Wednesday, October 25, 2017

Air susu dibalas dengan air tuba.

Air susu dibalas dengan air tuba
Beberapa hari ini saya tinggal di Yogyakarta di sebuah hotel di Jalan Malioboro.  Hari ini ada waktu luang yang bisa saya manfaatkan untuk menulis maka saya memfokuskan pikiran pada buku saya, sebuah buku motivasi. 
Saya makan agak banyak ketika sarapan pagi di hotel tadi jadi sampai tengah hari saya masih kenyang. Apalagi tadi saya membawa beberapa potong roti dari restauran hotel yang saya makan di sela sela kegiatan menulis.
Saking asyiknya waktu terasa berlalu sangat cepat. Tiba tiba saya mendengar suara adhan dhuhur.  Segera saya hentikan kegiatan menulis.  Selesai solat dhuhur saya berbaring sejenak sambil membaca ratusan wa dari beberapa group.  Beberapa postingan dari group sma yang baru saja dua hari lalu reuni  membuat haru.  Beberapa postingan membuat tertawa sendirian di kamar hotel. Dan salah satu postingan itu memaparkan kekompakan suatu kaum tertentu yang saling mendukung dan menganjurkan kita untuk saling mendukung sesama kaum kita seperti yang mereka lakukan.
Mendadak timbul gagasan unik di pikiran saya.  Karena masih kenyang saya ingin membeli camilan saja.  Di sepanjang jalan Malioboro ini banyak sekali pedagang camilan.  Saya lantas ingin mencoba membandingkan pengalaman saya membeli camilan di pedagang kecil dengan membeli di toko.  Saya jalan kaki ke arah selatan.  Niat saya ingin mencari camilan di pasar Bering harjo dan di sebuah toko.  Camilan itu harus khas Yogyakarta.  Sambil berjalan saya melihat banyak sekali pedagang menjual bermacam kerajinan dan camilan.  Lantas saya putuskan untuk membeli bakpia.
Gerbang Pasar Beringharjo tidak terlalu ramai siang ini. Hanya ada beberapa tukang becak dan pembeli sehingga mudah bagi saya memotret gerbangnya yang bercat hijau dan kuning.  Tidak jauh dari gerbang saya menemukan sedikit pedagang camilan di ujung lantai satu.  Beberapa pedagang hanya menatap dingin, tidak ada upaya menyapa atau menawarkan dagangannya.  Saya melangkah makin jauh kemudian ada dua orang pedagang yang menyapa dan menawarkan dagangannya.  Saya katakan saya ingin membeli bakpia. Dia lantas mengambil beberapa jenis.  Ada yang isinya kacang hijau, ada yang isinya keju dan ada yang isinya campuran.  Harganya sama, limabelas ribu rupiah.  Kemudian saya pilih yang isinya keju.  Lalu saya bayar dengan uang duapuluh ribuan. Si pedagang bertanya yang lima ribu untuk beli apa. Saya jawab saya pingin kembalian uang saja.  Raut mukanya seketika berubah.  Nampak sekali dia kesal dengan saya.  Dengan ogah ogahan dia mencari uang lima ribuan dan diberikan kepada saya tanpa mengucapkan terima kasih bahkan tanpa menatap saya.  Ketika saya mengucapkan terima kasih dia hanya menjawab ya, dengan dingin.  Terasa tidak ada jiwanya samasekali kata katanya.
Kemudian saya berjalan ke luar pasar.  Di jalan Malioboro saya temukan sebuah toko bernama ‘Djoen’ yang menjual bermacam roti dan camilan. Ketika masuk seorang pelayan langsung menyambut dengan sapaan.  Saya katakan saya mencari bakpia.  Dengan cekatan dia menunjukkan barang tersebut.  Ada tiga macam.  Ada yang isinya kacang kumbu, ada yang isinya ketela biru dan ada yang isinya kacang hijau. Harganya sama semua – duapuluh lima ribu rupiah.  Saya membeli satu dengan uang lima puluh ribuan.  Sambil memberikan kembalian si pelayan mengucapkan terima kasih.
Pedagang pasar tadi adalah anggota kaum saya. Jadi saya tentu saya merasa ada semacam solidaritas sesama kaum. Apalagi setelah membaca postingan teman tadi. Namun sayang sekali rasa solidaritas saya itu tidak mendapatkan balasan yang sepadan.  Saya malah dipaksa mengeluarkan uang lebih dari yang saya kehendaki. Karena saya tidak mau dia lantas bermuka masam.  Saya merasa sudah memberikan air susu tapi dibalas dengan air tuba. 
Pengalaman sebaliknya saya dapatkan di toko roti.  Si pelayan memang dari kaum saya, tapi saya yakin bossnya, yang mengawasi sebagai kasir, bukan.    Meskipun harganya lebih mahal sepuluh ribu rupiah, kepuasan berbelanja saya temukan di toko itu. Sedangkan di pasar saya temukan kekecewaan.
Jadi memang ada pebedaan besar sekali antara dua kaum ini.  Pedagang pasar itu memiliki kelemahan pokok dalam sikap mentalnya.  Dia tidak memiliki sikap melayani pembeli. Dia memiliki mentalitas macan yang melihat pembeli seperti mangsa, bukan pelanggan yang harus dilayani biar kembali lagi.  Dengan pengalaman tidak enak seperti itu, bagaimana mungkin saya mau membeli lagi dari dia?
Ketrampilan teknis berdagang saya yakin hanya urutan nomor dua setelah mentalitas melayani ini.  Ketrampilan bisa dipelajari asal mau belajar. Tapi siapa yang bisa membentuk mentalitas yang baik?   Inilah pekerjaan besar bangsa ini. tapi siapa yang mau dan mampu mengatasi? 
Saya hanya memotret salah satu masalah bangsa kita.  Saya bukan pakar, bukan pemimpin yang memiliki solusi. Saya hanya berharap potret buram ini agak mengelitik beberapa pihak untuk membantu mengatasi mentalitas buruk pedagang kecil.  Kalau mentalitas sudah baik, saya yakin ketrampilan teknis berdagang akan berkembang bersama tantangan dan pengalaman yang akan mereka lewati. Sebaliknya jika mentalitas tetap buruk maka saya kuatir mereka akan dilibas oleh kejamnya persaingan di era revolusi indusri keempat saat ini.
Sebenarnya saya berharap pendekatan keagamaan mampu memberi kontribusi syukur mampu mengatasi hal ini. Sudah saatnya kegiatan pengajian diarahkan lebih spesifik memberdayakan kaum umkm.  Saya yakin mental yang baik bisa dibentuk oleh kegiatan keagamaan, demikian juga ketrampilan teknis berdagang.  Di masa lalu sudah pernah ada Sarikat Dagang Islam. Semoga di masa kini dan masa depan ada lagi organisasi yang peduli.

   

No comments:

Post a Comment