Obrolan Sabtu
Malam Minggu
Atas inisiatif beberapa orang terselenggaralah obrolan Sabtu malam minggu pada
tanggal 29 September kemarin di Kopi Kong Djie di jalan Biak. Inilah catatan
kecil saya tentang obrolan tersebut.
Acara ini dihadiri oleh senior kita pak Erwan, saya
(Bambang Udoyono), pak Hanibal, pak Bembeng J, Danang, Ira, Risma, seorang
teman Ira, dan tentu saja tuan rumah Tantri.
Kesan saya tentang tempat itu (Kopi Kong Djie) lumayan
enak suasananya. Di bagian depan ada
ruang terbuka buat para perokok. Lantas di bagian dalam ada ruangan yang cukup
luas dan nyaman buat ngobrol bersama banyak orang.
Saya sendiri datang agak terlambat (Maaf lahir
batin). Meskipun demikian kelancaran
acara tidak terganggu karena waktu kami masih longgar.
Setelah ngobrol
ngalor ngidul mulailah kami agak serius, tapi tetap dengan suasan santai. Pak Bembeng J membuka obrolan lalu
mengarahkan obrolan ke materi pokok yaitu membahas buku saya yang berjudul ‘Sukses menjadi pramuwisata profesional’ yang lumayan luas beredar di kalangan
pariwisata sehingga sering dijadikan rujukan dalam karya tulis mahasiswa
pariwisata. (Saya sering mendapat kabar tentang orang yang menulis skripsi dan
menggunakan buku saya sebagai referensinya).
Pak Bembeng lantas memberi saya kesempatan untuk memaparkan isi buku
ini.
Dalam waktu kurang lebih duapuluh menit saya paparkan
inti pokok buku saya ini. Pertama saya
sampaikan bahwa konsep buku itu adalah serius tapi santai. Jadi saya tidak ingin memaparkan definisi
tentang pramuwisata dan tugasnya dengan bahasa yang lugas dan garing. Saya ingin menyampaikan hal yang serius tapi
dengan bahasa yang enak dan gampang dipahami.
Belakangan saya tahu dari reaksi pembaca bahwa ada yang menganggap buku
saya ringan tapi ada juga yang merasa berat.
Untuk memudahkan definisi pramuwisata saya memakai
gambaran berikut. Ketika memandu di
candi Borobudur, terutama ketika turun dari candi, saya sering berpapasan
dengan rombongan wisatawan Indonesia yang ngedumel. Mereka complain
di sana yang mereka lihat cuma batu dan sekumpulan orang dalam cuaca
panas. Sedangkan para tamu saya selalu
merasa puas. Mereka selalu bilang ‘impressionant’ atau ‘very
impressive’ untuk melukiskan kepuasan mereka. Perbedaan itu adalah karena wisatawan
Indonesia tidak memakai jasa pramuwisata dan wisman memakai. Pramuwisatalah yang mengatur jam
keberangkatan tour sehingga ketika
tiba di tempat wisata para wisatawan tidak kepanaan karena masih pagi atau
sudah sore. Kemudian pramuwisata yang
menghidupkan tumpukan batu kuno tersebut dengan cerita sejarah, gaya arsitektur,
filosofi dsb. Di sisi lain wisnu yang
tanpa mamakai jasa pramuwisata berangkatnya saja ngaret. Dari Jogja misalnya, mereka berangkat jam
9.00 pagi dan tiba di Borobudur jam 10. 30. Ketika mereka di sana antara jam
11-12 siang pasti sedang ada di puncak panasnya. Akibatnya alih alih menikmati wisata mereka
justru kepanasan. Maka mereka
ngedumel. Jadi itulah gambara seorang
pramuwisata secara singkat. Yaitu seseorang yang membuat perjalanan wisata
aman, nyaman, lancar, enak.
Kemudian di buku itu saya papakan contoh memandu di
Jateng, Jatim dan Bali dan juga saya paparkan kiat mengantisipasi masalah.
Sedikit saya singgung juga pengembangan diri pramuwisata. Boleh saja seumur hidup jadi pramuwisata.
Meskipun demikian jangan lewatkan peluang lain yang ditawarkan dalam
kehidupan. Dengan kata lain pramuwisata
bisa dijadikan batu loncatan untuk menggapai sasaran lain. Saat ini pramuwisata bisa juga menjadi
pengajar, asesor, penulis, wiraswastawan di bidang pariwisata, transportasi,
dll.
Singkatnya buku ini lumayan komprehensif membahas
berbagai aspek pramuwisata. Karena itu
waktu terasa cepat berlalu sebelum tuntas dibedah semuanya. Jadi buku ini masih relevan untuk pramuwisata
muda terutama. Meskipun demikian gagasan
saya dama guiding sebenarnya sudah
berevolusi. Dari bacaan, obrolan dengan teman seprofesi dan pengalaman memandu
saya menyadari bahwa story telling
lah yang membuat kesan paling kuat bagi wisman.
