Wednesday, May 22, 2019

Dunia Persilatan Magelang




Seperti lazimnya anak laki laki saya sejak kecil sudah terpikat dengan cerita cerita heroik dari banyak sumber.  Ada sumber dari keluarga, tetangga, teman dan dari bacaan.  Semua itu cukup berkesan tapi yang paling berkesan adalah yang dialami atau dilihat sendiri.  Ketika kelas enam sd saya bersama teman sedang jalan di kawasan Ngentak yang tidak jauh dari rumah saya di Sanggrahan.  Saat itu selepas Isya saya bersama beberapa teman mengantar teman yang mau kulakan untuk warung ibunya.   Saat kami asik ngobrol terlihat segerombolan pemuda datang dari arah lapangan RIN.  Tidak lama kemudian datang seorang yang agaknya tentara tapi tidak berseragam.  Sendirian dia membawa sebuah tongkat panjang (toya).  Dia berjalan langsung ke arah gerombolan itu.  Saya tidak mendengar apa omongan mereka tapi saya cuma mendengar bentakan.  Setelah itu si tentara mengayunkan toyanya dan seketika anggota gerombolan itu pada jatuh KO.  Beberapa orang mencoba melawan tapi dengan cepat mereka jatuh KO juga.  Semua anggota gerombolan itu lalu lari dan dikejar oleh si tentara.  Tidak sedikit yang dijatuhkan dengan pukulan toyanya.  Tapi ada juga yang berhasil lolos.  Adegan pertarungan itu mirip sekali dengan film silat. Gerakan dia sangat cepat, kuat dan akurat.  Dalam waktu singkat saja belasan orang dilumpuhkan.  Saya dan teman teman sampai ndomblong melihatnya.  


Itulah pertama kali saya melihat kelihaian orang dalam beladiri.  Kesan itu menimbulkan minat untuk berlatih silat.   Ketika saya matur ke almarhum bapak untuk latihan silat beliau agak kurang setuju.  Saya malah dinasehati untuk rajin belajar dan jangan suka berkelahi. Meskipun demikian minat pada beladiri masih ada.  Barulah ketika kelas dua smp bapak mengijinkan saya ikut latihan beladiri. Pilihan jatuh ke Inkai di SPG (Sekarang SMAN 3) di Nanggulan.   Seminggu dua kali saya latihan di sana.  Kebetulan ada tetangga bernama Junaidi yang juga peminat beladiri.  Dia mengajak saya latihan kungfu.  Kami lalu ikut latihan Kung Fu dengan suhu Tan Keng Tin di Njuritan.

Saya merasa lebih cocok dengan gerakan Kung Fu maka saya lalu memutuskan untuk murtad dari Karate. Di Kung Fu ini andalannya adalah teknik perkelahian jarak pendek dengan pukulan dan hanya sedikit sekali tendangan.  Hanya ada tendangan jarak pendek lurus ke depan ke arah perut (disebut Mae Geri dalam Karate) dan sapuan kaki (Ashi barai). Gerakan dasarnya mirip dengan Karate.  Tapi rangkaian gerak dasar (Kata dalam Karate) dan style nya berbeda agak jauh.  Rangkaian ini pertama namanya Pukulan empat pintu, yang merangkai pukulan dasar ke empat penjuru angin untuk melatih koordinasi pukulan dan langkah kaki.  Kemudian Sam Cia, Tak Cun, Thai Chow, Ing Jun, Pek Ho (Bangau Putih) Tasyik, Pak Ho Jiu Tong, Cepek Lakpek.  Itu yang tangan kosong.  Permainan senjata ada toya dan golok Kwang Tung (Guang Dong) dan ekor ikan pari yang mirip seperti rantai.

Selain latihan gerak dasar dan rangkaiannya ada juga latihan bertarung (Kumite).  Lalu ada lagi latihan syukong.  Ini adalah latihan mengeraskan otot dan tulang. Caranya berdir  berhadapan lalu kedua tangan diadu dalam gerakan tertentu.  Pertama kali tentu saja babak belur sampai merah biru kedua tangan.  Tan Keng Tin lalu mengolesi dengan minyak gosok. Sayangnya saya lupa mereknya.  Katanya minyak ini bisa mengeraskan tulang dan otot.  Tapi ketika sampi di rumah saya ceritakan kepada kakak saya dia malah ketawa ngakak.  Dia memang apoteker jadi menurut dia itu cuma hoax. Bagaimaa mungkin minyak gosok sampai ke tulang, katanya.  Benar juga.  Minyak itu paling jauh Cuma masuk ke pori, dan tidak akan sampai ke tulang.

