Friday, November 24, 2017

Wanda

Wanda

Saya sedang menulis sebuah novel dengan setting Jawa masa lalu.  Selain menggambarkan situasi politik yang menjadi latar belakang cerita itu saya juga perlu menggambarkan karakter utama dan karakter pendamping.  Kemudian saya sampai pada sebuah adegan ketika seorang tokoh pemeran pembantu sedang melakukan kegiatan pengamatan di kubu lawan.   Saya ingin menampilkan sesuatu yang membuat kejutan dengan menggambarkan tokoh antagonis ini penampilannya halus, lembut dan sopan.
Nah di sinilah saya bertemu dengan frasa ‘ekspresi wajah’ ketika akan menggambarkan pemeran antagonis yang lembut tadi.  Frasa itu adalah kombinasi satu kata asing ‘ekspresi’ yang berasal dari bahasa Inggris ‘expression’ dan satu kata asli Indonesia yaitu ‘wajah’.  Dalam bahasa Inggris ada frasa ‘facial expression’ yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘ekspresi wajah’.
Memang tidak salah mengambil atau menyerap kata asing ke dalam bahasa Indonesia.  Mungkin kata asing ini sudah sangat dipahami orang Indonesia sehingga kita tidak usah repot mencari kata asli Indonesia untuk menggantikannya.  Tapi saya ingat dalam bahasa Jawa ada sebuah kata yaitu ‘wondo’ yang artinya sama dengan frasa dalam bahasa Inggris tadi. Jadi ‘wondo’ dalam bahasa Jawa sama artinya dengan ‘facial expression’ dalam bahasa Inggris.  Bahkan sebenarnya bukan hanya ekspresi wajah tapi ekspresi keseluruhan tubuh, alias bahasa tubuh. Dalam wayang kulit Jawa ada frasa ‘Wondo keprabon’ untuk menggambarkan seorang tokoh yang sedang memakai busana kebesaran seorang raja atau petinggi kerajaan yang sedang melakukan rapat di istana. Ada lagi kata ‘wondo kaprajuritan’ yang dipakai untuk melukiskan seorang tokoh yang memakai busana perang.  ‘Wondo asmoro’ dipakai melukiskan seorang tokoh yang sedang jatuh cinta, biasanya Arjuno yang memiliki banyak istri.    
Saya lalu mengecek secara online di situs  http://kbbi.co.id/arti-kata/wanda untuk mengetahui pemakaian kata ini dalam bahasa Indonesia. Inilah yang saya temukan di sana. Arti Kata "wanda" Menurut KBBI.   wan·da Jw n 1 ciri-ciri satuan wayang yg memberikan gambaran air muka dan watak: ada beberapa -- yg tampak pd wajah Baladewa; 2 suku kata.
Jadi jelas bahwa bahasa Indonesia menyerap kata ini dari bahasa Jawa kemudian ejaan dan ucapannya diubah.  Ucapannya menjadi a seperti dalam kata ‘saya’.  Artinya juga tidak jauh berbeda namun sayang kata ini jarang dipakai dalam bahasa tulis maupun lisan. 
Karena itu saya terdorong memakai kata ‘wanda’ sebagai padanan frasa ekspresi wajah namun saya memiliki sedikit keraguan.  Saya kuatir kata ini akan menimbulkan salah tafsir di kalangan pembaca.  Mungkin mereka akan mengira wanda ini nama orang tapi konteksnya tidak cocok sehingga menimbulkan kerancuan.  Meskipun demikian saya putuskan tetap memakai kata wanda sebagai padanan frasa ekspresi wajah.  Semoga upaya saya ini akan membuat pemakaian kata wanda akan mangkin meluas. 



 


Tuesday, November 14, 2017

Petruk dadi ratu

Petruk dadi ratu (Petruk jadi raja)

