Petruk dadi ratu
(Petruk
jadi raja)
Kerinduan
pada akar budaya sendiri mendorong saya pergi ke Museum Wayang di kota tua
untuk menonton pertunjukan wayang kulit yang diselenggarakan setiap hari minggu
pagi dari jam 10.00 sampai jam 14.00. Menonton pertunjukan wayang kulit
memberikan kepuasan atas kerinduan tadi. Saya juga mendapatkan jeda dari
kegiatan rutin setiap hari. Menonton
wayang kulit juga memberikan pilihan lain terhadap kegiatan pergi ke mall di akhir pekan. Variasi kegiatan ini sungguh diperlukan untuk
menyegarkan kembali kreativitas saya.
Maka pada hari minggu 12 November 2017 kemarin saya pergi ke museum wayang di kota
tua Batavia. Ketika saya membeli tiket
masuk petugas pejualan tiket yang saya tanyai memberitahu bahwa cerita yang
akan dimainkan berjudul ‘Petruk dadi
ratu’. Meskipun demikian ketika saya
perhatikan sesudah di dalam ternyata ceritanya bukan itu. Dalam beberapa kalimat saja saya tahu bahwa
ceritanya adalah ‘Gatotkaca
Lahir’ atau ‘Jabang
Tetuka’. Yang kedua ini adalah nama
yang diberikan kepada anak pertama Bimoseno dari istrinya yang bernama
Arimbi. Ternyata hari itu ada dua orang
dalang yang tampil. Cerita Gatotkaca
dimainkan oleh seorang dalang pemula yang baru diberi kesempatan tampil. Cerita ini menarik juga tapi saya ingin fokus
pada cerita kedua yang dimainkan oleh seorang dalang yang lebih senior.
Adegan
pembukaan adalah Petruk yang sedang berlari cepat lalu menabrak seorang pendeta
raksasa yang ternyata bapak kandungnya sendiri. Terjadi percakapan
singkat. Petruk lantas dibantu
menyembunyikan diri dari kejaran dua pihak yang sedang bertikai. Malam itu ada seorang wanita sakti bernama
Mustokoweni mencuri pusaka kerajaan Ngamarto bernama Jimat Kalimosodo. Seorang satria bernama Priambodo
mengetahuinya lalu mengejar Mustokoweni bersama Petruk yang bekerja di sana
sebagai punakawan (pembantu). Terjadi pekelahian seru antara keduanya. Priambodo berhasil merebut Jimat Kalimosodo lalu diberikan kepada
Petruk untuk diselamatkan. Priambodo lantas melanjutkan perkelahian dengan
Mustokoweni. Petruk lari ke suatu tempat dan tidak segera mengembalikan jimat Kalimosodo itu ke istana Ngamarto. Jimat
Kalimosodo itu membuat Petruk menjadi sakti mandraguna tanpa tandingan.
Adegan
kedua di istana kerajaan Rancangkencono.
Saat itu sedang ada rapat kabinet dipimpin sang raja yaitu Prabu Joyo
sentiko didampingi patih Kumandang Garbo.
Mereka tengah membahas ambisi raja menaklukkan kahyangan para dewa. Mendadak rapat terhenti karena ada Petruk
datang. Prajurit di luar tidak mampu menghadang kehendaknya masuk ke dalam
istana. Semuanya terkejut.
Petruk
berbicara dalam bahasa ngoko kepada raja Joyo sentiko. Bahasa ini adalah ragam
bahasa Jawa yang dipakai di antara orang yang setara misalnya antara teman
akrab, saudara kandung dll. Tentu saja
raja marah karena tamunya tidak memakai tata krama. Raja semangkin marah ketika Petruk menasehati
agar seorang raja selalu memegang teguh agama, selalu adil dan melayani
rakyatnya dan selalu terbuka terhadap opini dan kritik orang lain.
Pembicaraan
keduanya menjadi panas sehingga
raja tidak bisa mengatasi amarahnya
lalu menyerang Petruk. Ternyata dia
bukan tandingan Petruk. Dengan mudah Petruk melumpuhkannya sehingga Joyo sentiko terpaksa menyerahkan
tahtanya kepada Petruk. Maka Petruk
menjadi raja di Rancang kencono dengan gelar Prabu Bel geduwel beh.
Setelah
menjadi raja Petruk melakukan persiapan matang lalu menyerang kerajaan Ngestina
(Hastinapura). Lagi lagi kesaktiannya
terbukti. Dengan mudah dia mengalahkan pasukan Ngestina. Semua komandan dan petinggi ditahan. Bahkan akhirnya raja Ngestina yaitu Suyudono
alias Duryudono juga ditahan di rutan.
Hanya Patih Sengkuni yang berhasil lolos.
Sengkuni
yang licik lalu lari menyelamatkan diri ke Ngamarto. Sebenarnya dia akan minta tolong dan
perlindungan kepada Pendowo Limo di Ngamarto.
