Di awal Juni 2020 ketika sedang berselancar di FB saya
menemukan sebuah maklumat menarik di FB group Kagama. Ada flyer
yang memberitahu akan ada acara Kagama Menulis yaitu acara training menulis story telling. Ketika membaca keterangannya saya semangkin tertarik lagi karena narsumnya
sudah punya nama baik. Ada tiga
narsum. Pertama Budi Setyarso, pimred
koran Tempo. Kedua Maryoto wartawan
Kompas dan ketiga Nursodik Gunarjo, penulis memoir lucu “The Story of Gondes” dan “Gondes
Forever”. Tanpa keraguan
sedikitpun saya mendaftar.
Pada hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020 jam 13.30 saya
sudah duduk manis di depan laptop. Di masa krisis Corona ini saya sudah
berulangkali mengikuti webinar, meeting,
online training, virtual tour dsb jadi saya sudah akrab dengan cara baru
ini. Namun kemarin ketika saya join
meeting di Zoom saya harus menunggu
agak lama. Barangkali saking banyaknya
perserta sehingga host perlu waktu
lebih panjang daripada biasanya untuk menerima saya. Ya wis tak tinggal maksi dulu. Habis maksi sudah mendekati jam dua siang
barulah saya bisa masuk ke ruang meeting.
Ternyata pesertaya memang banyak, ada
320 orang lebih partisipan.
Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berbasa
basi sejenak mulailah acara intinya.
Moderatornya ada dua, Pak Hendry Prasetyo sang selebrity di FB group
Kagama yang kondang karena suka posting
Tiktokan yang lucu lucu. Moderator kedua
pak Elang. Moderator pertama sudah luwes
membawakan acara. Dia pasti sudah terbiasa membawakan acara publik seperti
ini. Moderator kedua tidak mengecewakan
meskipun dia masih harus berlatih menata suaranya. Masih terlalu banyak jeda
waktu yang tidak perlu. Jadi pengelolaaan
waktunya perlu diperbaiki. Pak Hendry
lantas mempersilahkan pemateri pertama.
Budi Setyarso, pimred koran Tempo tampil dengan kalem
tapi mantap. Dia mampu membuat tampilan
visual yang bagus sekali. Banyak foto
yang memukau disertai teks singkat dan efektif.
Narasinya juga efektif meskipun dia tidak memakai teknik vokal yang canggih. Jadi kombinasi antara content dan teknik presentasinya mantap sekali. Audiens juga banyak memuji.
Dia memaparkan teknik story telling sesuai profesinya sebagai wartawan. Pertama menurut
Budi penulis harus memilih angle
(sudut pandang) terbaik untuk ceritanya.
Kemudian prinsip pokok adalah 5 W + 1 H yaitu who, when, what, where dan
how. Cerita harus ada tokoh utamanya
(who), ada tempat kejadiannya (where), harus jelas kapan kejadiannya (when),
apa kejadiannya (what) dan bagaimana terjadinya (how). Kemudian
cerita memiliki tiga bagian. Pertama
adalah lead. Ini adalah paragraf pembuka yang harus
menarik. Bagian inilah yang menentukan
nasib cerita itu, apakah akan dibaca atau tidak. Orang sibuk pasti akan memilih cerita yang
menarik, yang relevan dengan mereka. Maka alinea ini harus menarik. Di bagian ini 5 W +1 H sudah harus ada. Tapi harus singkat agar orang tidak
bosan. Dia sertakan juga contohnya
dengan sebuah alinea berita tentang seorang Papua yang mampu memanggil ikan.
Contoh itu memang sangat bagus. Ia mampu
membangkitkan minat pembaca.
Bagian kedua adalah isi, paparan utama, dari
cerita. Bagian ini harus memakai kalimat
efektif, yang disarankan pendek saja. Dia sarankan hindari kalimat
panjang. Tujuannya agar mudah
dipahami. Tulisan yang bagus adalah
tulisan yang mudah dipahami semua kalangan.
Bukan tulisan yang bikin pusing. Di bagian ini Budi tidak memberi contoh
mungkin karena panjang.
Bagian ketiga adalah penutup. Bagian ini bisa singkat saja tapi harus tetap
lengkap. Bagian ini harus menuntaskan
paparan di bagian sebelumnya. Budi tidak
menganjurkan ada penutup yang menggantung, yang menyisakan pertanyaan. Misalnya dengan kalimat, nanti sejarah yang
akan mengungkapkan dsb.
