Thursday, May 6, 2021

The Power of Words


 

 

Seperti senjata, bahasa memiliki kekuatan. Bedanya kekuatan bahasa adalah kekuatan yang halus, bukan kekuatan kasar seperti senjata api atau senjata tajam.  Meskipun halus, kekuatan bahasa sangat dahsyat, bahkan mungkin jauh lebih dahsyat daripada kekuatan senjata fisik.

 

Dalam bahasa Inggris ada proverb yang bunyinya “The tongue wounds more than a lance”.  Artinya lidah mampu melukai lebih parah daripada tombak.  Maksudnya kata kata yang pedas dan tajam bisa melukai hati orang.  Sakit hati itu bisa bertahan jauh lebih lama daripada luka fisik.  Itulah gambaran pemakaian bahasa yang tidak baik.  Orang bisa merusak suasana hati, menyakiti hati orang lain dengan bahasa baik lisan maupun tulisan.

 

Bahasa juga bisa dipakai untuk mengadu domba orang lain, baik individu maupun kelompok masyarakat.  Kita lihat sendiri masyarakat yang terbelah dua gara gara sebagian orang memakai kata kata yang tidak patut sehingga menyulut pertengkaran. 

 

Orang yang bijaksana memakai bahasa dengan baik untuk mencerahkan, menyemangati, mendidik, menunjukkan jalan yang benar, dan segala macam perbuatan baik.  Hasilnya juga insya Allah baik.  Lihatlah hasil pendidikan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.  Anak cucu mereka berhasil mendapatkan pendidikan bagus dan bekerja di bidang yang memberi manfaat buat sesama.  Peran orang tua dan guru itu bisa berhasil karena memakai bahasa yang baik. Tutur kata mereka baik.  ajaran mereka baik sehingga anak didiknya tumbuh maksimal dalam kebaikan.

 

Jadi bahasa di tangan orang yang baik dan bijaksana akan memberi manfaat untuk masyarakat dan untuk dirinya sendiri dan keluarganya.  Sebaliknya di tangan orang yang tidak memiliki moralitas yang luhur maka bahasa akan destruktif.  Mereka akan menyakiti hati, menyulut pertengkaran, saling curiga dsb.

 

Pemakaiannya sudah jelas ada dua cara.  Lisan dan tulisan anda menunjukkan jati diri anda. Cepat atau lambat dampak itu akan kembali kepada anda.  Kebaikan akan kembali kepada anda.  Demikian juga keburukan.   Pilihannya terserah anda.

Sunday, January 3, 2021

Juara kata dan juara kumité

 


 

Keduanya berasal dari bahasa Jepang.  Kata adalah rangkaian gerak dasar dalam olah raga Karaté.   Seorang guru besar karaté pernah mengatakan bahwa kata is the grammar of Karaté.  Maksudnya kata adalah idealnya gerakan karaté.  Dalam olah raga karaté gerakan dasar  - pukulan, tangkisan, tendangan, sapuan, dirangkaikan menjadi kata yang dimainkan secara individual maupun beregu.  Fokusnya adalah pada kerapihan teknik.    Ada pakem tentang teknik.  Bagaimana menendang, memukul dll ada tata caranya yang rinci.

 

 

Dalam kejuaraan karaté, nomor kata juga dilombakan.   Maka juara kata memiliki gerakan yang sangat rapi. Teknik dasarnya sangat unggul - cepat, kuat, indah.  Apalagi ketika dimainkan dalam regu, biasanya tiga orang, nomor kata sangat memukau sehingga seringkali mendapat tepuk tangan meriah dari penonton.

 

 

Kumité adalah pertarungan.  Awalnya tidak ada klasifikasi berdasar berat badan, tapi sekarang sudah ada.  Ada aliran yang menganut ’full contact’, sehingga pukulan dan tendangan bisa mengakibatkan knock out, dan ada aliran yang  melarang full contact  untuk melindungi karatéka dari cedera.

 

 

Hampir tidak ada orang yang mampu menadi juara  kumité dan sekaligus kata.  Biasanya juara kata kalau ikut dalam kumité tidak akan menjadi juara meskipun tekniknya unggul.  Sebaliknya juara kumité tidak memiliki teknik serapi juara kata. 

 

 

Dalam dunia literasi ada kemiripan.   Sebagian penulis ibarat pemain kata dan sebagian lain seperti pemain kumité.   Para penulis buku perguruan tinggi mirip pemain kata.  Mereka harus mentaati setiap rincian aturan teknis.  Para penulis buku umum dan novelis mirip dengan pemain kumité.  Aturan teknisnya lebih longgar.   