Namun dengan lihai dia mengatakan bahwa Prabu Bel geduwel beh yang sudah
menguasai Ngestina dan bahkan memenjarakan Suyudono dan kurowo adalah ancaman
serius bagi Ngamarto. Cepat atau lambat
dia pasti akan menyerang Ngamarto.
Bimoseno
yang tenperamental terprovokasi oleh Sengkuni sehingga dia seketika langsung
berangkat akan menyerang Prabu Bel geduwel beh.
Setelah bertemu ternyata Prabu Bel geduwel beh menyatakan bahwa dia
tidak ingin menyerang Ngamarto. Dia hanya ingin menyelamatkan Ngestino dari
raja yang zalim. Bimo lalu mundur mendengar pernyataan itu.
Adegan
berikutnya adalah rapat kabinet di Ngamarto. Sidang kabinet kali ini dihadiri
Prabu Kresno yang merupakan penasehat raja dan sekaligus kakak sepupu Pendowo
Limo. Sang prabu Kresno menyarankan agar mengutus Semar, Bagong dan Gareng.
Semar adalah bapak angkat Petruk sedangkan Bagong dan Gareng adalah saudara
angkatnya. Mereka berangkat menemui
Prabu Bel geduwel beh. Awalnya sang raja
berpura pura tidak mengenali mereka.
Namun mereka mengajak bernyanyi dan bercanda seperti kebiasaan mereka
selama ini. Tidak lama kemudian Prabu
Bel geduwel beh berubah ujud, kembali menjadi Petruk.
Kalau
kita menonton wayang dengan ekspektasi seperti menonton film Hollywood maka
saya jamin anda pasti akan kecewa. Alur
ceritanya sangat datar. Tidak ada
kejutan. Tidak ada konflik seru. Tidak
ada alur berliku. Tidak ada misteri.
Tidak ada jalinan asmara. Lalu
apa yang ditawarkan oleh cerita ini?
Lakon
‘Petruk dadi ratu’ adalah lakon carangan, artinya dia adalah
karya penulis Indonesia. Dia bukan bagian dari cerita asli Mahabarata meskipun setting dan karakternya memang dari cerita
Mahabarata. Tokoh utamanya yang bernama
Petruk adalah ciptaan penulis atau dalang Indonesia. Sayang sekali si penulis
tidak mengungkapkan jati dirinya dengan jelas dalam sebuah kitab. Namun dari
bahasanya diperkirakan lakon ini diciptakan di abad 19 di Yogyakarta. Keberadaan tokoh Bagong menguatkan dugaan
bahwa dia disusun di Yogyakarta karena konon Bagong tidak dikenal di Surakarta
sebelum pemerintahan Sunan PB X.
Banyak
orang meyakini kalau cerita ini adalah satire tentang seorang pemimpin yang
tidak kompeten sehingga dia menyebabkan kekacauan dengan policynya yang konyol. Dalam
cerita itu memang Petruk menjadi sakti karena memegang Jimat Kalimosodo, bukan
karena faktor yang ada dalam dirinya. Jadi mungkin maksudnya tidak ada
kompetensi yang ada di dalam dirinya.
Melihat fisik Petruk yang tinggi dan berhidung mancung mengingatkan saya
pada penguasa Nusantara di abad 19 yaitu Belanda. Barangkali penulis mengecam penguasa saat itu
yang menyebabkan kekacauan dan penderitaan rakyat. Maklum saat itu penguasanya penjajah, bukan
pemimpin. Pemimpin adalah penguasa yang
memajukan rakyatnya, bekerja untuk rakyatnya. Sedangkan penjajah menguasai
untuk mengeruk kekayaan negri demi kepentingan kliknya sendiri. Pihak yang
dianggap akan mengganggu kepentingannya pasti akan disikat.
Namun
ada juga tafsir lain yang menganggap Petruk di sini mewakili sosok pemimpin
ideal yang berasal dari rakyat dan bekerja untuk rakyat dengan menyerang
penguasa zalim di Rancang kencono dan Ngestina.
Setelah angkara murka disirnakan dia kembali menjadi rakyat biasa
menyatu lagi dengan rakyat. Jadi menurut tafsir ini kisah ini adalah ungkapan
kerinduan penulis kepada sosok pemimpin ideal yang akan membersihkan negri dari
penguasa korup dan tidak adil.
Kalau
melihat tanggapan masyarakat dengan munculnya berbagai tafsir dan masih
maraknya pementasan lakon ini maka bisa dikatakan lakon ini berhasil paling
tidak dalam memancing bermacam reaksi.
Di museum Fatahillah bahkan ada sebuah lukisan dengan tema Petruk dadi ratu ini. Apapun tafsir
orang maka hal itu sah sah saja karena memang karya sastra terbuka untuk banyak
tafsir. Silahkan saja membuat tafsiran
sendiri. Siapa tahu tafsiran anda akan membuka pemikiran baru atau tanggapan
baru yang memicu pemahaman baru atau bahkan tindakan baru lagi.

No comments:
Post a Comment