Wednesday, October 25, 2017

Character building untuk UMKM.

Character building untuk umkm

Selain pengalaman berbelanja bakpia di pasar Beringharjo dan toko di Malioboro kemarin saya juga sering mendapat cerita miring tentang umkm di Yogyakarta.  Cerita terbaru saya dapatkan dari pengemudi taksi yang saya naiki dari Magelang ke Yogyakarta hari Minggu kemarin.  Dalam perjalanan Magelang – Yogya dia banyak bercerita tentang Yogya meskipun saya katakan bahwa saya bukan orang asing di Yogya karena pernah kuliah dan bekerja di Yogya dan bahkan sampai sekarang saya masih sering berkunjung ke sana.  Dia wanti wanti agar saya hati hati kalau naik becak di Malioboro.  Katanya di sana banyak tukang becak yang menawarkan tarip sangat murah cuma lima ribu rupiah untuk mengantar berbelanja, tapi nanti kalau tidak belanja atau tidak banyak belanjanya tukang becak itu akan menagih lima puluh ribu rupiah. 
Cerita keduanya adalah tentang pedagang makanan lesehan di Malioboro. Katanya belum lama ini ada orang yang makan di sana lalu ditagih puluhan ribu rupiah, jauh di atas harga normalnya. Orang itu lalu memposting di medsos sehingga jadi heboh.  Untunglah sekarang pihak yang berwenang sudah mengambil tindakan. Sekarang semua pedagang makanan diwajibkan menuliskan harga di tempat yang jelas terlihat dan mentaatinya. Lebih jauh pengemudi taksi ini menyarankan saya untuk menanyakan dulu harga makanan yang aka dipesan. Kalau nanti dimark up dia sarankan saya melaporkan ke dinas pariwisata agar diambil tindakan.
Malamnya saya makan mi Jawa di alun alun utara.  Selesai makan saya mau jalan jalan ke Malioboro.  Saya mencoba menawar becak. Saya katakan saya akan ke sebuah hotel di Malioboro. Si tukang becak meminta harga empatpuluh ribu rupiah.  Harga yang sangat tinggi untuk jarak yang sangat dekat.  Jalan kakipun belum lelah dari alun alun utara ke Malioboro.  Saking mendongkolnya saya tidak menjawab dan langsung melangkah pergi.
Pengalaman saya dan cerita itu sudah saya dengar sejak saya kuliah di dasawarsa delapan puluhan.  Kalau benar cerita itu masih terjadi, artinya ada masalah besar pada mentalitas umkm kita.  Saya memakai kata ‘kita’ karena saya yakin mentalitas buruk itu tidak hanya ada di Malioboro tapi di banyak tempat di Indonesia. Saya jadi ingat buku Prof Kuncaraningrat tentang mentalitas (dulu beliau menulisnya masih mentalitet) orang Indonesia. Kata beliau orang Indonesia memiliki mentalitas jalan pintas.  Maunya untung tapi tidak mau kerja kerasnya.  Dalam bahasa Jawa ada ungkapan ‘Gelem nangkane ora gelem pulute’ yang artinya mau nangkanya (buah nangka) tapi tidak mau getahnya.  Jadi artinya mau enaknya tapi tidka mau kerja kerasnya.
Cerita itu menunjukkan mentalitas itu masih ada. Waktu serasa berhenti, tidak membawa perubahan dalam mentalitas.  Menurut nabi Muhammad itulah orang yang merugi, yaitu orang yang tidak mangkin membaik bersama berlalunya waktu.