 

 

Agaknya memang sudah sifat manusia untuk membanggakan dirinya atau profesinya atau karyanya.  Pemain kata merasa dirinyalah yang seharusnya patut dibanggakan.  Demikian juga pendapat pemain kumité.  Semuanya punya alasan.

 

 

Konon salah satu kriteria buku bagus adalah memiliki daya gugah.  Tidak ada yang salah dengan kriteria ini.  Hanya saja kita kesulitan menemukan tolok ukurnya.     Buku jenis apa, atau lebih spesifik lagi, judul apa buku di Indonesia yang paling tinggi daya gugahnya?  Bagaimana mengukurnya?  Apakah buku terlaris identik dengan memiliki daya gugah terkuat?  Walahualam.

 

 

Kalau menengok dunia politik, pernah ada buku yang menyebabkan pergerakan politik di Amerika Serikat.  Tepatnya buku berjudul “Uncle Tom’s cabin”.  Ini bukan karya ilmiah, tapi karya fiksi, yang tentu saja berdasarkan fakta juga.  Konon karya Kartini yang berjudul “Habis gelap terbitlah terang” juga menjadi pemicu gerakan kesetaraan jenis kelamin di Indonesia.  Ini juga bukan karya ilmiah.  Ini adalah kumpulan surat antara Kartini dengan seorang Belanda.  Sebagian orang mungkin susah melihat hubungan antara buku kumpulan surat dengan gerakan kesetaraan jenis kelamin.

 

 

Dulu di jaman Orba ada larangan terhadap karya Pramudya Ananta Toer. Barangkali didasari kekhawatiran akan penyebaran ideologi komunisme. Ternyata sekarang setelah bebas dibaca, para pembacanya tidak lantas menjadi komunis.   Jadi kecurigaan itu ternyata melèsèt.

 

 

Buku memang bisa memotivasi orang untuk berbuat sesuatu.  Meskipun demikian mengukur dampak sosialnya terbukti sulit.  Mungkin sudah ada teori atau metoda ilmiah untuk mengukurnya, tapi belum terbukti kehandalannya.

 

 

Buku juga bisa mencerahkan,  tapi lagi lagi ukurannya sangat samar.   Apalagi kalau diterapkan ke dalam masyarakat.  Setelah judul tertentu terjual sekian ribu lantas bagaimana pengaruhnya kepada masyarakat. Bagaimana mengukurnya masih kurang jelas.  Mungkin hanya pengalaman pribadi yang bisa menjelaskan pencerahan yang didapat.  Sesudah saya membaca judul tertentu saya jadi paham, atau menguasai, atau mampu melakukan sesuatu ketrampilan tertentu.  Buku ajar, atau modul atau apalah namanya.  Mereka memang memiliki lesson objective.   Lantas ada paparan, ada juga latihan lalu ada asessment.  Tapi seberapa jauh diserap pembaca ?  bagaimana mengukurnya?  Sedangkan metoda penilaian tidak mutlak akurasinya.

 

 

Ambil contoh di bidang bahasa asing.  ETS sendiri selalu memutakhirkan perangkat ujinya.  Awalnya mereka memiliki paper based test lalu berkembang menjadi computer based test dan sekarang menjadi internet based test atau yang lazim disebut TOEFL IBT.  Mengukur kemampuan orang dalam sebuah bidang saja ternyata sangat rumit.  Apalagi di banyak bidang.  Apalagi dampak sosialnya untuk masyarakat.  Judul apa yang paling mempengaruhi kemajuan ekonomi dan politik yang sudah dicapai masyarakat Indonesia saat ini?  Jawaban terbaik adalah tidak tahu.

 

 

Jadi buku jenis apa, apakah buku ilmiah, buku ajar, atau buku umum, referensi, atau novel yang paling berpengaruh, sangat susah diketahui karena banyak sekali faktor yang berpengaruh.

 

 

Apakah anda seorang pemain kata atau pemain kumité, agaknya memang  memiliki kelebihan dan kelemahan masing masing. Membandingkan keduanya sama susahnya dengan membandingkan antara musik dangdut dengan musik jazz.  Hanya perdebatan tiada ujung yang terjadi.

  

 

Di dunia pariwisata mirip juga kejadiannya.  Di sana ada tour leader dan pramuwisata yang mirip seperti pemain kata dan kumité. Mana yang lebih baik, jadi perdebatan abadi.

 

Bagaimana gagasan anda?

Sunday, December 13, 2020

Year-end promo.

