Sunday, June 7, 2020

Story telling menurut tiga narsum, Catatan Kagama Menulis V.




Di awal Juni 2020 ketika sedang berselancar di FB saya menemukan sebuah maklumat menarik di FB group Kagama.  Ada flyer yang memberitahu akan ada acara Kagama Menulis yaitu acara training menulis story telling.   Ketika membaca keterangannya  saya semangkin tertarik lagi karena narsumnya sudah punya nama baik.  Ada tiga narsum.  Pertama Budi Setyarso, pimred koran Tempo.  Kedua Maryoto wartawan Kompas dan ketiga Nursodik Gunarjo, penulis memoir lucu “The Story of Gondes” dan “Gondes Forever”.    Tanpa keraguan sedikitpun saya mendaftar.


Pada hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020 jam 13.30 saya sudah duduk manis di depan laptop.  Di masa krisis Corona ini saya sudah berulangkali mengikuti webinar, meeting, online training, virtual tour dsb jadi saya sudah akrab dengan cara baru ini.  Namun kemarin ketika saya join meeting di Zoom saya harus menunggu agak lama.  Barangkali saking banyaknya perserta sehingga host perlu waktu lebih panjang daripada biasanya untuk menerima saya.  Ya wis tak tinggal maksi dulu.  Habis maksi sudah mendekati jam dua siang barulah saya bisa masuk ke ruang meeting.  Ternyata pesertaya memang banyak, ada 320 orang lebih partisipan.


Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berbasa basi sejenak mulailah acara intinya.  Moderatornya ada dua, Pak Hendry Prasetyo sang selebrity di FB group Kagama yang kondang karena suka posting Tiktokan yang lucu lucu.  Moderator kedua pak Elang.  Moderator pertama sudah luwes membawakan acara. Dia pasti sudah terbiasa membawakan acara publik seperti ini.  Moderator kedua tidak mengecewakan meskipun dia masih harus berlatih menata suaranya. Masih terlalu banyak jeda waktu yang tidak perlu.  Jadi pengelolaaan waktunya perlu diperbaiki.  Pak Hendry lantas mempersilahkan pemateri pertama.


Budi Setyarso, pimred koran Tempo tampil dengan kalem tapi mantap.  Dia mampu membuat tampilan visual yang bagus sekali.  Banyak foto yang memukau disertai teks singkat dan efektif.  Narasinya juga efektif meskipun dia tidak memakai teknik vokal yang canggih.  Jadi kombinasi antara content dan teknik presentasinya mantap sekali.  Audiens juga banyak memuji.
Dia memaparkan teknik story telling sesuai profesinya sebagai wartawan. Pertama menurut Budi penulis harus memilih angle (sudut pandang) terbaik untuk ceritanya.  Kemudian prinsip pokok adalah 5 W + 1 H yaitu who, when, what, where dan how.  Cerita harus ada tokoh utamanya (who), ada tempat kejadiannya (where), harus jelas kapan kejadiannya (when), apa kejadiannya (what) dan bagaimana terjadinya (how).     Kemudian cerita memiliki tiga bagian.  Pertama adalah lead.  Ini adalah paragraf pembuka yang harus menarik.  Bagian inilah yang menentukan nasib cerita itu, apakah akan dibaca atau tidak.  Orang sibuk pasti akan memilih cerita yang menarik, yang relevan dengan mereka. Maka alinea ini harus menarik.  Di bagian ini 5 W +1 H sudah harus ada.  Tapi harus singkat agar orang tidak bosan.  Dia sertakan juga contohnya dengan sebuah alinea berita tentang seorang Papua yang mampu memanggil ikan. Contoh itu memang sangat bagus.  Ia mampu membangkitkan minat pembaca.


Bagian kedua adalah isi, paparan utama, dari cerita.  Bagian ini harus memakai kalimat efektif, yang disarankan pendek saja. Dia sarankan hindari kalimat panjang.  Tujuannya agar mudah dipahami.  Tulisan yang bagus adalah tulisan yang mudah dipahami semua kalangan.  Bukan tulisan yang bikin pusing. Di bagian ini Budi tidak memberi contoh mungkin karena panjang.

Bagian ketiga adalah penutup.  Bagian ini bisa singkat saja tapi harus tetap lengkap.  Bagian ini harus menuntaskan paparan di bagian sebelumnya.  Budi tidak menganjurkan ada penutup yang menggantung, yang menyisakan pertanyaan.  Misalnya dengan kalimat, nanti sejarah yang akan mengungkapkan dsb.


