Menulis
bersama Kagama
Bambang
Udoyono
Ketika mendapat informasi tentang acara yang bertajuk
Kagama menulis dengan topik story telling saya langsung tertarik. Topik dan komunitas itu membangkitkan rasa
ingin tahu saya. Lagipula tempatnya tidak susah dijangkau karena dekat.
Maka pada hari Sabtu pagi tanggal 12 Januari 2019 saya
berangkat ke acara ini di kampus MM UGM di Saharjo, walaupun pada saat yang sama ada acara sepeda
santai di Depok bersama teman teman SMA yang sudah lama akrab. Lalu lintas hari Sabtu pagi tidak padat
sehingga sebelum acara mulai saya sudah sampai di kampus tersebut.
Kesan sepintas dari luar lumayan bagus juga kampus
ini. Letaknya cukup mudah
dijangkau. Sayangnya halaman parkirnya
agak kurang luas untuk menampung banyak mobil.
Ketika ada acara yang dihadiri banyak orang agaknya mereka akan
kekurangan tempat parkir. Melangkah ke
dalam kampus kesan bagus makin terasa.
Kampus itu tidak mewah tapi fasiltasnya memadai. Di antara dua gedungnya ada tempat untuk
duduk santai. Di depan pintu ada orang
yang siap menerima tamu dna mengarahkannya.
Di dalam banyak ruang kelas yang mirip kelas saya di kampus Fisipol yang
di mBlimbingsari, dengan lantainya yang miring, makin ke belakang makin naik.
Memasuki ruang 502 nampak beberapa orang sudah duduk
santai di sana. Kesan pertama ruang itu tidak
terlalu luas tapi fasilitasnya cukup bagus. Saya lihat kursinya lumayan nyaman,
ada proyektor, layar dan meja yang lumayan luas dan nyaman. Sayangnya udaranya
agak pengap. Mestinya dari pagi dibuka dulu agar ada pergantian udara. Saya lantas berkenalan dengan beberapa orang
teman baru yang rata rata suka menulis.
Tidak lama setelah pembukaan dengan menyanyikan lagu
Indonesia raya acara dimulai. Kali ini
penyaji materi adalah Budi Setyarso yang sehari hari berprofesi sebagai kepala
redaksi Koran Tempo. Dia memaparkan
tentang story telling untuk wacana
non fiksi. Sebenarnya topik ini tidak
baru buat saya. Saya sudah menerapkan hal ini dalam buku saya. Meskipun demikian menyimak paparan dari
seorang jurnalis menarik juga. Menurut
dia prinsip penulisan berita ini bisa diterapkan dalam berbagai bidang.
Budi Setyarso membuka paparannya dengan memutar sebuah
video tentang Steve Job yang sedang melakukan launching produk Apple di tahun 2007. Ini adalah pilihan yang baik sekali karena
Steve Job memang selain dikenal sebagai pebisnis top dia juga dikenal sebagai
seorang public speaker terbaik
dunia. Presentasinya di product lauching apple ini dan juga
pidatonya di Universitas Standford sangat terkenal sehinga menjadi rujukan
orang sejagad yang ingin belajar public
speaking, pidato, presentasi, pokoknya berwacana. Singkat saja presentasi Steve Job tersebut
tapi sangat powerful. Dengan sedikit kata tapi dengan struktur yang
bagus, dengan bantuan tampilan visual yang excellent
dia berhasil memperkenalkan produk barunya. Berhasil di sini dalam arti
presentasi itu sukses dan sehingga sukses juga penjualan produknya. Setelah pemutaran video itu barulah Budi
memaparkan materinya.
Story
telling ini terdiri dari
tiga bagian. Bagian pertama yang biasa
disebut lead berfungsi memberi
informasi singkat tentang apa yang akan dibahas di dalam artikel itu. Ia juga berfungsi sebagai penarik agar
pembaca terus membaca artikel tersebut.
Karena itu ia adalah bagian terpenting.
Bagian ini harus bagus, informatif, menarik. Bagian ini cukup dengan satu alinea pendek
saja.
Bagian kedua adalah paparan rinci yang bisa terdiri
dari beberapa alinea. Bagian ini biasanya terpanjang karena berisi
rincian. Kemudian bagian ketiga adalah
penutup. Bagian ini tidak harus berupa
kesimpulan. Bisa saja sekedar satu paragraf yan menutupnya. Tanpa ini maka paparan terasa kurang lengkap
dan bahkan hambar. Jadi bagian ini
penting juga.