Selain berlatih tentu saja ada acara bertanding.  Nah Tan Keng Tin punya murid di kota lain – Temanggung, Parakan, Muntilan dan Yogya.  Kami secara berkala bertemu untuk bertanding dengan mereka.  Kadang juga dengan perguruan lain.  Pernah suatu saat saya bertanding dengan Kung Fu aliran utara yang andalkan tendangan.  Di kelas tiga sma saya kehilangan sebuah gigi dalam sebuah pertarungan.  Selama tiga bulan gigi depan saya harus dikasih kawat untuk memperkuat dua gigi yang goyah.  Tidak sedikit murid Tan Keng Tin ini merangkap latihan di perguruan lain.  Ada anak Karate, Kempo, dan Kembang Setaman.  Ada teman yang bernama Joko yang belakangan jadi pelatih Tae Kwon Do di Magelang.

Tan Keng Tin ini orangnya doyan ngobrol.  Ketika habis latihan kami lalu ngobrol ngalor ngidul tentang dunia persilatan.  Salah satu yang masih saya ingat adalah cerita tentang gurunya atau kakek gurunya yang bernama Lau Jeng Tie.  Dialah yang membawa Kung Fu ini ke Parakan.  Ceritanya lumayan seru.  Tapi sebaiknya buat lain kali saja biat tidak terlalu panjang.  Silahkan teman teman bercerita tentang pengalamannya di dunia persilatan Magelang.
(Lanjutannya cerita pendekar Lau Jeng Tie)

  


Garuda Emas dari Siauw Lim Sie, kisah pendekar Lauw Jeng Tie.




Mari kita lanjutkan wacana kemaren tentang dunia persilatan di Magelang dan sekitarnya.   Sudah saya singgung kemarin kegiatan saya berlatih Kung Fu di Njuritan.  Selepas latihan kami ngobrol ngalor ngidul.  Oom Tin, demikian kami menyebut suhu, sangat doyan ngobrol.  Topiknya tiada lain seputar dunia persilatan.  Nah salah satu topik paling menarik adalah tentang seorang pendekar yang membawa ilmu Kung Fu ini dari Tiongkok ke tanah Jawi.  Cerita ini berdasar ingatan saya saja, jadi mungkin ada yang terlewatkan.  Bagaimana kisah sang pendekar itu ?  Sila simak terus.

Lauw Jeng Tie lahir di sebuah kota kecil di propinsi Hokkian (Fujian), di Tiongkok selatan.  Tapi sayang sekali saya lupa nama kotanya.  Jeng Tie tumbuh sebagai anak laki laki yang normal saja tapi sudah kelihatan agak nakal karena dia suka berkelahi.  Di masa kecilnya ada sebuah kejadian yang akan mendorongnya menjadi seorang pendekar di kemudian hari.  Suatu hari dia melihat seorang Hwesio (Biku) sedang berjalan di kotanya. Jeng Tie yang mendapat provokasi dari temannya lalu timbul sifat usilnya. Dia melempar batu kepada si Hwesio itu.  Awalnya si hwesio masih sabar tapi Jeng Tie mengulangi lagi perbuatannya. Maka si Hwesio lantas marah dan mengejar Jeng Tie kecil yang segera lari.  Akhirnya Jeng Tie kecil tersusul.  Tapi si Hwesio terkena batunya.  Ada seseorang yang membela dan melindungi Jeng Tie.  Mereka bertengkar dan akhirnya bertarung mengadu ilmu Kung Fu.  Pertarungan berakhir seri.  Si Hwesio tidak jadi menganiaya Jeng Tie.  Si pembela mewanti wanti Jeng Tie agar jangan usil lagi.  Jeng Tie sangat terkesan dengan keliahaian Kung Fu mereka dan termotivasi untuk berlatih.  Dia lalu berguru di kotanya.  Beberapa tahun kemudian dia lantas perg berguru ke biara Siauw Lim Sie (Shaolin). Kalau tidak salah Tan Keng Tin dulu mengatakan dia berguru di biara Siauw Lim selama lima tahun.  Setelah itu dia kembali ke kampungnya.

Ada sebuah kejadian yang akan merubah kehidupannya.  Suatu hari ada seleksi untuk menjadi tentara atau pelatih Kung Fu tentara.  Saya juga sudah agak lupa apakah di Hokkian atau di Beijing.  Tapi saya lebih yakin kalau seleksi itu di Beijing.  Saya masih ingat dia pergi dengan adiknya atau adik seperguruannya.   Dalam proses seleksi itu mereka harus bertanding di Lui Tai (ring).  Jeng Tie berhasil memenangi pertarungan sampai hampir final.   Masalah timbul ketika adik seperguruannya naik ring.  Awalnya adiknya hampir menang tapi kemudian dicurangi.  Jeng Tie marah lalu ikut naik ring dan menyerang lawan adiknya yang kemudian mati menurut Tan Keng Tin.  Terjadilah keributan dan mereka lari dari arena.

Pemerintah memburu mereka berdua maka mereka lantas lari ke selatan. Jeng Tie lari sampai ke Malaysia.  Di sana dia tinggal beberapa waktu api kemudian merasa tidak aman.  Dia merasa masih dalam jangkauan pemburunya.  Maka dia putuskan lari lebih jauh lagi.  Dia pindah ke Batavia, lalu Semarang dan akhirnya ke Ambarawa.  Terakhir dia menetap di Parakan. 

Di Jawa Tengah dia melatih Kung Fu dan membuka praktek pengobatan tradisional Tionghoa.  Karena itu di kalangan masyarakat Tionghoa dia disebut juga sinshe Jeng Tie.  Menurut suhu Tan Keng Tin dia pernah mengalami beberapa pertarungan menarik di Jawa Tengah.  Ujian pertama datang dari seorang pelatih Kung Fu.  Dia berhasil mengatasi ujian tersebut tanpa menimbulkan permusuhan.  Konon suatu hari dia melakukan perjalanan ke Yogyakarta.  Saat itu transportasi masih jarang jadi dia jalan kaki.  Sampai di daerah Blabak dia dicegat oleh beberapa orang yang akan merampoknya.  Jeng Tie mengatakan dia tidak rela melihat hartanya diambil jadi dia minta dibunuh dulu.  Dia lalu melingkari lehernya dengan tali dan meminta mereka menariknya dari dua arah.  Seketika gerombolan itu menarik tali tersebut dengan bersemangat.  Namun ternyata Jeng Tie sama sekali tidak cedera.  Dia memeinta mereka menarik lebih kuat lagi.  Akhirnya mereka kehabisan tenaga dan Jeng Tie tidak cedera sedikitpun.  Gerombolan itu menyadari terbentur orang berilmu tinggi.  Mereka lantas lari ketakutan.

Di lain hari Jeng Tie mendapat tantangan dari seorang kaya untuk bertarung dengan anjing besar dan galak.  Jeng Tie menyanggupi tantangan itu.  Dia lalu membawa payung sebagai senjatanya.   Pertarungan dilakukan di rumah si juragan kaya itu disaksikan sedikit orang saja di halaman belakang.  Dengan tenang tapi penuh kepercayan diri Jeng Tie melangkah sambil membawa payung di tangan kanan dan sebuah nanas di tangan kiri.  Kemudian anjing galak dilepaskan.  Seketika dia melompat menyerang Jeng Tie.  Ketika sudah dekat Jeng Tie melempar nanasnya ke atas.  Semua orang menoleh ke atas mengikuti arah nanas.  Dan ketika tatapan mereka turun mengikuti nanas itu mereka lihat anjing galak si taipan kaya sudah mati.  Agaknya gagang payungnya menyimpan pedang kecil yang sangat tajam.  Hanya dengan satu tebasan saja anjing galak keok.