 At the end of the year don't miss the special price for my ebooks at your favorite ebook stores.

https://books2read.com/u/mdnqlE

https://books.apple.com/us/book/id1544277910




Tuesday, December 1, 2020

Ikuti kata hatimu.

 

 



Steve Jobs menyarankan kita mengikuti kata hati, tapi dia tidak menjelaskan kondisi hati.  Nah di dalam Al Qur’an ada gambaran duapuluh macam hati, ternyata hanya delapan saja yang baik dan sehat, sisanya kurang baik.   Hanya hati baik, bersih dan sehat saja yang mampu menerima bimbingan Allah swt.  Hati yang buruk tentu tidak mampu menerima panduan wahyu Allah swt.  Hati yang buruk menerima bisikan setan.  Maka pastikan dulu hatimu baik, bersih dan sehat agar dia mampu menerima, memahami wahyu Allah swt.  Kalau hati sudah terbimbing oleh wahyu Allah swt maka dia akan memberi bisikan yang baik, bisikan yang berdasarkan panduan wahyu Allah swt.


Wednesday, September 16, 2020

Edutravel to Indonesia.

Edutravel to Indonesia

 

Today we still face a problem of travel due to the Corona pandemic.  In normal condition we can combine education and traveling.  One of attractive destination is Indonesia where you can find beautiful nature and ancient culture.   Last year millions of foreign tourist came to Indonesia to visit the diverse culture of Indonesia and its beautiful nature. In my experience as a tourist guide I used to teach them a little bit Indonesian language.

Visiting beautiful places and learning a new language is an amazing experience for many people.  Unfortunately we cannot do it now.  We have to stay home to avoid the Covid 19.  That is why I write a book to help you learn Indonesian language.  The book is very different from other language book because I use the Indonesian setting to present the lessons.  It is organized into many chapters.  Each chapter describes a particular destination. So  it is like a story of Java-Bali Overland tours.


The book is available in your favorite bookstores.  Don’t miss it. Get it here : https://books2read.com/u/mlaEV9                   




Saturday, July 18, 2020

Wirogo, wiromo dan wiroso.



oleh 

Bambang Udoyono


Dalam joged Mataram dikenal prinsip wirogo, wiromo dan wiroso.  Ini menunjukan tingkatan penguasaan tarian.  Di tahap pertama penari baru belajar wirogo alias teknik gerakan tari.  Di tahap selanjutnya wiromo artinya irama.  Di sini dia belajar menyatukan gerakan raganya dengan irama musik pengiringnya.  Tatkala gerakannya sudah menyatu terciptalah keindahan tari yang memikat.  Tahap tertinggi adalah wiroso, artinya roso, atau perasaan.  Di tahap ini penari sudah mampu menyatukan gerakan raga dengan segenap jiwa raganya. Dia sudah mampu menghayati secara total.  Maka yang menari bukan hanya raganya tapi juga jiwanya.  Jika sudah sampai tahap ini maka keindahannya sudah sempurna.  Tariannya akan memilki greget atau enerji.  Penonton akan terpesona.  Dia sendiri akan sangat menikmati seninya.   Tepat sekali dalang kondang almarhum Ki Narto Sabdo ketika mengatakan ‘kinaryo langen pribadi’ yang artinya menghibur diri sendiri.  Jadi pelaku seni itulah yang paling menikmati seninya.  Tapi karena sudah punya greget maka orang lain tertarik.  Dia sudah punya magnit.
Saya yakin prinsip ini bisa juga diterapkan dalam kegiatan menulis.  Di tahap awal penulis masih berfokus pada teknik menulis.  Setelah menguasainya maka penulis naik ke tahap selanjutnya yaitu menemukan irama atau keindahan menulisnya.  Tahap tertinggi tercapai manakala penulis sudah mampu menghayati total, menulis dengan segenap jiwa raganya.  Di tahap ini karyanya sudah memiliki greget, atau enerji.  Pembaca akan merasakan pesonanya.  Ada keindahan, ketedasan, ketuntasan, ada kekuatan yang mencerahkan. Pembaca akan terhipnotis dan akan ada merasakan manfaat buku yang dibacanya.

Namun karena orang tidak memiliki greget pada semua bidang, maka seorang penulis harus rajin mengeksplorasi di mana, di bidang apa gregetnya jalan.  Dia harus berlatih menulis di berbagai bidang yang diminati.  Nanti akan terasa di mana enerjinya mengalir.  Kalau anda sudah tidak menyadari waktu berlalu maka artinya anda sudah mencapai tahapan ‘flow’. Greget anda sudah jalan.     Indikator lain misalnya anda sedang asik menulis anda tidak mendengar keluarga anda memanggil. Kalau sudah begini mungkin anda sudah sampai pada wiroso. Pokoknya jelajahi banyak bidang nanti anda akan menemukan bidang, topik, tema yang membuat greget anda mengalir lancar. 