Masih menurut Budi bahasa yang dipakai menyampaikan
sebaiknya bahasa yang mudah dipahami, bukan bahasa yang membuat pusing
pembaca. Panjang kalimatnya sebaiknya
tidak lebih dari duabelas kata. Usahakan memakai bahasa Indonesia yang baik. Ragamnya tergantung pada siapa pembacanya dan
apa materinya. Pilihannya ada bahasa
ragam formal dan informal misalnya. Mana
yang dipakai terserah disuaikan audiensnya dan tujuan wacana itu.
Satu hal lagi yaitu unsur personal. Seperti dalam video Steve Job yang memaparkan
sejarah Apple, lalu baru memaparkan produk barunya dengan singkat, tidak masuk
ke detil teknis yang terlalu rinci. Jadi
kalau kita menulis artikel singkat tentang wisata ke Cina, misalnya, sebaiknya
paparkan pengalaman kita di sana, bukan sekedar fakta yang bisa dengan mudah
didapatkan di internet atau buku.
Paparan Budi diselingi dengan tanya jawab yang lumayan
seru. Salah satu pertanyaan yang menarik
adalah tentang framing. Seseorang bertanya bagaiman tentang framing.
Bukankah pers melakukan framing. Dengan lihai Budi Setyarso berkelit. Katanya dalam proses penulisan berita tidak
ada istilah yang namanya framing. Adanya materi yang dia paparkan itu, story telling untuk menceritakan
realita, bukan fiksi. Memang pernah ada kejadian
wartawan menulis berita fiktif, dia berikan beberapa contoh di Indonesia bahkan
di Amerika Serikat, tapi lantas ketahuan dan diberi sangsi. Meskipun demikian buat saya nampak jelas
bahwa pers melakukan framing. Ambil
contoh pers barat yang jelas jelas menggambarkan Islam selalu negatif. Jadi kesimpulan saya framing itu tidak dilakukan oleh redaksi, artinya pihak yang di
atas redaksi.
Setelah istirahat makan siang dan solat acara
dilanjutkan lagi. Dalam suasana serius tapi santai setelah paparan dan tanya
jawab selesai lantas dilanjutkan dengan praktek menulis. Satu hal yang jadi catatan saya di sini Budi
sebaiknya melakukan summing up alias
menyampaikan lagi ringkasan paparannya.
Cukup beberapa menit saja uraikan dengan singkat pokok pokok paparannya
baru masuk ke tugas menulis.
Salah satu peserta terlucu kemarin bernama Muha,
seorang alumni fakultas Kehutanan.
Beberapa celetukannya mengundang tawa kami dan menyegarkan suasana. Ternyata dalam tugas menulis dia juga bisa
melucu. Secara singkat dia menulis
pengalamannya sebagai pemijat. Dia berprofesi sebagai pemijat tapi bukan
sembarang pemijat. Salah satu clientnya
adalah mantan presiden Gus Dur. Dalam
tulisannya kemarin dia bercerita tentang seorang kakak kelasnya yang dia sebut
bernama si Kumbang. Kakak kelasnya
tersebut sangat arogan akibatnya mereka tidak memiliki hubungan yang
dekat. Delapan tahun setelah lulus tiba
tiba si Kumbang menelepon dengan sangat ramah.
Dia minta ikut Muha ketika memijat Gus Dur. Karena Muha baik hati keinginan itu
dikabulkannya. Maka suatu hari mereka berdua datang ke rumah Gus Dur. Si Kumbang ikut masuk ke rumah Gus Dur untuk
melihat Muha memijat. Ketika Muha sedang
memijat dia sangat terkejut karena si Kumbang mendadak mengenalkan diri kepada
Gus Dur sebagai wartawan dan minta wawancara.
Gus Dur menanggapi dengan asal asalan dan bahkan akhirnya tertidur. Si Kumbang nampak kecewa dan pergi sebelum
Muha seleai memijat. Buat saya cerita
Muha ini menarik karena ada kejutannya yaitu ketika temannya ternyata wartawan
yang mengakali Muha untuk mendapat kesempatan mewawancarai Gus Dur.
Sesi terakhir diisi dengan pembahasan tulisan para
peserta. Kami diminta membaca tulisan yang baru saja disusun lalu Mas Budi
membahasnya. Ada beberapa saran yang dia
sampaikan seperti masalah diksi, alinea, organisasi dsb.
