Character building untuk umkm
Selain
pengalaman berbelanja bakpia di pasar Beringharjo dan toko di Malioboro kemarin
saya juga sering mendapat cerita miring tentang umkm di Yogyakarta. Cerita terbaru saya dapatkan dari pengemudi
taksi yang saya naiki dari Magelang ke Yogyakarta hari Minggu kemarin. Dalam perjalanan Magelang – Yogya dia banyak
bercerita tentang Yogya meskipun saya katakan bahwa saya bukan orang asing di
Yogya karena pernah kuliah dan bekerja di Yogya dan bahkan sampai sekarang saya
masih sering berkunjung ke sana. Dia wanti
wanti agar saya hati hati kalau naik becak di Malioboro. Katanya di sana banyak tukang becak yang
menawarkan tarip sangat murah cuma lima ribu rupiah untuk mengantar berbelanja,
tapi nanti kalau tidak belanja atau tidak banyak belanjanya tukang becak itu
akan menagih lima puluh ribu rupiah.
Cerita
keduanya adalah tentang pedagang makanan lesehan di Malioboro. Katanya belum
lama ini ada orang yang makan di sana lalu ditagih puluhan ribu rupiah, jauh di
atas harga normalnya. Orang itu lalu memposting di medsos sehingga jadi
heboh. Untunglah sekarang pihak yang
berwenang sudah mengambil tindakan. Sekarang semua pedagang makanan diwajibkan
menuliskan harga di tempat yang jelas terlihat dan mentaatinya. Lebih jauh
pengemudi taksi ini menyarankan saya untuk menanyakan dulu harga makanan yang
aka dipesan. Kalau nanti dimark up dia
sarankan saya melaporkan ke dinas pariwisata agar diambil tindakan.
Malamnya
saya makan mi Jawa di alun alun utara. Selesai
makan saya mau jalan jalan ke Malioboro.
Saya mencoba menawar becak. Saya katakan saya akan ke sebuah hotel di
Malioboro. Si tukang becak meminta harga empatpuluh ribu rupiah. Harga yang sangat tinggi untuk jarak yang
sangat dekat. Jalan kakipun belum lelah
dari alun alun utara ke Malioboro. Saking
mendongkolnya saya tidak menjawab dan langsung melangkah pergi.
Pengalaman
saya dan cerita itu sudah saya dengar sejak saya kuliah di dasawarsa delapan
puluhan. Kalau benar cerita itu masih
terjadi, artinya ada masalah besar pada mentalitas umkm kita. Saya memakai kata ‘kita’ karena saya yakin
mentalitas buruk itu tidak hanya ada di Malioboro tapi di banyak tempat di
Indonesia. Saya jadi ingat buku Prof Kuncaraningrat tentang mentalitas (dulu
beliau menulisnya masih mentalitet) orang Indonesia. Kata beliau orang
Indonesia memiliki mentalitas jalan pintas.
Maunya untung tapi tidak mau kerja kerasnya. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan ‘Gelem nangkane ora gelem pulute’ yang
artinya mau nangkanya (buah nangka) tapi tidak mau getahnya. Jadi artinya mau enaknya tapi tidka mau kerja
kerasnya.
Cerita
itu menunjukkan mentalitas itu masih ada. Waktu serasa berhenti, tidak membawa
perubahan dalam mentalitas. Menurut nabi
Muhammad itulah orang yang merugi, yaitu orang yang tidak mangkin membaik
bersama berlalunya waktu.
Karena itu saya menghimbau beberapa pihak agar
segera ambil tindakan. Salah satunya adalah dengan membangun karakter (character building). Karakter seperti apa yang dibutuhkan agar
mereka mampu mengantisipasi perkembangan jaman?
Jawaban seriusnya biarlah dirumuskan para winasis , para pakar. Namun paling
tidak ada beberapa kualitas yang harus dimiliki. Pertama mereka harus melihat
pembeli adalah pelanggan potensial, bukan mangsa. Pembeli yang dilayani dengan baik, tidak
ditipu, sehingga dia puas maka ada kemungkinan akan membeli lagi alias menjadi pelanggan. Dan bahkan ada kemungkinan
dia akan mengabarkan kepada teman temannya dan keluarganya. Dengan kata lain
dia akan memberi hadiah iklan gratis. Dengan demikian basis pelanggan akan
meluas. Keduanya harus jujur, jangan menipu pembeli atau konsumen. Ketiganya harus menyadari bahwa keuntungan atau
laba atau penghasilan adalah hasil sebuah proses yang benar dan baik. Fokuskan saja upaya pada membaikkan proses
maka hasil baikpun insya Allah akan datang. Keempat kesadaran sosial, maksud saya agar
mereka memahami bahwa perbuatan mereka memiliki dampak sosial. Dampak pada
lingkungan sosial mereka, kepada teman teman mereka. Kalau ada seorang tukang becak berbuat culas,
curang maka akibatnya semua tukang becak akan dicurigai oleh konsumennya. Akibat
lebih jauh lagi konsumen memilih ojek online yang ada kepastian harga. Sebaliknya
kalau ada yang bekerja baik maka akan berddampak baik pada seluruh
lingkungan. Seorang pelanggan yang puas
akan merekomendasikan becak atau lesehan yang lain juga.
Pertanyaannya
tindakan apa yang harus dilakukan dan siapa yang akan melakukan? Pertama kali yang terbayang di pikiran saya
adalah program training berkesinambungan yang dipadukan dengan pengajian. Jadi pelaksananya mungkin dkm atau ormas atau
lsm keagamaan yang bekerjasama dengan dinas pariwisata atau instansi lain.
Bentuknya
mungkin semacam ceramah motivasi untuk menanamkan nilai nilai positif di atas
tadi. Perlunya pendekatan keagamaan
adalah untuk menanamkan kesadaran bahwa bekerja baik adalah ibadah. Bekerja adalah
untuk Allah jadi tidak boleh dilakukan dengan cara tidak jujur, menipu
pelanggan atau memeras pelanggan.
Masyarakat
Yogya masih kental dipengaruhi oleh budaya Jawa. Masyarakatnya masih bersifat
paternalistik dan feodalis. Karena itu sangat penting melibatkan tokoh lokal.
Tokoh terkuat adalah Sri Sultan sendiri.
Jadi training itu idealnya paling tidak dibuka oleh beliau. Dawuhnya masih sangat didengarkan oleh rakyat
Yogya. Training itu mengutamakan pembinaan mental di tahap awal barulah di
tahap berikut bisa ditambahi pembinana kerampilan teknis. Karena pembinaan mental bukan perkara sepele maka
sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan, berjangka panjang. Paling tidak selama lima tahun masa kerja
pemerintahan daerah. Syukur periode
selanjutnya diperpanjang lagi menjadi training abadi. Pesertanya diundang terus
selama itu dan dipantau secara berkala perkembangannya.
Tulisan
ini memang masih lebih layak disebut impian daripada program kerja yang sudah
bisa dilaksanakan. Namun bukankah semua capaian
diawali dari impian ? Jika mimpi saja
tidak pernah, bagaimana mungkin kita mencapai cita cita? Marilah satukan tekad, satukan langkah untuk
membantu umkm. Semoga ada pihak yang
tersentuh dan bergerak.
Yogyakarta,
26 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment