Air susu dibalas dengan air tuba
Beberapa
hari ini saya tinggal di Yogyakarta di sebuah hotel di Jalan Malioboro. Hari ini ada waktu luang yang bisa saya
manfaatkan untuk menulis maka saya memfokuskan pikiran pada buku saya, sebuah
buku motivasi.
Saya
makan agak banyak ketika sarapan pagi di hotel tadi jadi sampai tengah hari
saya masih kenyang. Apalagi tadi saya membawa beberapa potong roti dari
restauran hotel yang saya makan di sela sela kegiatan menulis.
Saking
asyiknya waktu terasa berlalu sangat cepat. Tiba tiba saya mendengar suara
adhan dhuhur. Segera saya hentikan
kegiatan menulis. Selesai solat dhuhur
saya berbaring sejenak sambil membaca ratusan wa dari beberapa group. Beberapa postingan dari group sma yang baru
saja dua hari lalu reuni membuat
haru. Beberapa postingan membuat tertawa
sendirian di kamar hotel. Dan salah satu postingan itu memaparkan kekompakan
suatu kaum tertentu yang saling mendukung dan menganjurkan kita untuk saling
mendukung sesama kaum kita seperti yang mereka lakukan.
Mendadak
timbul gagasan unik di pikiran saya.
Karena masih kenyang saya ingin membeli camilan saja. Di sepanjang jalan Malioboro ini banyak
sekali pedagang camilan. Saya lantas
ingin mencoba membandingkan pengalaman saya membeli camilan di pedagang kecil
dengan membeli di toko. Saya jalan kaki
ke arah selatan. Niat saya ingin mencari
camilan di pasar Bering harjo dan di sebuah toko. Camilan itu harus khas Yogyakarta. Sambil berjalan saya melihat banyak sekali
pedagang menjual bermacam kerajinan dan camilan. Lantas saya putuskan untuk membeli bakpia.
Gerbang
Pasar Beringharjo tidak terlalu ramai siang ini. Hanya ada beberapa tukang
becak dan pembeli sehingga mudah bagi saya memotret gerbangnya yang bercat
hijau dan kuning. Tidak jauh dari
gerbang saya menemukan sedikit pedagang camilan di ujung lantai satu. Beberapa pedagang hanya menatap dingin, tidak
ada upaya menyapa atau menawarkan dagangannya.
Saya melangkah makin jauh kemudian ada dua orang pedagang yang menyapa
dan menawarkan dagangannya. Saya katakan
saya ingin membeli bakpia. Dia lantas mengambil beberapa jenis. Ada yang isinya kacang hijau, ada yang isinya
keju dan ada yang isinya campuran. Harganya
sama, limabelas ribu rupiah. Kemudian
saya pilih yang isinya keju. Lalu saya
bayar dengan uang duapuluh ribuan. Si pedagang bertanya yang lima ribu untuk
beli apa. Saya jawab saya pingin kembalian uang saja. Raut mukanya seketika berubah. Nampak sekali dia kesal dengan saya. Dengan ogah ogahan dia mencari uang lima
ribuan dan diberikan kepada saya tanpa mengucapkan terima kasih bahkan tanpa
menatap saya. Ketika saya mengucapkan
terima kasih dia hanya menjawab ya, dengan dingin. Terasa tidak ada jiwanya samasekali kata
katanya.
Kemudian
saya berjalan ke luar pasar. Di jalan
Malioboro saya temukan sebuah toko bernama ‘Djoen’ yang menjual bermacam roti
dan camilan. Ketika masuk seorang pelayan langsung menyambut dengan
sapaan. Saya katakan saya mencari
bakpia. Dengan cekatan dia menunjukkan barang
tersebut. Ada tiga macam. Ada yang isinya kacang kumbu, ada yang isinya
ketela biru dan ada yang isinya kacang hijau. Harganya sama semua – duapuluh
lima ribu rupiah. Saya membeli satu
dengan uang lima puluh ribuan. Sambil
memberikan kembalian si pelayan mengucapkan terima kasih.
Pedagang
pasar tadi adalah anggota kaum saya. Jadi saya tentu saya merasa ada semacam
solidaritas sesama kaum. Apalagi setelah membaca postingan teman tadi. Namun
sayang sekali rasa solidaritas saya itu tidak mendapatkan balasan yang sepadan. Saya malah dipaksa mengeluarkan uang lebih
dari yang saya kehendaki. Karena saya tidak mau dia lantas bermuka masam. Saya merasa sudah memberikan air susu tapi
dibalas dengan air tuba.
Pengalaman
sebaliknya saya dapatkan di toko roti.
Si pelayan memang dari kaum saya, tapi saya yakin bossnya, yang
mengawasi sebagai kasir, bukan. Meskipun harganya lebih mahal sepuluh ribu
rupiah, kepuasan berbelanja saya temukan di toko itu. Sedangkan di pasar saya
temukan kekecewaan.
Jadi
memang ada pebedaan besar sekali antara dua kaum ini. Pedagang pasar itu memiliki kelemahan pokok
dalam sikap mentalnya. Dia tidak
memiliki sikap melayani pembeli. Dia memiliki mentalitas macan yang melihat
pembeli seperti mangsa, bukan pelanggan yang harus dilayani biar kembali
lagi. Dengan pengalaman tidak enak
seperti itu, bagaimana mungkin saya mau membeli lagi dari dia?
Ketrampilan
teknis berdagang saya yakin hanya urutan nomor dua setelah mentalitas melayani
ini. Ketrampilan bisa dipelajari asal
mau belajar. Tapi siapa yang bisa membentuk mentalitas yang baik? Inilah pekerjaan besar bangsa ini. tapi
siapa yang mau dan mampu mengatasi?
Saya
hanya memotret salah satu masalah bangsa kita.
Saya bukan pakar, bukan pemimpin yang memiliki solusi. Saya hanya
berharap potret buram ini agak mengelitik beberapa pihak untuk membantu
mengatasi mentalitas buruk pedagang kecil.
Kalau mentalitas sudah baik, saya yakin ketrampilan teknis berdagang
akan berkembang bersama tantangan dan pengalaman yang akan mereka lewati.
Sebaliknya jika mentalitas tetap buruk maka saya kuatir mereka akan dilibas
oleh kejamnya persaingan di era revolusi indusri keempat saat ini.
Sebenarnya
saya berharap pendekatan keagamaan mampu memberi kontribusi syukur mampu
mengatasi hal ini. Sudah saatnya kegiatan pengajian diarahkan lebih spesifik
memberdayakan kaum umkm. Saya yakin
mental yang baik bisa dibentuk oleh kegiatan keagamaan, demikian juga
ketrampilan teknis berdagang. Di masa
lalu sudah pernah ada Sarikat Dagang Islam. Semoga di masa kini dan masa depan
ada lagi organisasi yang peduli.
No comments:
Post a Comment