Wednesday, May 22, 2019

Garuda Emas dari Siauw Lim Sie, kisah pendekar Lauw Jeng Tie.




Mari kita lanjutkan wacana kemaren tentang dunia persilatan di Magelang dan sekitarnya.   Sudah saya singgung kemarin kegiatan saya berlatih Kung Fu di Njuritan.  Selepas latihan kami ngobrol ngalor ngidul.  Oom Tin, demikian kami menyebut suhu, sangat doyan ngobrol.  Topiknya tiada lain seputar dunia persilatan.  Nah salah satu topik paling menarik adalah tentang seorang pendekar yang membawa ilmu Kung Fu ini dari Tiongkok ke tanah Jawi.  Cerita ini berdasar ingatan saya saja, jadi mungkin ada yang terlewatkan.  Bagaimana kisah sang pendekar itu ?  Sila simak terus.

Lauw Jeng Tie lahir di sebuah kota kecil di propinsi Hokkian (Fujian), di Tiongkok selatan.  Tapi sayang sekali saya lupa nama kotanya.  Jeng Tie tumbuh sebagai anak laki laki yang normal saja tapi sudah kelihatan agak nakal karena dia suka berkelahi.  Di masa kecilnya ada sebuah kejadian yang akan mendorongnya menjadi seorang pendekar di kemudian hari.  Suatu hari dia melihat seorang Hwesio (Biku) sedang berjalan di kotanya. Jeng Tie yang mendapat provokasi dari temannya lalu timbul sifat usilnya. Dia melempar batu kepada si Hwesio itu.  Awalnya si hwesio masih sabar tapi Jeng Tie mengulangi lagi perbuatannya. Maka si Hwesio lantas marah dan mengejar Jeng Tie kecil yang segera lari.  Akhirnya Jeng Tie kecil tersusul.  Tapi si Hwesio terkena batunya.  Ada seseorang yang membela dan melindungi Jeng Tie.  Mereka bertengkar dan akhirnya bertarung mengadu ilmu Kung Fu.  Pertarungan berakhir seri.  Si Hwesio tidak jadi menganiaya Jeng Tie.  Si pembela mewanti wanti Jeng Tie agar jangan usil lagi.  Jeng Tie sangat terkesan dengan keliahaian Kung Fu mereka dan termotivasi untuk berlatih.  Dia lalu berguru di kotanya.  Beberapa tahun kemudian dia lantas perg berguru ke biara Siauw Lim Sie (Shaolin). Kalau tidak salah Tan Keng Tin dulu mengatakan dia berguru di biara Siauw Lim selama lima tahun.  Setelah itu dia kembali ke kampungnya.

Ada sebuah kejadian yang akan merubah kehidupannya.  Suatu hari ada seleksi untuk menjadi tentara atau pelatih Kung Fu tentara.  Saya juga sudah agak lupa apakah di Hokkian atau di Beijing.  Tapi saya lebih yakin kalau seleksi itu di Beijing.  Saya masih ingat dia pergi dengan adiknya atau adik seperguruannya.   Dalam proses seleksi itu mereka harus bertanding di Lui Tai (ring).  Jeng Tie berhasil memenangi pertarungan sampai hampir final.   Masalah timbul ketika adik seperguruannya naik ring.  Awalnya adiknya hampir menang tapi kemudian dicurangi.  Jeng Tie marah lalu ikut naik ring dan menyerang lawan adiknya yang kemudian mati menurut Tan Keng Tin.  Terjadilah keributan dan mereka lari dari arena.

Pemerintah memburu mereka berdua maka mereka lantas lari ke selatan. Jeng Tie lari sampai ke Malaysia.  Di sana dia tinggal beberapa waktu api kemudian merasa tidak aman.  Dia merasa masih dalam jangkauan pemburunya.  Maka dia putuskan lari lebih jauh lagi.  Dia pindah ke Batavia, lalu Semarang dan akhirnya ke Ambarawa.  Terakhir dia menetap di Parakan. 

Di Jawa Tengah dia melatih Kung Fu dan membuka praktek pengobatan tradisional Tionghoa.  Karena itu di kalangan masyarakat Tionghoa dia disebut juga sinshe Jeng Tie.  Menurut suhu Tan Keng Tin dia pernah mengalami beberapa pertarungan menarik di Jawa Tengah.  Ujian pertama datang dari seorang pelatih Kung Fu.  Dia berhasil mengatasi ujian tersebut tanpa menimbulkan permusuhan.  Konon suatu hari dia melakukan perjalanan ke Yogyakarta.  Saat itu transportasi masih jarang jadi dia jalan kaki.  Sampai di daerah Blabak dia dicegat oleh beberapa orang yang akan merampoknya.  Jeng Tie mengatakan dia tidak rela melihat hartanya diambil jadi dia minta dibunuh dulu.  Dia lalu melingkari lehernya dengan tali dan meminta mereka menariknya dari dua arah.  Seketika gerombolan itu menarik tali tersebut dengan bersemangat.  Namun ternyata Jeng Tie sama sekali tidak cedera.  Dia memeinta mereka menarik lebih kuat lagi.  Akhirnya mereka kehabisan tenaga dan Jeng Tie tidak cedera sedikitpun.  Gerombolan itu menyadari terbentur orang berilmu tinggi.  Mereka lantas lari ketakutan.