Sunday, June 7, 2020

Story telling menurut tiga narsum, Catatan Kagama Menulis V.




Di awal Juni 2020 ketika sedang berselancar di FB saya menemukan sebuah maklumat menarik di FB group Kagama.  Ada flyer yang memberitahu akan ada acara Kagama Menulis yaitu acara training menulis story telling.   Ketika membaca keterangannya  saya semangkin tertarik lagi karena narsumnya sudah punya nama baik.  Ada tiga narsum.  Pertama Budi Setyarso, pimred koran Tempo.  Kedua Maryoto wartawan Kompas dan ketiga Nursodik Gunarjo, penulis memoir lucu “The Story of Gondes” dan “Gondes Forever”.    Tanpa keraguan sedikitpun saya mendaftar.


Pada hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020 jam 13.30 saya sudah duduk manis di depan laptop.  Di masa krisis Corona ini saya sudah berulangkali mengikuti webinar, meeting, online training, virtual tour dsb jadi saya sudah akrab dengan cara baru ini.  Namun kemarin ketika saya join meeting di Zoom saya harus menunggu agak lama.  Barangkali saking banyaknya perserta sehingga host perlu waktu lebih panjang daripada biasanya untuk menerima saya.  Ya wis tak tinggal maksi dulu.  Habis maksi sudah mendekati jam dua siang barulah saya bisa masuk ke ruang meeting.  Ternyata pesertaya memang banyak, ada 320 orang lebih partisipan.


Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berbasa basi sejenak mulailah acara intinya.  Moderatornya ada dua, Pak Hendry Prasetyo sang selebrity di FB group Kagama yang kondang karena suka posting Tiktokan yang lucu lucu.  Moderator kedua pak Elang.  Moderator pertama sudah luwes membawakan acara. Dia pasti sudah terbiasa membawakan acara publik seperti ini.  Moderator kedua tidak mengecewakan meskipun dia masih harus berlatih menata suaranya. Masih terlalu banyak jeda waktu yang tidak perlu.  Jadi pengelolaaan waktunya perlu diperbaiki.  Pak Hendry lantas mempersilahkan pemateri pertama.


Budi Setyarso, pimred koran Tempo tampil dengan kalem tapi mantap.  Dia mampu membuat tampilan visual yang bagus sekali.  Banyak foto yang memukau disertai teks singkat dan efektif.  Narasinya juga efektif meskipun dia tidak memakai teknik vokal yang canggih.  Jadi kombinasi antara content dan teknik presentasinya mantap sekali.  Audiens juga banyak memuji.
Dia memaparkan teknik story telling sesuai profesinya sebagai wartawan. Pertama menurut Budi penulis harus memilih angle (sudut pandang) terbaik untuk ceritanya.  Kemudian prinsip pokok adalah 5 W + 1 H yaitu who, when, what, where dan how.  Cerita harus ada tokoh utamanya (who), ada tempat kejadiannya (where), harus jelas kapan kejadiannya (when), apa kejadiannya (what) dan bagaimana terjadinya (how).     Kemudian cerita memiliki tiga bagian.  Pertama adalah lead.  Ini adalah paragraf pembuka yang harus menarik.  Bagian inilah yang menentukan nasib cerita itu, apakah akan dibaca atau tidak.  Orang sibuk pasti akan memilih cerita yang menarik, yang relevan dengan mereka. Maka alinea ini harus menarik.  Di bagian ini 5 W +1 H sudah harus ada.  Tapi harus singkat agar orang tidak bosan.  Dia sertakan juga contohnya dengan sebuah alinea berita tentang seorang Papua yang mampu memanggil ikan. Contoh itu memang sangat bagus.  Ia mampu membangkitkan minat pembaca.


Bagian kedua adalah isi, paparan utama, dari cerita.  Bagian ini harus memakai kalimat efektif, yang disarankan pendek saja. Dia sarankan hindari kalimat panjang.  Tujuannya agar mudah dipahami.  Tulisan yang bagus adalah tulisan yang mudah dipahami semua kalangan.  Bukan tulisan yang bikin pusing. Di bagian ini Budi tidak memberi contoh mungkin karena panjang.