Budi memberi contoh dengan tulisannya sendiri di Tempo
tentang kematian Munir. Contohnya
singkat saja tapi sangat kuat. Isinya
keterangan tentang kondisi Munir yang meninggal ketika sedang berbaring di
lantai pesawat yang sedang terbang menuju Belanda. Hebatnya alinea itu bisa menimbulkan kesan
betapa kejamnya si pembunuh.
Di akhir paparannya Budi memberi latihan. Dia meminta kami menulis cerita berdasarkan
sebuah foto. Ada sebuah foto tiga orang perawat yang sedang duduk bersandar di
dinding sambil ketiduran. Mereka masih
memakai alat pelindung diri lengkap. Dia
minta tulisan dikirim via email dan dia berjanji akan memberi komentar dan
masukan pada beberapa tulisan.
Dia juga menjawab beberapa pertanyaan. Salah satunya adalah pertanyaan tentang
SARA. Menurut dia kita tidak usah
menutupi masalah ini karena bisa jadi bahaya kalau berpura pura tidak ada
masalah. Jadi ditulis boleh asal jangan dengan bahasa yang membakar emosi
orang.
Pemateri kedua adalah Maryoto, seorang wartawan Kompas
alumni TP UGM. Dia memaparkan story
telling juga dengan banyak foto yang cukup bagus. Sayangnya dia tidak memberi teks sedikitpun
pada foto foto tersebut. Dia memang
memberi narasi tapi dia masih harus berlatih lebih giat agi untuk menata
suaranya agar tidak monoton. Saya jadi
ingat pelajaran teknik mengelola intonasi agar paparan kita tidak membuat
audiens mengantuk. Situasi diperburuk
dengan munculnya suara mendengung dan bergema.
Bahasa tubuhnya juga datar saja, tanpa ekspreso, eh ekspresi. Di chatting banyak audiens yang
mengeluhkan kualitas suara. Waktu dia
bicara ini pas dengan saat solat asar sehingga banyak yang memilih meninggalkan
acara sejenak untuk solat. Saya juga
mengutamakan solat dulu. Seusai solat
ketika saya kembali masalah suara ini belum teratasi. Banyak pertanyaan belum terjawab mungkin
karena pengelolaan waktu yang masih perlu ditingkatkan lagi.
Di sesi terakhir tampil penulis cerita lucu Gondes,
pak Nursodik Gunarjo. Paparannya di awal
adalah motivasi menulis. Menurut dia apapun bisa ditulis, tidak perlu peristiwa
besar. Dia ambil contoh cerita
memoirnya. Apa yang dia ceritakan adalah
peristiwa biasa, bukan peristiwa besar yang mengguncang dunia. Kejadian biasa bisa saja menjadi tulisan
menarik asal ditulis dengan baik. Nursodik mengibaratkan penulis seperti
seorang chef yang harus meracik bahan
bahan menjadi makanan yang enak.
Sayangnya pak Gondes ini kurang rinci memaparkan bagaimana tahapan
menulis yang baik dan lucu. Jadi
teknisnya agak kurang tajam. Hanya
berhenti sebatas memotivasi saja agar menulis menarik tanpa resep bagaimana
menciptakan tulisan yang baik itu. Gaya
bertutur lisan mas Gondes juga tidak selucu tulisannya, meskipun dia sudah
mencoba melucu. Dia juga masih harus
banyak berlatih olah suara agar mampu membuat tekanan suara, jeda dan lain lain
semangkin baik dan menarik.
Secara keseluruhan acara Kagama Menulis V kemarin
berjalan baik. Semuanya lancar. Semua materi dipaparkan dengan lumayan sesuai
dengan rencana. Pemateri bintang kemarin
adalah Mas Budi Setyarso yang di CV nya disebutkan alumi SMA Magelang, sayang
tidak disebutkan SMA mana. Panitia patut diapresiasi dengan kerja
bagusnya ini. Moderator juga sudah bagus
terutama pak Hendri Prasetyo yang alumni Kehutanan UGM. Pesertanya juga nampak antusias menanyakan
berbagai hal kepada para pemateri. Akan
lebih baik lagi kalau peserta yang diberi kesempatan tampil bertanya secara
lisan bukan hanya yang cantik saja. Semoga lain kali ada lagi acara seperti ini
tanpa harus menunggu sirnanya Corona dengan menampilakan narsum penulis lain
untuk meluaskan wawasan kita.
No comments:
Post a Comment