Di lain hari Jeng Tie mendapat tantangan dari seorang kaya untuk bertarung dengan anjing besar dan galak.  Jeng Tie menyanggupi tantangan itu.  Dia lalu membawa payung sebagai senjatanya.   Pertarungan dilakukan di rumah si juragan kaya itu disaksikan sedikit orang saja di halaman belakang.  Dengan tenang tapi penuh kepercayan diri Jeng Tie melangkah sambil membawa payung di tangan kanan dan sebuah nanas di tangan kiri.  Kemudian anjing galak dilepaskan.  Seketika dia melompat menyerang Jeng Tie.  Ketika sudah dekat Jeng Tie melempar nanasnya ke atas.  Semua orang menoleh ke atas mengikuti arah nanas.  Dan ketika tatapan mereka turun mengikuti nanas itu mereka lihat anjing galak si taipan kaya sudah mati.  Agaknya gagang payungnya menyimpan pedang kecil yang sangat tajam.  Hanya dengan satu tebasan saja anjing galak keok.

Masih menurut Tan Keng Tin sinshe Jeng Tie memiliki ilmu meringankan tubuh (gin kang) yang sudah sangat tinggi.  Katanya dia pernah menyeberangi sungai Bengawan Solo dengan cara yang luar biasa.  Saat itu sungai Bengawan Solo masih dalam airnya dan masih lebar sungainya. Untuk menyeberanginya orang harus naik perahu dan membayar mahal.  Jeng Tie yang bukan orang kaya tidak punya cukup uang untuk membayarnya.  Dia lalu mengambil sebutir kereweng (pecahan batu / genting gepeng).  Batu itu lantas dilemparnya ke arah permukaan air.  Alih alih tenggelam batu itu ketika membentur pemukaan air memantul berkali kali sampai ke seberang sungai.  Nah ketika batu itu memantul Jeng Tie segera melompat dan menapakkan kakinya ke batu itu.  Dia mengikuti lompatan batu itu sampai ke seberang dengan selamat.    Seketika orang yang melihat bertepuk tangan meriah saking kagumnya.

Tindakan itu dilihat oleh seorang warok dari Ponorogo.  Dia menjadi panas hati melihat orang pamer kelihaian di depan matanya.  Si warok lantas menantangnya mengadu ilmu.  Jeng tie terpaksa meladeni.  Awalnya hanya ringan saja tapi lama lama mereka benar benar mengerahkan segenap kemampuannya.  Kata suhu ilmu mereka berimbang.  Jeng Tie beberapa kali berhasil memukul si warok dengan tenaga dalam (chi) andalannya tapi si warok kebal.  Pukulan dengan dilambari tenaga dalam ini mampu memecah batu dan bahkan besi tapi buat si warok tidak ada artinya.  Dia bahkan mempersilahkan Jeng Tie memilih bagian tubuhnya yang paling empuk.  Ketika dipukul ternyata si warok hanya tersenyum seolah tidak merasakan apapun.  Konon mereka bertarung sampai berhari hari tanpa ada pemenang. Warok itu juga tidak berhasil melukai apalagi melumpuhkan Jeng Tie. Semua serangannya berhasil diatasi Jeng Tie. Akhirnya mereka sepakat mengakhiri pertarungan dan sama sama menghormati ilmu masing masing.  Sayang sekali saya lupa nama warok tersebut.

Pertarungan lain yang masih saya ingat dari cerita Tan Keng Tin tidak kalah seru.   Agaknya Jeng Tie masih terus diburu oleh pemerintah Tiongkok jaman itu.    Mereka menyebar mata mata ke mana mana untk mencarinya.  Salah satunya ditempatkan di Semarang.  Dia tahu betul kalau masyarakat Tionghoa di setiap tahun pasti akan datang ke kelenteng terbesar di Jawa Tengah yaitu kelenteng Gedung Batu lias kelenteng Sam Po Kong untuk merayakan Imlek.  Maka si mata mata ini tinggal di Semarang untuk beberapa waktu.  Dia mengawasi setiap pengunjung dengan cermat.  Tepat sekali erkiraan si mata mata . Akhirnya suatu hari Jeng Tie datang ke sana untuk sembahyangan.  Saat itulah dia mendekati Jeng Tie dan mengatakan bahwa dia bertugas menangkapnya untuk dihukum di Tiongkok.  Jeng Tie menolak dengan tegas maka terjadilah pertengkaran yang disusul dengan perkelahian.  Si utusan itu ternyata juga seorang pendekar yang lihai.  Dia dari aliran lain tapi mampu menandingi kelihaian Jeng Tie.  Berbagai jurus mereka kerahkan.  Tenaga dalam juga dikerahkan.  Tapi tidak seorangpun mampu keluar sebagai pemenang. Konon mereka bertarung sampai tiga hari dengan hasil seri.  Setelah kebahisa tenaga terpaksa si utusan pulang ke Tiongkok dengan tangan hampa.

Sejak itu Lau Jeng Tie hidup tenang di kota kecil Parakan.  Dia mejalani kehidupan sebagai pelatih Kung Fu dan tabir sinshe.  Dia meninggal dan dimakamkan di Parakan tanpa memiliki keturunan.  Mestinya anak muridnya sudah berkembang sampai ribua sekarang ini. Konon di Semarang ada perguruan yang meneruskan ajaran Lauw Jeng Tie tapi saya masih belum pernah kontak mereka.

Demikian sepintas cerita petualangan Lau Jeng Tie yang masih saya ingat berdasar cerita suhu Tan Keng Tin.   Oh ya, satu poin lagi.  Tadi pagi say menemukan artikel tentang dia di Wikipedia. Inilah lik nya. : https://id.wikipedia.org/wiki/Louw_Djing_Tie     


No comments:

Post a Comment