Bagian ketiga adalah penutup.  Bagian ini bisa singkat saja tapi harus tetap lengkap.  Bagian ini harus menuntaskan paparan di bagian sebelumnya.  Budi tidak menganjurkan ada penutup yang menggantung, yang menyisakan pertanyaan.  Misalnya dengan kalimat, nanti sejarah yang akan mengungkapkan dsb.


Budi memberi contoh dengan tulisannya sendiri di Tempo tentang kematian Munir.   Contohnya singkat saja tapi sangat kuat.  Isinya keterangan tentang kondisi Munir yang meninggal ketika sedang berbaring di lantai pesawat yang sedang terbang menuju Belanda.  Hebatnya alinea itu bisa menimbulkan kesan betapa kejamnya si pembunuh.


Di akhir paparannya Budi memberi latihan.  Dia meminta kami menulis cerita berdasarkan sebuah foto. Ada sebuah foto tiga orang perawat yang sedang duduk bersandar di dinding sambil ketiduran.  Mereka masih memakai alat pelindung diri lengkap.  Dia minta tulisan dikirim via email dan dia berjanji akan memberi komentar dan masukan pada beberapa tulisan.

Dia juga menjawab beberapa pertanyaan.  Salah satunya adalah pertanyaan tentang SARA.  Menurut dia kita tidak usah menutupi masalah ini karena bisa jadi bahaya kalau berpura pura tidak ada masalah. Jadi ditulis boleh asal jangan dengan bahasa yang membakar emosi orang.


Pemateri kedua adalah Maryoto, seorang wartawan Kompas alumni TP UGM. Dia memaparkan story telling juga dengan banyak foto yang cukup bagus.  Sayangnya dia tidak memberi teks sedikitpun pada foto foto tersebut.  Dia memang memberi narasi tapi dia masih harus berlatih lebih giat agi untuk menata suaranya agar tidak monoton.  Saya jadi ingat pelajaran teknik mengelola intonasi agar paparan kita tidak membuat audiens mengantuk.  Situasi diperburuk dengan munculnya suara mendengung dan bergema.  Bahasa tubuhnya juga datar saja, tanpa ekspreso,  eh ekspresi. Di chatting banyak audiens yang mengeluhkan kualitas suara.  Waktu dia bicara ini pas dengan saat solat asar sehingga banyak yang memilih meninggalkan acara sejenak untuk solat.  Saya juga mengutamakan solat dulu.  Seusai solat ketika saya kembali masalah suara ini belum teratasi.     Banyak pertanyaan belum terjawab mungkin karena pengelolaan waktu yang masih perlu ditingkatkan lagi.

Di sesi terakhir tampil penulis cerita lucu Gondes, pak Nursodik Gunarjo.  Paparannya di awal adalah motivasi menulis. Menurut dia apapun bisa ditulis, tidak perlu peristiwa besar.  Dia ambil contoh cerita memoirnya.  Apa yang dia ceritakan adalah peristiwa biasa, bukan peristiwa besar yang mengguncang dunia.  Kejadian biasa bisa saja menjadi tulisan menarik asal ditulis dengan baik. Nursodik mengibaratkan penulis seperti seorang chef yang harus meracik bahan bahan menjadi makanan yang enak.  Sayangnya pak Gondes ini kurang rinci memaparkan bagaimana tahapan menulis yang baik dan lucu.  Jadi teknisnya agak kurang tajam.  Hanya berhenti sebatas memotivasi saja agar menulis menarik tanpa resep bagaimana menciptakan tulisan yang baik itu.  Gaya bertutur lisan mas Gondes juga tidak selucu tulisannya, meskipun dia sudah mencoba melucu.  Dia juga masih harus banyak berlatih olah suara agar mampu membuat tekanan suara, jeda dan lain lain semangkin baik dan menarik.


Secara keseluruhan acara Kagama Menulis V kemarin berjalan baik.  Semuanya lancar.  Semua materi dipaparkan dengan lumayan sesuai dengan rencana.  Pemateri bintang kemarin adalah Mas Budi Setyarso yang di CV nya disebutkan alumi SMA Magelang, sayang tidak disebutkan SMA mana.   Panitia patut diapresiasi dengan kerja bagusnya ini.  Moderator juga sudah bagus terutama pak Hendri Prasetyo yang alumni Kehutanan UGM.  Pesertanya juga nampak antusias menanyakan berbagai hal kepada para pemateri.  Akan lebih baik lagi kalau peserta yang diberi kesempatan tampil bertanya secara lisan bukan hanya yang cantik saja. Semoga lain kali ada lagi acara seperti ini tanpa harus menunggu sirnanya Corona dengan menampilakan narsum penulis lain untuk meluaskan wawasan kita.