diinterupsi oleh mereka yang ingin berfoto dengan tamu saya. Maklumlah
kebanyakan orang Indonesia masih heran melihat orang bule. Hapir semua mata menatap tamu saya dengan
ekspresi yang menunjukkan keheranan. Di
dalam museum Fatahillah suhu udara terasa panas meskipun tidak tersengat
matahari langsung. Beruntung tamu saya
menyukai Asia dengan suhu panasnya.
Sekitar satu jam kami di sana.
Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke museum Art 1. Saya belum pernah ke sana sebelumnya. Untunglah di jaman now ini sudah ada mbah Gugel yang memudahkan saya mencari informasi
dan lokasinya. Kami menuju ke sana dengan dipandu oleh peta mbah Gugel. Sopirnya juga cukup mahir memakai paduan peta
mbah Gugel. Meskipun harus mencari
lokasi kami sampai juga di museum tersebut dengan lancar jaya.
Dari depan bangunan museum ini nampak biasa bisa
saja. Tidak ada yang nampak istimewa
dari penampilan depannya. Seorang satpam
menyambut dan mengarahkan kami ke lantai dua.
Di sana sudah banyak anak anak muda, mungkin pelajar atau mahasiswa yang
agaknya sedang mengikuti sebuah acara diskusi.
Beberapa karya seni kriya menghiasi ruangan penerima tamu. Ada replika mobil tua yang dibikin bulat
seperti bola. Nada berkomentar gagasan ini pastilah meniru gagasan seniman
Perancis. Tiket masuk ke museum ini mahal juga dibanding tempat wisata lain di
Jakarta. Setiap orang harus membayar IDR
150 000, kecuali guide.
Seorang pemandu lokal memandu kami naik ke lantai
berikutnya. Ruang pamernya cukup luas
dan nyaman. Udara dan sinar masuk dengan
cukup sehingga suhunya nyaman dan karya terlihat dengan baik. Di sana di pajang berbagai karya seni
kontemporer dari beberapa pelukis Indonesia.
Ibu Nada sangat antusias menikmati karya karya
tersebut. Menurut dia karya para pelukis Indonesia yang dia lihat itu sudah
berkualitas sangat baik. Pemandu lokal
hanya memberi informasi ala kadarnya saja tentang karya karya tersebut. Saya bukan seorang seniman lukis atau kriya
sedangkan tamu saya adalah seorang seniman, jadi saya pikir lebih baik
memancing pendapatnya tentang karya seni itu.
Lalu saya sampaikan sebuah kalimat pancingan.
‘It
is hard to understand contemporary art like this’
Seketika muncullah jawaban yang saya kehendaki. Dia lantas menerangkan dengan panjang lebar.
‘You
don’t have to understand these works.
The most important thing is interaction between these art work and you.
Now what do you think of this one?’
Dia menunjuk sebuah lukisan yang buat saya nampak
abstrak tapi indah. Di kanvas itu hanya ada sapuan warna hijau muda di bagian
bawahnya dan putih cerah di bagian atasnya. Nampak juga beberapa detil yang
tidak jelas bentuknya. Kesan saya
melihat itu adalah perasaan cerah ceria, gembira. Ini saya sampaikan kepada Nada. Dia menafsirkannya sebagai sumber air yang
membuat segar. Kemudian kami menatap
lagi sebuah lukisan yang tidak kalah anehnya di mata saya. Bagian bawah lukisan itu hanya ada warna
hitam kebiruan (blue black). Warna
itu memenuhi kira kira 75% dari bidang kanvas.
Di bagian atas agak kurang gelap tapi ada gambar lingkaran merah
gelap. Agaknya seperti lukisan malam
purnama yang suram dan gelap. Saya merasa tidak nyaman melihat lukisan tersebut
dan ingin cepat cepat meninggalkannya.
Tapi tamu saya menanyakan kesan saya tentang lukisan itu.
‘It
is frightening. It remids me to a bloody
political conflict in Indonesia in 1965.
I was a kid at that time. I did not know what was going on, but I felt
something wrong was happening. My mother
told me to go home immediately after school and not to play far from home. Some years later I realize that there was a
conflict that took many lives.’
‘See, a work of art can reveal a trauma’
‘You
are right. I never saw any violence but
I felt it. I felt the atmophere of
conflict. I felt the anger and the fear
among people.’
Saya berkata demikian sambil menjauh dari lukisan yang
menyeramkan itu. Memang benar kata dia
bahwa ada interaksi antara karya seni dengan kita, dan itulah yang
terpenting. Kita tidak usah repot
memahaminya. Kita hanya perlu merasakannya.
Setelah itu ada beberapa karya lagi yang membuat Nada
dan saya terkesan. Dan dari semua tempat
wisata yang kami kunjungi hari itu, museum Art 1 adalah yang paling
berkesan. Bahkan di sore hari dalam
perjalanan kembali ke hotel kami masih membicarakannya. Itulah highlight hari itu.
Jadi guiding
hari itu berhasil dengan baik. Bukan
karena saya mampu menerangkan dengan baik tentang karya seni di museum tersebut
tapi karena saya berhasil memancing tamu mengutarakan gagasan dan perasaanya
tentang karya seni tersebut. Guiding memang bukan lecturing. Saat guiding
peran kita bukan dosen dan tamu bukan murid kita. Guiding
adalah memuaskan tamu kita. Kadang dengan
cara menempatkan dia sebagai guru kita. Terutama
ketika berhadapan dengan seseorang yang lebih tahu daripada kita. Kemarin itu saya hanya perlu menjelaskan
siapa Basuki Abdullah, Sudjojono, dll.
Tapi saya tidak perlu mengajari tentang substansi lukisan mereka karena
dia lebih mampu menjelaskan dengan mantap.
Dengan demikian dia puas dan kita mendapat wawasan baru.