Kenapa story
telling paling kuat? Karena ia
menyentuh emosi pendengarnya dan bukan cuma menyentuh logikanya. Kesan yang ditangkap oleh emosi lebih kuat
tertancap di hati daripada yang didapat oleh logika. Data dan fakta akan segera dilupakan. Misalnya kita katakan di Borobudur ada 505
atau 504 patung Buda. Lima menit setelah
mendengar mereka akan lupa lagi karena tidak relevan tidak penting buat mereka.
Bagaimana membuat story telling yang menarik?
Barangkali next time bisa kita
bahas lagi. Dulu pernah ada guide
Malaysia paparkan cara story telling
tapi dalam pandangan saya dia tidak mengajarkan teknisnya, dia hanya utarakan
normatifnya saja.
Ada dua contoh yang saya paparkan kemarin. Keduanya selalu berhasil menarik perhatian
para tamu ketika saya terapkan kepada mereka dalam perjalanan overland. Cerita pertama tentang perang dunia kedua di
Jateng. Ini adalah pengalaman almarhum
bapak saya. Dulu ketika bapak saya
masih muda dan belum menikah beliau sempat berfoto dengan keluarganya di sebuah
gerai foto di Pecinan Magelang. Namanya Matahari. Fotografernya orang Jepang yang kata bapak
saya sangat sopan dan bisa ngomong bahasa Melayu. Foto keluarga itu masih ada
sampai sekarang di Magelang. Di jamannya foto hitam putih itu sangat bagus
sehingga dia mendapat banyak langganan.
Ketika tentara Japang datang di Magelang semua orang terkejut karena dia
ternyata seorang kapten AD Jepang.
Ternyata dia adalah seorang mata mata Jepang yang menyamar jadi
fotografer untuk mencari data intelejen.
Jadi ketika tentara Jepang datang mereka sudah mengenali dengan baik
kota tersebut dengan data dari si fotografer.
Cerita kedua tentang alas Gumitir di Jatim. Dulu pernah suatu malam ada bus melintasi
hutan perawan di Gumitir. Di tengah
hutan yang gelap gulita mendadak si sopir mengerem busnya sehingga mengejutkan
semua penumpang. Ketka ditanya di sopir
menunjuk ke depan bus. Di sana tampak
seorang bayi yang tengah merangkak di tegah jalan. Kemudian seorang penumpang turun dan berupaya
menggendong si bayi. Suasana menjadi tegang.
Beberapa penumpang memberi peringatan agar hati hati karena siapa tahu
itu bukan bayi manusia. Tapi orang itu
berani. Dia baca doa lantas si bayi diagkatnya. Ternyata dia bayi manusia. Mereka lalu berunding dan memutuskan akan
menyerahkan si bayi di kantor polisi terdekat.
Singkat cerita, polisi menerima dan kembali ke tkp. Di sana ditemukan ibu si bayi dala keadaan
luka terkapar di tepi jalan. Itu adalah
upaya pembunuhan. Untunglah keduanya
masih dilindungi Allah.
Kedua cerita itu selalu berhasil mendapatkan perhatian
para wisman sehingga menyebabkan obrolan jadi gayeng. Dan masih banyak lagi cerita lain yang bisa dikembangkan.
Dalam pengalaman saya cerita begini lebih menarik
daripada cerita tentang data dan fakta.
Ketika akan melewati perkebunan misalnya, dulu saya cerita fakta bahwa
ini dulu perkebunan milik Belanda. Setelah merdeka diambil alih oleh pemerintah
dan ada yang dijual ke swasta dsb. Tapi
kalau dalam perjalanan itu kita melewati banyak perkebunan maka kedua dan
ketiga kalinya sebelum kita omong tamu pasti sudah bisa menduga guidenya pasti akan mengullangi cerita
yang sama.
Setelah itu Bembeng J menanyakan kepada semua apa yang
dimaksud dengan guide yang sukses. Kami
memiliki beberapa pandangan yang saling melengkapi.
Pak Erwan memaparkan tinjauannya dari sisi standard
kompetensi. Ira juga memaparkan opini
dan juga pertanyaan yang menggelitik.
Risma juga punya pandangan bahwa pramuwisata sukses adalah yang mampu
mememuhi keinginan wisman. Pertanyaan
saya bagaimana kalau keinginannya aneh aneh?
Rasanya sabtu sore dan malam minggu kemarin terlalu
singkat. Masih banyak hal yang bisa kita obrolkan. Banyak hal yang bisa kita pertukarkan. Jadi alangkah baiknya kita agendakan
pertemuan rutin semacam ini untuk memperkaya wawasan, menambah ilmu dll.
Pertemua mendatang saya usulkan membahas tentang vlog dengan narsum Danang dan
boleh juga yang lain. Lain kali mungkin
tentang menulis. Karena menulis blog, artikel dsb sangat bermanfaat, meskipun
kita tidak bercita cita jadi penulis.
Sekian dulu catatan saya. Sila yang lain kemukakan
catatannya masing masing.