Catatan
tentang cerita fiksi dan pendidikan karakter
Bambang
Udoyono
Pagi
ini aku melihat postingan Mas Hernowo tentang sebuah artikel di Kompas yang
berjudul “Cerita Fiksi dan pendidikan Karakter’ oleh Conrad William Watson
seorang dosen ITB. Karena kemarin saya belum sempat membaca artikel tersebut
maka terdorong oleh postingan mas hernowo itu saya lantas membacanya dengan
cermat.
Sebenarnya
inti utama artikel tersebut tidak baru buat saya. Ketika saya masih di smp almarhum bapak sudah
berkali kali berkata bahwa cerita fiksi sangat berpengaruh pada karakter
manusia. Cerita fiksi yang dominan pada
satu bangsa akan membentuk karakter bangsa tersebut. Beliau memberi contoh
beberapa bangsa yang terpengaruh oleh karya fiksi. Eropa, India, Cina, Jepang, dipengaruhi oleh
karya sastra para pujangga mereka. Jawa
kemudian dipengaruhi oleh karya banyak bangsa dalam banyak gelombang.
Meskipun
demikian penjelasan rinci bagaimana pengaruh itu bekerja memang baru saya baca
kali ini. Dalam artikel tersebut ditulis
:
....“menonton film atau drama fiksi
dapat memicu pelepasan endorfin, senyawa kimia yang menimbulkan perasaan
senang...dan meningkatkan ikatan dengan orang sekitar”.
Kemudian
Dunbar menjelaskan bagaimana dongeng dan cerita rakyat mewariskan kebajikan atau
menanamkan nilai luhur yang lain, dan betapa penting proses ini untuk
“kohesivitas sosial” (kerapatan anggota komunitas atau pakumbuhan satu sama
lain). Apabila kita merenungkan sebentar
saja penemuan Dunbar ini, kita dapat menginsafi pentingnya kini usaha membentuk
karakter bangsa. (Kompas 12 Oktober 2016)
William
lantas menganjurkan orang tua untuk menuturkan cerita kepada anak anaknya sebagai upaya
pembentukan karakter. Para guru juga
diharapkan melakukan kegiatan serupa.
Saya
punya harapan atau impian agar upaya pembentukan karakter lewat cerita ini
ditindak lanjuti oleh semua pihak – pemerintah, pers, penulis, penerbit, orang
tua, guru dll dengan sangat serius , terencana, well coordinated. Sebagai pemimpinnya ya mestinya RI 1.
Dengan
kata lain pemerintah dan berbagai pihak tsb melakukan kegiatan besar berupa
rekayasa kebudayaan dengan fokus membangun literatur bangsa yang akan bisa
mempengaruhi karakter bangsa di masa depan.
Sudah
saatnya pemerintah merumuskan dengan rinci kebudayaan semacam apa yang kita
inginkan. Sudah saatnya kebudayaan
direkayasa, tidak dibiarkan berjalan sendiri apalagi dikuasai, dibentuk oleh
orang asing lewat film, games, cerita
cerita yang kurang bermutu dan bahkan membentuk karakter yang negatif.
Sudah
tentu bakal ada perbenturan opini, pendapat dan kepentingan. Sudah pasti ada
pihak yang diuntungkan dengan keadaan sekarang yang akan berupaya menjegal
apabila upaya ini dianggap sebagai ancaman kepada kepentingan mereka.
Pengusaha
hitam yang berbisnis prostitusi, pornografi pasti tidak mau masyarakat kita
menjadi relijius, bermoral beradab karena itu artinya pasar mereka bakal
menciut dan bahkan terancam bangkrut. Maka
mereka akan berupaya menciptakan opini yang menggambarkan upaya ini sebagai
langkah yang salah, langkah mundur, dan segala macam cap yang negatif. Karena itu jurus mereka harus diantisipasi
dengan tepat.
Pembangunan
karakter bangsa adalah kepentingan semua golongan, semua agama, semua kelas
sosial, semua suku. Oleh karena itu
sebaiknya semua pihak bekerja sama saling mendukung mencapai tujuan sebagai
bangsa yang memiliki karakter : relijius, jujur, pekerja keras (tidak bermental
jalan pintas sehingga bermimpi menggandakan uang dsb), rasional (sehingga tidak
percaya klenik, dukun dsb), toleran (sehingga tidak lagi saling tuding antar
golongan dan bahkan berkelahi), egaliter
(sehingga tidak arogan, tidak merasa golongannya, sukunya yang paling maju,
paling unggul), sopan (sehingga tidak berperilaku kasar) dan beberapa sifat
positif lain.
Buat
para penulis termasuk blogger inilah
lahan yang masih terbuka sangat luas buat diolah. Inilah tantangannya , bagaimana menciptakan
cerita yang mampu mempengaruhi opini masyarakat. Di masa lalu banyak karya sastra yang membuat
nenek moyang kita menjadi bersifat feodalis.
Akibatnya masyarakat percaya bahwa ada satu golongan tertentu yang lebih
tinggi derajatnya daripada semua golongan.
Kelas elit itulah yang berhak memerintah secara turun temurun. Kepercayaan ini bertahan ribuan tahun di
banyak negara termasuk di Indonesia.
Bahkan detik inipun masih terasa pengaruhnya karena masih banyak orang
yang percaya bahwa pemimpin adalah harus keturunan pemimpin juga.
Sekarang
saatnya menulis karya yang tidak terasa menggurui karena banyak orang yang
kurang tertarik dengan karya yang terasa menggurui.
Meskipun demikian karya tsb mampu mencetak opini bahwa manusia adalah
sederajat. Dalam negara yang demokratis
semuanya adalah sederajat. Dalam masyarakat
yang relijius semuanya sederajat. Hanya ketaqwaan sajalah yang membedakan derajat
manusia di mata Allah. Bukan harta,
bukan pangkat, bukan jabatan.
Semoga
akan lahir karya yang mengilhami masyarakat bahwa keberhasilan adalah hasil
dari doa dan kerja keras, bukan dari jalan pintas.
Saya
lihat sebenarnya bukan hanya karya fiksi yang berpengaruh di masyarakat. Karya
non fiksipun memiliki pengaruh yang kuat.
Artikel
atau postingan di blog atau buku kisah perjalanan ke luar negri yang ditulis
dengan segar, menarik tanpa bernada khotbah barangkali bisa memotivasi orang
banyak untuk berperilaku tertib dan sopan ketika sedang berlalu lintas. Ini karena masyarakat kita punya mentalitas
rendah diri. Merasa kalah dengan orang luar negri. Maka mereka cenderung meniru
perilaku orang luar.
Kisah
sukses pebisnis, ilmuwan, musisi, penulis, seniman, politisi dan lain lain barangkali
bisa menginspirasi orang untuk meniru cara mereka meraih sukses dengan cara yang rasional,
bukan dari upaya menggandakan uang atau memakai jimat atau melakukan saran
dukun.
Bagaimana
dengan orang yang tidak bisa menulis?
Apakah mereka bisa berperan? Tentu saja bisa. Saya pernah menonton
sebuah liputan di televisi tentang upaya seseorang membangun kebiasaan membaca
di kalangan anak anak dengan perpustakaan keliling. Seribu satu upaya bisa dilakukan orang sesuai
dengan kemampuan dan tantangan yang dihadapi oleh lingkungannya.
Semoga
semakin banyak orang tergugah melakukan upaya positif konstruktif. Tidak perlu menunggu. Segeralah berpikir
untuk menemukan jalan menuju impian besar ini – membangun karakter bangsa yang
unggul dengan karya fiksi dan non fiksi.