 Karena itu saya menghimbau beberapa pihak agar segera ambil tindakan. Salah satunya adalah dengan membangun karakter (character building).  Karakter seperti apa yang dibutuhkan agar mereka mampu mengantisipasi perkembangan jaman?  Jawaban seriusnya biarlah dirumuskan para winasis , para pakar. Namun paling tidak ada beberapa kualitas yang harus dimiliki. Pertama mereka harus melihat pembeli adalah pelanggan potensial, bukan mangsa.  Pembeli yang dilayani dengan baik, tidak ditipu, sehingga dia puas maka ada kemungkinan akan membeli lagi alias  menjadi pelanggan. Dan bahkan ada kemungkinan dia akan mengabarkan kepada teman temannya dan keluarganya. Dengan kata lain dia akan memberi hadiah iklan gratis. Dengan demikian basis pelanggan akan meluas. Keduanya harus jujur, jangan menipu pembeli atau konsumen.  Ketiganya harus menyadari bahwa keuntungan atau laba atau penghasilan adalah hasil sebuah proses yang benar dan baik.  Fokuskan saja upaya pada membaikkan proses maka hasil baikpun insya Allah akan datang.  Keempat kesadaran sosial, maksud saya agar mereka memahami bahwa perbuatan mereka memiliki dampak sosial. Dampak pada lingkungan sosial mereka, kepada teman teman mereka.  Kalau ada seorang tukang becak berbuat culas, curang maka akibatnya semua tukang becak akan dicurigai oleh konsumennya. Akibat lebih jauh lagi konsumen memilih ojek online yang ada kepastian harga. Sebaliknya kalau ada yang bekerja baik maka akan berddampak baik pada seluruh lingkungan.  Seorang pelanggan yang puas akan merekomendasikan becak atau lesehan yang lain juga.
Pertanyaannya tindakan apa yang harus dilakukan dan siapa yang akan melakukan?  Pertama kali yang terbayang di pikiran saya adalah program training berkesinambungan yang dipadukan dengan pengajian.  Jadi pelaksananya mungkin dkm atau ormas atau lsm keagamaan yang bekerjasama dengan dinas pariwisata atau instansi lain.
Bentuknya mungkin semacam ceramah motivasi untuk menanamkan nilai nilai positif di atas tadi.  Perlunya pendekatan keagamaan adalah untuk menanamkan kesadaran bahwa bekerja baik adalah ibadah. Bekerja adalah untuk Allah jadi tidak boleh dilakukan dengan cara tidak jujur, menipu pelanggan atau memeras pelanggan. 
Masyarakat Yogya masih kental dipengaruhi oleh budaya Jawa. Masyarakatnya masih bersifat paternalistik dan feodalis. Karena itu sangat penting melibatkan tokoh lokal. Tokoh terkuat adalah Sri Sultan sendiri.  Jadi training itu idealnya paling tidak dibuka oleh beliau.  Dawuhnya masih sangat didengarkan oleh rakyat Yogya. Training itu mengutamakan pembinaan mental di tahap awal barulah di tahap berikut bisa ditambahi pembinana kerampilan teknis.  Karena pembinaan mental bukan perkara sepele maka sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan, berjangka panjang.  Paling tidak selama lima tahun masa kerja pemerintahan daerah.  Syukur periode selanjutnya diperpanjang lagi menjadi training abadi. Pesertanya diundang terus selama itu dan dipantau secara berkala perkembangannya.
Tulisan ini memang masih lebih layak disebut impian daripada program kerja yang sudah bisa dilaksanakan.  Namun bukankah semua capaian diawali dari impian ?  Jika mimpi saja tidak pernah, bagaimana mungkin kita mencapai cita cita?  Marilah satukan tekad, satukan langkah untuk membantu umkm.  Semoga ada pihak yang tersentuh dan bergerak.
Yogyakarta, 26 Oktober 2017


