Monday, January 6, 2020

Mengorangtuai orang tua




Kebanyakan orang ketika memasuki usia limapuluhan tahun ke atas sudah memiliki anak anak yang sudah dewasa.   Mereka akan menikah dan memiliki keturunan sendiri.  Anak kita sudah menjadi orang tua dari anak anaknya. Maka posisi kita berkembang menjadi kakek dan nenek.  Di sinilah muncul pertanyaan : bagaimana peran ideal kita sebagai kakek dan nenek?
Untuk menggambarkan hubungan antara kakek nenek dengan anak cucunya, saya ingin memakai ibarat hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam sistem pemerintahan yang menganut otonomi daerah, bukan yang sentralistik.   Dalam sistem pemerintahan yang otonom ini daerah memiliki kewenangan memutuskan sendiri banyak hal teknis yang khas daerahnya.  Pemerintah pusat mendikte hanya dalam beberapa hal pokok saja.  Demikian juga dalam keluarga. Kakek nenek ibarat pemerintah pusat yang tidak mendikte keputusan teknis keluarga anak cucunya.
Satu hal pokok yang saya haruskan adalah agama.  Hal ini harga mati yang tidak bisa ditawar.  Jadi saya mengharuskan anak anak saya mengajarkan kepada anak anaknya agama Islam.  Mereka harus menjadi contoh buat anak anaknya.  Sedangkan soal teknis parenting saya tidak akan mendikte.  Saya hanya memberi masukan tapi tidak akan mendikte secara rinci.  Saya serahkan keputusan teknis rincinya kepada mereka sendiri karena saya percaya mereka sudah mampu membuat keputusan terbaik untuk anak anaknya.  
Meskipun demikian hal ini lebih mudah diomongkan daripada dilakukan karena naluri kita sebagai orang tua masih dominan.  Tidak jarang kita ingin mendikte anak harus melakukan ini dan itu.  Jadi saya dan istri selalu saling mengingatkan untuk tidak terlalu jauh campur tangan dalam hal teknis.  Itulah sebabnya sebaiknya pasangan yang sudah menikah tinggal terpisah.  Boleh saja bersebelahan rumah tapi menjadi unit rumah tangga yang mandiri.
Ketika berkunjung ke rumah anak atau anak berkunjung ke rumah kita maka prinsip ini harus selalu dipegang.  Kita harus berdiskusi dengan anak soal pola asuh misalnya.  Tujuannya untuk kordinasi agar tindakan kita sebagai kakek nekek tidak kontra dengan policy yang sudah dia tetapkan untuk anak anaknya.  Jadi agar sinkron langkah kita dengan langkah anak kita dalam mendidik cucu kita.
Kita sebagai kakek nenek harus legowo apabila anak kita menganut pola asuh yang berbeda dengan apa yang pernah kita terapkan kepada mereka dulu.  Demikian juga dengan semua keputusan teknis yang mereka ambil, kita harus menerima dengan lapang dada.  Misalnya di mana mereka tinggal, apa profesi yang mereka pilih dsb.  Percayaan saja kepada mereka. Serahkan saja keputusan itu kepada mereka.  Dengan demikian mereka akan mampu berkembang menajdi pengambil keputusan yang baik.  Tentu saja kita masih bisa berperan sebagai pemberi masukan.  Tapi bukan sebagai pengambil keputusan atas masalah teknis mereka.
Agar tidak ada benturan antara tindakan kita dengan policy anak anak kita maka perlu dialog secara terus menerus.  Kita perlu menciptakan suasana keterbukaan di mana mereka bebas mengutarakan pendapatnya dan opininya.  Hal ini mudah saja dilakukan kalau sudah sejak awal kita menerapkannya kepada anak anak kita. 
Semuanya berakar di masa lalu.  Jadi ketika anak anak kita masih muda kita sudah harus menerapkan pola asuh yang demokratis.  Bagaimana gambaran pola asuh ini sudah saya tuliskan secara gambalnag dan rinci dalam buku saya yang berjudul ‘Membangun Keluarga bahagia dengan iman, cinta dan wacana’, yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, tahun 2019.  Buku ini tersedia dalam dua versi, buku cetak basa dan ebook alias buku elektronik.