Kebanyakan orang ketika memasuki usia limapuluhan
tahun ke atas sudah memiliki anak anak yang sudah dewasa. Mereka akan menikah dan memiliki keturunan
sendiri. Anak kita sudah menjadi orang
tua dari anak anaknya. Maka posisi kita berkembang menjadi kakek dan nenek. Di sinilah muncul pertanyaan : bagaimana
peran ideal kita sebagai kakek dan nenek?
Untuk menggambarkan hubungan antara kakek nenek dengan
anak cucunya, saya ingin memakai ibarat hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dalam sistem pemerintahan yang menganut otonomi daerah, bukan
yang sentralistik. Dalam sistem pemerintahan yang otonom ini
daerah memiliki kewenangan memutuskan sendiri banyak hal teknis yang khas
daerahnya. Pemerintah pusat mendikte
hanya dalam beberapa hal pokok saja. Demikian
juga dalam keluarga. Kakek nenek ibarat pemerintah pusat yang tidak mendikte
keputusan teknis keluarga anak cucunya.
Satu hal pokok yang saya haruskan adalah agama. Hal ini harga mati yang tidak bisa
ditawar. Jadi saya mengharuskan anak
anak saya mengajarkan kepada anak anaknya agama Islam. Mereka harus menjadi contoh buat anak
anaknya. Sedangkan soal teknis parenting saya tidak akan mendikte. Saya hanya memberi masukan tapi tidak akan
mendikte secara rinci. Saya serahkan
keputusan teknis rincinya kepada mereka sendiri karena saya percaya mereka
sudah mampu membuat keputusan terbaik untuk anak anaknya.
Meskipun demikian hal ini lebih mudah diomongkan
daripada dilakukan karena naluri kita sebagai orang tua masih dominan. Tidak jarang kita ingin mendikte anak harus
melakukan ini dan itu. Jadi saya dan
istri selalu saling mengingatkan untuk tidak terlalu jauh campur tangan dalam
hal teknis. Itulah sebabnya sebaiknya
pasangan yang sudah menikah tinggal terpisah.
Boleh saja bersebelahan rumah tapi menjadi unit rumah tangga yang
mandiri.
Ketika berkunjung ke rumah anak atau anak berkunjung
ke rumah kita maka prinsip ini harus selalu dipegang. Kita harus berdiskusi dengan anak soal pola
asuh misalnya. Tujuannya untuk kordinasi
agar tindakan kita sebagai kakek nekek tidak kontra dengan policy yang sudah
dia tetapkan untuk anak anaknya. Jadi agar
sinkron langkah kita dengan langkah anak kita dalam mendidik cucu kita.
Kita sebagai kakek nenek harus legowo apabila anak
kita menganut pola asuh yang berbeda dengan apa yang pernah kita terapkan
kepada mereka dulu. Demikian juga dengan
semua keputusan teknis yang mereka ambil, kita harus menerima dengan lapang
dada. Misalnya di mana mereka tinggal,
apa profesi yang mereka pilih dsb. Percayaan
saja kepada mereka. Serahkan saja keputusan itu kepada mereka. Dengan demikian mereka akan mampu berkembang
menajdi pengambil keputusan yang baik. Tentu
saja kita masih bisa berperan sebagai pemberi masukan. Tapi bukan sebagai pengambil keputusan atas
masalah teknis mereka.
Agar tidak ada benturan antara tindakan kita dengan
policy anak anak kita maka perlu dialog secara terus menerus. Kita perlu menciptakan suasana keterbukaan di
mana mereka bebas mengutarakan pendapatnya dan opininya. Hal ini mudah saja dilakukan kalau sudah
sejak awal kita menerapkannya kepada anak anak kita.
Semuanya berakar di masa lalu. Jadi ketika anak anak kita masih muda kita
sudah harus menerapkan pola asuh yang demokratis. Bagaimana gambaran pola asuh ini sudah saya
tuliskan secara gambalnag dan rinci dalam buku saya yang berjudul ‘Membangun
Keluarga bahagia dengan iman, cinta dan wacana’, yang diterbitkan oleh Elex
Media Komputindo, tahun 2019. Buku ini
tersedia dalam dua versi, buku cetak basa dan ebook alias buku elektronik.
Sila kunjungi di : https://ebooks.gramedia.com/id/buku/membangun-keluarga-bahagia-dengan-iman-cinta-dan-wacana