Air susu dibalas dengan air tuba.

Air susu dibalas dengan air tuba
Beberapa hari ini saya tinggal di Yogyakarta di sebuah hotel di Jalan Malioboro.  Hari ini ada waktu luang yang bisa saya manfaatkan untuk menulis maka saya memfokuskan pikiran pada buku saya, sebuah buku motivasi. 
Saya makan agak banyak ketika sarapan pagi di hotel tadi jadi sampai tengah hari saya masih kenyang. Apalagi tadi saya membawa beberapa potong roti dari restauran hotel yang saya makan di sela sela kegiatan menulis.
Saking asyiknya waktu terasa berlalu sangat cepat. Tiba tiba saya mendengar suara adhan dhuhur.  Segera saya hentikan kegiatan menulis.  Selesai solat dhuhur saya berbaring sejenak sambil membaca ratusan wa dari beberapa group.  Beberapa postingan dari group sma yang baru saja dua hari lalu reuni  membuat haru.  Beberapa postingan membuat tertawa sendirian di kamar hotel. Dan salah satu postingan itu memaparkan kekompakan suatu kaum tertentu yang saling mendukung dan menganjurkan kita untuk saling mendukung sesama kaum kita seperti yang mereka lakukan.
Mendadak timbul gagasan unik di pikiran saya.  Karena masih kenyang saya ingin membeli camilan saja.  Di sepanjang jalan Malioboro ini banyak sekali pedagang camilan.  Saya lantas ingin mencoba membandingkan pengalaman saya membeli camilan di pedagang kecil dengan membeli di toko.  Saya jalan kaki ke arah selatan.  Niat saya ingin mencari camilan di pasar Bering harjo dan di sebuah toko.  Camilan itu harus khas Yogyakarta.  Sambil berjalan saya melihat banyak sekali pedagang menjual bermacam kerajinan dan camilan.  Lantas saya putuskan untuk membeli bakpia.
Gerbang Pasar Beringharjo tidak terlalu ramai siang ini. Hanya ada beberapa tukang becak dan pembeli sehingga mudah bagi saya memotret gerbangnya yang bercat hijau dan kuning.  Tidak jauh dari gerbang saya menemukan sedikit pedagang camilan di ujung lantai satu.  Beberapa pedagang hanya menatap dingin, tidak ada upaya menyapa atau menawarkan dagangannya.  Saya melangkah makin jauh kemudian ada dua orang pedagang yang menyapa dan menawarkan dagangannya.  Saya katakan saya ingin membeli bakpia. Dia lantas mengambil beberapa jenis.  Ada yang isinya kacang hijau, ada yang isinya keju dan ada yang isinya campuran.  Harganya sama, limabelas ribu rupiah.  Kemudian saya pilih yang isinya keju.  Lalu saya bayar dengan uang duapuluh ribuan. Si pedagang bertanya yang lima ribu untuk beli apa. Saya jawab saya pingin kembalian uang saja.  Raut mukanya seketika berubah.  Nampak sekali dia kesal dengan saya.  Dengan ogah ogahan dia mencari uang lima ribuan dan diberikan kepada saya tanpa mengucapkan terima kasih bahkan tanpa menatap saya.  Ketika saya mengucapkan terima kasih dia hanya menjawab ya, dengan dingin.  Terasa tidak ada jiwanya samasekali kata katanya.
Kemudian saya berjalan ke luar pasar.  Di jalan Malioboro saya temukan sebuah toko bernama ‘Djoen’ yang menjual bermacam roti dan camilan. Ketika masuk seorang pelayan langsung menyambut dengan sapaan.  Saya katakan saya mencari bakpia.  Dengan cekatan dia menunjukkan barang tersebut.  Ada tiga macam.  Ada yang isinya kacang kumbu, ada yang isinya ketela biru dan ada yang isinya kacang hijau. Harganya sama semua – duapuluh lima ribu rupiah.  Saya membeli satu dengan uang lima puluh ribuan.  Sambil memberikan kembalian si pelayan mengucapkan terima kasih.
Pedagang pasar tadi adalah anggota kaum saya. Jadi saya tentu saya merasa ada semacam solidaritas sesama kaum. Apalagi setelah membaca postingan teman tadi. Namun sayang sekali rasa solidaritas saya itu tidak mendapatkan balasan yang sepadan.  Saya malah dipaksa mengeluarkan uang lebih dari yang saya kehendaki. Karena saya tidak mau dia lantas bermuka masam.  Saya merasa sudah memberikan air susu tapi dibalas dengan air tuba. 
Pengalaman sebaliknya saya dapatkan di toko roti.  Si pelayan memang dari kaum saya, tapi saya yakin bossnya, yang mengawasi sebagai kasir, bukan.    Meskipun harganya lebih mahal sepuluh ribu rupiah, kepuasan berbelanja saya temukan di toko itu. Sedangkan di pasar saya temukan kekecewaan.
Jadi memang ada pebedaan besar sekali antara dua kaum ini.  Pedagang pasar itu memiliki kelemahan pokok dalam sikap mentalnya.  Dia tidak memiliki sikap melayani pembeli. Dia memiliki mentalitas macan yang melihat pembeli seperti mangsa, bukan pelanggan yang harus dilayani biar kembali lagi.  Dengan pengalaman tidak enak seperti itu, bagaimana mungkin saya mau membeli lagi dari dia?
Ketrampilan teknis berdagang saya yakin hanya urutan nomor dua setelah mentalitas melayani ini.  Ketrampilan bisa dipelajari asal mau belajar. Tapi siapa yang bisa membentuk mentalitas yang baik?   Inilah pekerjaan besar bangsa ini. tapi siapa yang mau dan mampu mengatasi? 
Saya hanya memotret salah satu masalah bangsa kita.  Saya bukan pakar, bukan pemimpin yang memiliki solusi. Saya hanya berharap potret buram ini agak mengelitik beberapa pihak untuk membantu mengatasi mentalitas buruk pedagang kecil.  Kalau mentalitas sudah baik, saya yakin ketrampilan teknis berdagang akan berkembang bersama tantangan dan pengalaman yang akan mereka lewati. Sebaliknya jika mentalitas tetap buruk maka saya kuatir mereka akan dilibas oleh kejamnya persaingan di era revolusi indusri keempat saat ini.
Sebenarnya saya berharap pendekatan keagamaan mampu memberi kontribusi syukur mampu mengatasi hal ini. Sudah saatnya kegiatan pengajian diarahkan lebih spesifik memberdayakan kaum umkm.  Saya yakin mental yang baik bisa dibentuk oleh kegiatan keagamaan, demikian juga ketrampilan teknis berdagang.  Di masa lalu sudah pernah ada Sarikat Dagang Islam. Semoga di masa kini dan masa depan ada lagi organisasi yang peduli.