Kerinduan pada akar budaya sendiri mendorong saya pergi ke Museum Wayang di kota tua untuk menonton pertunjukan wayang kulit yang diselenggarakan setiap hari minggu pagi dari jam 10.00 sampai jam 14.00. Menonton pertunjukan wayang kulit memberikan kepuasan atas kerinduan tadi. Saya juga mendapatkan jeda dari kegiatan rutin setiap hari.  Menonton wayang kulit juga memberikan pilihan lain terhadap kegiatan pergi ke mall di akhir pekan.  Variasi kegiatan ini sungguh diperlukan untuk menyegarkan kembali kreativitas saya. 
Maka pada hari minggu 12 November 2017 kemarin saya pergi ke museum wayang di kota tua Batavia.  Ketika saya membeli tiket masuk petugas pejualan tiket yang saya tanyai memberitahu bahwa cerita yang akan dimainkan berjudul ‘Petruk dadi ratu’.  Meskipun demikian ketika saya perhatikan sesudah di dalam ternyata ceritanya bukan itu.  Dalam beberapa kalimat saja saya tahu bahwa ceritanya adalah ‘Gatotkaca Lahir  atau ‘Jabang Tetuka’.  Yang kedua ini adalah nama yang diberikan kepada anak pertama Bimoseno dari istrinya yang bernama Arimbi.  Ternyata hari itu ada dua orang dalang yang tampil.  Cerita Gatotkaca dimainkan oleh seorang dalang pemula yang baru diberi kesempatan tampil.  Cerita ini menarik juga tapi saya ingin fokus pada cerita kedua yang dimainkan oleh seorang dalang yang lebih senior.
Adegan pembukaan adalah Petruk yang sedang berlari cepat lalu menabrak seorang pendeta raksasa yang ternyata bapak kandungnya sendiri. Terjadi percakapan singkat.  Petruk lantas dibantu menyembunyikan diri dari kejaran dua pihak yang sedang bertikai.  Malam itu ada seorang wanita sakti bernama Mustokoweni mencuri pusaka kerajaan Ngamarto bernama Jimat Kalimosodo.  Seorang satria bernama Priambodo mengetahuinya lalu mengejar Mustokoweni bersama Petruk yang bekerja di sana sebagai punakawan (pembantu).  Terjadi pekelahian seru antara keduanya.  Priambodo berhasil merebut Jimat Kalimosodo lalu diberikan kepada Petruk untuk diselamatkan. Priambodo lantas melanjutkan perkelahian dengan Mustokoweni. Petruk lari ke suatu tempat dan tidak segera mengembalikan jimat Kalimosodo itu ke istana Ngamarto.  Jimat Kalimosodo itu membuat Petruk menjadi sakti mandraguna tanpa tandingan.
Adegan kedua di istana kerajaan Rancangkencono.  Saat itu sedang ada rapat kabinet dipimpin sang raja yaitu Prabu Joyo sentiko didampingi patih Kumandang Garbo.  Mereka tengah membahas ambisi raja menaklukkan kahyangan para dewa.  Mendadak rapat terhenti karena ada Petruk datang. Prajurit di luar tidak mampu menghadang kehendaknya masuk ke dalam istana.  Semuanya terkejut.
Petruk berbicara dalam bahasa ngoko kepada raja Joyo sentiko. Bahasa ini adalah ragam bahasa Jawa yang dipakai di antara orang yang setara misalnya antara teman akrab, saudara kandung dll.  Tentu saja raja marah karena tamunya tidak memakai tata krama.  Raja semangkin marah ketika Petruk menasehati agar seorang raja selalu memegang teguh agama, selalu adil dan melayani rakyatnya dan selalu terbuka terhadap opini dan kritik orang lain.
Pembicaraan keduanya menjadi panas sehingga raja tidak bisa mengatasi amarahnya lalu menyerang Petruk.  Ternyata dia bukan tandingan Petruk.  Dengan mudah  Petruk melumpuhkannya  sehingga Joyo sentiko terpaksa menyerahkan tahtanya kepada Petruk.  Maka Petruk menjadi raja di Rancang kencono dengan gelar Prabu Bel geduwel beh.
Setelah menjadi raja Petruk melakukan persiapan matang lalu menyerang kerajaan Ngestina (Hastinapura).  Lagi lagi kesaktiannya terbukti. Dengan mudah dia mengalahkan pasukan Ngestina.  Semua komandan dan petinggi ditahan.  Bahkan akhirnya raja Ngestina yaitu Suyudono alias Duryudono juga ditahan di rutan.  Hanya Patih Sengkuni yang berhasil lolos.
Sengkuni yang licik lalu lari menyelamatkan diri ke Ngamarto.  Sebenarnya dia akan minta tolong dan perlindungan kepada Pendowo Limo di Ngamarto.  Namun dengan lihai dia mengatakan bahwa Prabu Bel geduwel beh yang sudah menguasai Ngestina dan bahkan memenjarakan Suyudono dan kurowo adalah ancaman serius bagi Ngamarto.  Cepat atau lambat dia pasti akan menyerang Ngamarto.