Budi memberi contoh dengan tulisannya sendiri di Tempo tentang kematian Munir.   Contohnya singkat saja tapi sangat kuat.  Isinya keterangan tentang kondisi Munir yang meninggal ketika sedang berbaring di lantai pesawat yang sedang terbang menuju Belanda.  Hebatnya alinea itu bisa menimbulkan kesan betapa kejamnya si pembunuh.


Di akhir paparannya Budi memberi latihan.  Dia meminta kami menulis cerita berdasarkan sebuah foto. Ada sebuah foto tiga orang perawat yang sedang duduk bersandar di dinding sambil ketiduran.  Mereka masih memakai alat pelindung diri lengkap.  Dia minta tulisan dikirim via email dan dia berjanji akan memberi komentar dan masukan pada beberapa tulisan.

Dia juga menjawab beberapa pertanyaan.  Salah satunya adalah pertanyaan tentang SARA.  Menurut dia kita tidak usah menutupi masalah ini karena bisa jadi bahaya kalau berpura pura tidak ada masalah. Jadi ditulis boleh asal jangan dengan bahasa yang membakar emosi orang.


Pemateri kedua adalah Maryoto, seorang wartawan Kompas alumni TP UGM. Dia memaparkan story telling juga dengan banyak foto yang cukup bagus.  Sayangnya dia tidak memberi teks sedikitpun pada foto foto tersebut.  Dia memang memberi narasi tapi dia masih harus berlatih lebih giat agi untuk menata suaranya agar tidak monoton.  Saya jadi ingat pelajaran teknik mengelola intonasi agar paparan kita tidak membuat audiens mengantuk.  Situasi diperburuk dengan munculnya suara mendengung dan bergema.  Bahasa tubuhnya juga datar saja, tanpa ekspreso,  eh ekspresi. Di chatting banyak audiens yang mengeluhkan kualitas suara.  Waktu dia bicara ini pas dengan saat solat asar sehingga banyak yang memilih meninggalkan acara sejenak untuk solat.  Saya juga mengutamakan solat dulu.  Seusai solat ketika saya kembali masalah suara ini belum teratasi.     Banyak pertanyaan belum terjawab mungkin karena pengelolaan waktu yang masih perlu ditingkatkan lagi.

Di sesi terakhir tampil penulis cerita lucu Gondes, pak Nursodik Gunarjo.  Paparannya di awal adalah motivasi menulis. Menurut dia apapun bisa ditulis, tidak perlu peristiwa besar.  Dia ambil contoh cerita memoirnya.  Apa yang dia ceritakan adalah peristiwa biasa, bukan peristiwa besar yang mengguncang dunia.  Kejadian biasa bisa saja menjadi tulisan menarik asal ditulis dengan baik. Nursodik mengibaratkan penulis seperti seorang chef yang harus meracik bahan bahan menjadi makanan yang enak.  Sayangnya pak Gondes ini kurang rinci memaparkan bagaimana tahapan menulis yang baik dan lucu.  Jadi teknisnya agak kurang tajam.  Hanya berhenti sebatas memotivasi saja agar menulis menarik tanpa resep bagaimana menciptakan tulisan yang baik itu.  Gaya bertutur lisan mas Gondes juga tidak selucu tulisannya, meskipun dia sudah mencoba melucu.  Dia juga masih harus banyak berlatih olah suara agar mampu membuat tekanan suara, jeda dan lain lain semangkin baik dan menarik.


Secara keseluruhan acara Kagama Menulis V kemarin berjalan baik.  Semuanya lancar.  Semua materi dipaparkan dengan lumayan sesuai dengan rencana.  Pemateri bintang kemarin adalah Mas Budi Setyarso yang di CV nya disebutkan alumi SMA Magelang, sayang tidak disebutkan SMA mana.   Panitia patut diapresiasi dengan kerja bagusnya ini.  Moderator juga sudah bagus terutama pak Hendri Prasetyo yang alumni Kehutanan UGM.  Pesertanya juga nampak antusias menanyakan berbagai hal kepada para pemateri.  Akan lebih baik lagi kalau peserta yang diberi kesempatan tampil bertanya secara lisan bukan hanya yang cantik saja. Semoga lain kali ada lagi acara seperti ini tanpa harus menunggu sirnanya Corona dengan menampilakan narsum penulis lain untuk meluaskan wawasan kita.  





No comments:

Post a Comment