Masih menurut Tan Keng Tin sinshe Jeng Tie memiliki ilmu meringankan tubuh (gin kang) yang sudah sangat tinggi.  Katanya dia pernah menyeberangi sungai Bengawan Solo dengan cara yang luar biasa.  Saat itu sungai Bengawan Solo masih dalam airnya dan masih lebar sungainya. Untuk menyeberanginya orang harus naik perahu dan membayar mahal.  Jeng Tie yang bukan orang kaya tidak punya cukup uang untuk membayarnya.  Dia lalu mengambil sebutir kereweng (pecahan batu / genting gepeng).  Batu itu lantas dilemparnya ke arah permukaan air.  Alih alih tenggelam batu itu ketika membentur pemukaan air memantul berkali kali sampai ke seberang sungai.  Nah ketika batu itu memantul Jeng Tie segera melompat dan menapakkan kakinya ke batu itu.  Dia mengikuti lompatan batu itu sampai ke seberang dengan selamat.    Seketika orang yang melihat bertepuk tangan meriah saking kagumnya.

Tindakan itu dilihat oleh seorang warok dari Ponorogo.  Dia menjadi panas hati melihat orang pamer kelihaian di depan matanya.  Si warok lantas menantangnya mengadu ilmu.  Jeng tie terpaksa meladeni.  Awalnya hanya ringan saja tapi lama lama mereka benar benar mengerahkan segenap kemampuannya.  Kata suhu ilmu mereka berimbang.  Jeng Tie beberapa kali berhasil memukul si warok dengan tenaga dalam (chi) andalannya tapi si warok kebal.  Pukulan dengan dilambari tenaga dalam ini mampu memecah batu dan bahkan besi tapi buat si warok tidak ada artinya.  Dia bahkan mempersilahkan Jeng Tie memilih bagian tubuhnya yang paling empuk.  Ketika dipukul ternyata si warok hanya tersenyum seolah tidak merasakan apapun.  Konon mereka bertarung sampai berhari hari tanpa ada pemenang. Warok itu juga tidak berhasil melukai apalagi melumpuhkan Jeng Tie. Semua serangannya berhasil diatasi Jeng Tie. Akhirnya mereka sepakat mengakhiri pertarungan dan sama sama menghormati ilmu masing masing.  Sayang sekali saya lupa nama warok tersebut.

Pertarungan lain yang masih saya ingat dari cerita Tan Keng Tin tidak kalah seru.   Agaknya Jeng Tie masih terus diburu oleh pemerintah Tiongkok jaman itu.    Mereka menyebar mata mata ke mana mana untk mencarinya.  Salah satunya ditempatkan di Semarang.  Dia tahu betul kalau masyarakat Tionghoa di setiap tahun pasti akan datang ke kelenteng terbesar di Jawa Tengah yaitu kelenteng Gedung Batu lias kelenteng Sam Po Kong untuk merayakan Imlek.  Maka si mata mata ini tinggal di Semarang untuk beberapa waktu.  Dia mengawasi setiap pengunjung dengan cermat.  Tepat sekali erkiraan si mata mata . Akhirnya suatu hari Jeng Tie datang ke sana untuk sembahyangan.  Saat itulah dia mendekati Jeng Tie dan mengatakan bahwa dia bertugas menangkapnya untuk dihukum di Tiongkok.  Jeng Tie menolak dengan tegas maka terjadilah pertengkaran yang disusul dengan perkelahian.  Si utusan itu ternyata juga seorang pendekar yang lihai.  Dia dari aliran lain tapi mampu menandingi kelihaian Jeng Tie.  Berbagai jurus mereka kerahkan.  Tenaga dalam juga dikerahkan.  Tapi tidak seorangpun mampu keluar sebagai pemenang. Konon mereka bertarung sampai tiga hari dengan hasil seri.  Setelah kebahisa tenaga terpaksa si utusan pulang ke Tiongkok dengan tangan hampa.

Sejak itu Lau Jeng Tie hidup tenang di kota kecil Parakan.  Dia mejalani kehidupan sebagai pelatih Kung Fu dan tabir sinshe.  Dia meninggal dan dimakamkan di Parakan tanpa memiliki keturunan.  Mestinya anak muridnya sudah berkembang sampai ribua sekarang ini. Konon di Semarang ada perguruan yang meneruskan ajaran Lauw Jeng Tie tapi saya masih belum pernah kontak mereka.

Demikian sepintas cerita petualangan Lau Jeng Tie yang masih saya ingat berdasar cerita suhu Tan Keng Tin.   Oh ya, satu poin lagi.  Tadi pagi say menemukan artikel tentang dia di Wikipedia. Inilah lik nya. : https://id.wikipedia.org/wiki/Louw_Djing_Tie