Bimoseno yang tenperamental terprovokasi oleh Sengkuni sehingga dia seketika langsung berangkat akan menyerang Prabu Bel geduwel beh.  Setelah bertemu ternyata Prabu Bel geduwel beh menyatakan bahwa dia tidak ingin menyerang Ngamarto. Dia hanya ingin menyelamatkan Ngestino dari raja yang zalim.  Bimo lalu mundur  mendengar pernyataan itu.
Adegan berikutnya adalah rapat kabinet di Ngamarto. Sidang kabinet kali ini dihadiri Prabu Kresno yang merupakan penasehat raja dan sekaligus kakak sepupu Pendowo Limo. Sang prabu Kresno menyarankan agar mengutus Semar, Bagong dan Gareng. Semar adalah bapak angkat Petruk sedangkan Bagong dan Gareng adalah saudara angkatnya.  Mereka berangkat menemui Prabu Bel geduwel beh.  Awalnya sang raja berpura pura tidak mengenali mereka.  Namun mereka mengajak bernyanyi dan bercanda seperti kebiasaan mereka selama ini.  Tidak lama kemudian Prabu Bel geduwel beh berubah ujud, kembali menjadi Petruk.
Kalau kita menonton wayang dengan ekspektasi seperti menonton film Hollywood maka saya jamin anda pasti akan kecewa.   Alur ceritanya sangat datar.  Tidak ada kejutan. Tidak ada konflik seru.  Tidak ada alur berliku. Tidak ada misteri.  Tidak ada jalinan asmara.  Lalu apa yang ditawarkan oleh cerita ini?
Lakon ‘Petruk dadi ratu’  adalah lakon carangan, artinya dia adalah karya penulis Indonesia. Dia bukan bagian dari cerita asli Mahabarata meskipun  setting dan karakternya memang dari cerita Mahabarata.  Tokoh utamanya yang bernama Petruk adalah ciptaan penulis atau dalang Indonesia. Sayang sekali si penulis tidak mengungkapkan jati dirinya dengan jelas dalam sebuah kitab. Namun dari bahasanya diperkirakan lakon ini diciptakan di abad 19 di Yogyakarta.  Keberadaan tokoh Bagong menguatkan dugaan bahwa dia disusun di Yogyakarta karena konon Bagong tidak dikenal di Surakarta sebelum pemerintahan Sunan PB X.
Banyak orang meyakini kalau cerita ini adalah satire tentang seorang pemimpin yang tidak kompeten sehingga dia menyebabkan kekacauan dengan policynya yang konyol.  Dalam cerita itu memang Petruk menjadi sakti karena memegang Jimat Kalimosodo, bukan karena faktor yang ada dalam dirinya. Jadi mungkin maksudnya tidak ada kompetensi yang ada di dalam dirinya.  Melihat fisik Petruk yang tinggi dan berhidung mancung mengingatkan saya pada penguasa Nusantara di abad 19 yaitu Belanda.  Barangkali penulis mengecam penguasa saat itu yang menyebabkan kekacauan dan penderitaan rakyat.  Maklum saat itu penguasanya penjajah, bukan pemimpin.  Pemimpin adalah penguasa yang memajukan rakyatnya, bekerja untuk rakyatnya. Sedangkan penjajah menguasai untuk mengeruk kekayaan negri demi kepentingan kliknya sendiri. Pihak yang dianggap akan mengganggu kepentingannya pasti akan disikat.
Namun ada juga tafsir lain yang menganggap Petruk di sini mewakili sosok pemimpin ideal yang berasal dari rakyat dan bekerja untuk rakyat dengan menyerang penguasa zalim di Rancang kencono dan Ngestina.  Setelah angkara murka disirnakan dia kembali menjadi rakyat biasa menyatu lagi dengan rakyat. Jadi menurut tafsir ini kisah ini adalah ungkapan kerinduan penulis kepada sosok pemimpin ideal yang akan membersihkan negri dari penguasa korup dan tidak adil.
Kalau melihat tanggapan masyarakat dengan munculnya berbagai tafsir dan masih maraknya pementasan lakon ini maka bisa dikatakan lakon ini berhasil paling tidak dalam memancing bermacam reaksi.  Di museum Fatahillah bahkan ada sebuah lukisan dengan tema Petruk dadi ratu ini. Apapun tafsir orang maka hal itu sah sah saja karena memang karya sastra terbuka untuk banyak tafsir.  Silahkan saja membuat tafsiran sendiri. Siapa tahu tafsiran anda akan membuka pemikiran baru atau tanggapan baru yang memicu pemahaman baru atau bahkan tindakan baru lagi.