Memang benar kata Budi Setyarso bahwa teknik story telling untuk non fiksi ini bisa
diterapkan untuk berbagai bidang. Untuk
iklan misalnya teknik ini bisa diterapkan. Hasilnya iklan akan terasa sebagai
sebuah cerita, bukan sebagai iklan.
Sudah hilang rasa iklannya tapi pesannya sampai. Iklan pariwisata juga
bisa memakai teknik ini dengan cerita tentang pengalaman melancong, tentang
sebuah destinasi wisata dsb.
Teknik ini bisa diterapkan juga di profesi saya
sebagai tourist guide dan tour leader dan memang sudah saya
praktekkan. Hasilnya tidak jelek.
Bayangkan betapa bosannya para wisatawan jika omongan tour guide dan tour leadernya tidak ada bedanya dengan
apa yang mereka baca di internet.
Perbedaan yang mereka cari, perpektif baru yang mereka harapkan
datangnya dari cerita tour guide dan tour leader dari perspektif personal
kita. Jadi potret kenyataan dari sudut
pandang kita. Saya punya banyak contoh,
beberapa di antaranya berikut ini.
Dalam perjalanan wisata Java-Bali overland kadang kita
harus bercerita sejarah perang dunia kedua.
Saya sering bercerita bahwa dulu di jaman kolonial di kota Magelang ada
seorang Jepang yang membuka toko di Pecinan bernama toko Matahari. Dia menjual
alat fotografi sekaligus melayani jasa pemotretan. Dia mampu berbahasa Melayu
dengan baik. Dan dia sering melayani
pemotretan ke banyak tempat di Magelang dan sekitarnya. Hubungannya dengan warga Magekang sangat
baik. Ketika tentara Jepang datang warga
Megalng terkenjut karena ternyata dia adalah seorang perwira intelejen
Jepang. Ketika Jepang kalah dia ikut
menghilang dari kota Magelang. Inilah
cerita dari bapak saya yang tidak bakal ditemui di internet.
Ketika memandu ke Vietnam saya ceritakan bahwa kakak
saya seorang perwira AL yang pernah punya pengalaman di Vietnam. Saat itu di tahun 1973 ketika perang Vietnam
sedang mencapai puncaknya. Pasukan Vietnam Utara sudah mendesak pasukan Vetnam
selatan yang dibantu Amerika Serikat. Posisi pasukan selatan makin memburuk. Kemudian pemrintah Amerika meminta bantuan militer
Indonesia untuk mengkaji situasi di sana.
Kakak saya yang saat itu menjadi pamen ikut ditugaskan kesana, mungkin
karena dia pernah mendapat pendidikan di Fort Benning, Amerika Serikat. Di bawah pimpinan seorang pati mereka
menilai situasi di selatan da akhirnya berkesimpulan bahwa perang itu akan
dimenangkan oleh Vietnam utara karena mayoritas rakyat di selatan sudah
mendukung Vietnam Utara dan kontra kepada pemerintah Vietnam selatan yang
didukung Amerika. Kata kakak saya
kesimpulan itu dilaporkan ke mabes TNI dan akhirnya disampaikan ke pihak
Amerika. Dua tahun kemudian, di tahun
1975 ibukota Vietnam selatan yang saat itu dinamai Saigon jatuh ke pasukan
utara. Sejak itu tamatlah pemerintah
Vietnam selatan. Sekarang kota itu
dinamai Ho Chi Minh city , memakai nama tokoh pendiri Vietnam.
Selain itu masih ada cerita cerita lain yang khas saya
yang ada kaitannya antara Indonesia dengan Vietnam. Kisah kisah khas seperti itulah yang menjadi
bumbu perjalanan wisata agar menjadi lebih sedap daripada hanya sekear cerita
yang dengan mudah bisa didapat dari internet eperti fakta sosial politik budaya
dsb.
Ketika membawa rombongan ke Thailand ada cerita tentang Winai Dahlan
yang tidak kalah menarik. Kalau ke Cina
ada cerita tentang Lau jeng Tie. Demikian juga ke Jepang dll ada banyak cerita
dari sudut pandang personal seperti itu.
Jadi memang cerita tentang realitas non fiksi bisa
jadi cerita menarik dan bisa diterapkan di banyak bidang. Bisa untuk sekedar ngobrol dan bisa juga
untuk iklan, untuk presentasi bisnis dsb.