Sunday, December 13, 2020

Year-end promo.

 At the end of the year don't miss the special price for my ebooks at your favorite ebook stores.

https://books2read.com/u/mdnqlE

https://books.apple.com/us/book/id1544277910




Tuesday, December 1, 2020

Ikuti kata hatimu.

 

 



Steve Jobs menyarankan kita mengikuti kata hati, tapi dia tidak menjelaskan kondisi hati.  Nah di dalam Al Qur’an ada gambaran duapuluh macam hati, ternyata hanya delapan saja yang baik dan sehat, sisanya kurang baik.   Hanya hati baik, bersih dan sehat saja yang mampu menerima bimbingan Allah swt.  Hati yang buruk tentu tidak mampu menerima panduan wahyu Allah swt.  Hati yang buruk menerima bisikan setan.  Maka pastikan dulu hatimu baik, bersih dan sehat agar dia mampu menerima, memahami wahyu Allah swt.  Kalau hati sudah terbimbing oleh wahyu Allah swt maka dia akan memberi bisikan yang baik, bisikan yang berdasarkan panduan wahyu Allah swt.


Wednesday, September 16, 2020

Edutravel to Indonesia.

Edutravel to Indonesia

 

Today we still face a problem of travel due to the Corona pandemic.  In normal condition we can combine education and traveling.  One of attractive destination is Indonesia where you can find beautiful nature and ancient culture.   Last year millions of foreign tourist came to Indonesia to visit the diverse culture of Indonesia and its beautiful nature. In my experience as a tourist guide I used to teach them a little bit Indonesian language.

Visiting beautiful places and learning a new language is an amazing experience for many people.  Unfortunately we cannot do it now.  We have to stay home to avoid the Covid 19.  That is why I write a book to help you learn Indonesian language.  The book is very different from other language book because I use the Indonesian setting to present the lessons.  It is organized into many chapters.  Each chapter describes a particular destination. So  it is like a story of Java-Bali Overland tours.


The book is available in your favorite bookstores.  Don’t miss it. Get it here : https://books2read.com/u/mlaEV9                   




Saturday, July 18, 2020

Wirogo, wiromo dan wiroso.



oleh 

Bambang Udoyono


Dalam joged Mataram dikenal prinsip wirogo, wiromo dan wiroso.  Ini menunjukan tingkatan penguasaan tarian.  Di tahap pertama penari baru belajar wirogo alias teknik gerakan tari.  Di tahap selanjutnya wiromo artinya irama.  Di sini dia belajar menyatukan gerakan raganya dengan irama musik pengiringnya.  Tatkala gerakannya sudah menyatu terciptalah keindahan tari yang memikat.  Tahap tertinggi adalah wiroso, artinya roso, atau perasaan.  Di tahap ini penari sudah mampu menyatukan gerakan raga dengan segenap jiwa raganya. Dia sudah mampu menghayati secara total.  Maka yang menari bukan hanya raganya tapi juga jiwanya.  Jika sudah sampai tahap ini maka keindahannya sudah sempurna.  Tariannya akan memilki greget atau enerji.  Penonton akan terpesona.  Dia sendiri akan sangat menikmati seninya.   Tepat sekali dalang kondang almarhum Ki Narto Sabdo ketika mengatakan ‘kinaryo langen pribadi’ yang artinya menghibur diri sendiri.  Jadi pelaku seni itulah yang paling menikmati seninya.  Tapi karena sudah punya greget maka orang lain tertarik.  Dia sudah punya magnit.
Saya yakin prinsip ini bisa juga diterapkan dalam kegiatan menulis.  Di tahap awal penulis masih berfokus pada teknik menulis.  Setelah menguasainya maka penulis naik ke tahap selanjutnya yaitu menemukan irama atau keindahan menulisnya.  Tahap tertinggi tercapai manakala penulis sudah mampu menghayati total, menulis dengan segenap jiwa raganya.  Di tahap ini karyanya sudah memiliki greget, atau enerji.  Pembaca akan merasakan pesonanya.  Ada keindahan, ketedasan, ketuntasan, ada kekuatan yang mencerahkan. Pembaca akan terhipnotis dan akan ada merasakan manfaat buku yang dibacanya.

Namun karena orang tidak memiliki greget pada semua bidang, maka seorang penulis harus rajin mengeksplorasi di mana, di bidang apa gregetnya jalan.  Dia harus berlatih menulis di berbagai bidang yang diminati.  Nanti akan terasa di mana enerjinya mengalir.  Kalau anda sudah tidak menyadari waktu berlalu maka artinya anda sudah mencapai tahapan ‘flow’. Greget anda sudah jalan.     Indikator lain misalnya anda sedang asik menulis anda tidak mendengar keluarga anda memanggil. Kalau sudah begini mungkin anda sudah sampai pada wiroso. Pokoknya jelajahi banyak bidang nanti anda akan menemukan bidang, topik, tema yang membuat greget anda mengalir lancar. 

Sunday, June 7, 2020

Story telling menurut tiga narsum, Catatan Kagama Menulis V.




Di awal Juni 2020 ketika sedang berselancar di FB saya menemukan sebuah maklumat menarik di FB group Kagama.  Ada flyer yang memberitahu akan ada acara Kagama Menulis yaitu acara training menulis story telling.   Ketika membaca keterangannya  saya semangkin tertarik lagi karena narsumnya sudah punya nama baik.  Ada tiga narsum.  Pertama Budi Setyarso, pimred koran Tempo.  Kedua Maryoto wartawan Kompas dan ketiga Nursodik Gunarjo, penulis memoir lucu “The Story of Gondes” dan “Gondes Forever”.    Tanpa keraguan sedikitpun saya mendaftar.


Pada hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020 jam 13.30 saya sudah duduk manis di depan laptop.  Di masa krisis Corona ini saya sudah berulangkali mengikuti webinar, meeting, online training, virtual tour dsb jadi saya sudah akrab dengan cara baru ini.  Namun kemarin ketika saya join meeting di Zoom saya harus menunggu agak lama.  Barangkali saking banyaknya perserta sehingga host perlu waktu lebih panjang daripada biasanya untuk menerima saya.  Ya wis tak tinggal maksi dulu.  Habis maksi sudah mendekati jam dua siang barulah saya bisa masuk ke ruang meeting.  Ternyata pesertaya memang banyak, ada 320 orang lebih partisipan.


Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berbasa basi sejenak mulailah acara intinya.  Moderatornya ada dua, Pak Hendry Prasetyo sang selebrity di FB group Kagama yang kondang karena suka posting Tiktokan yang lucu lucu.  Moderator kedua pak Elang.  Moderator pertama sudah luwes membawakan acara. Dia pasti sudah terbiasa membawakan acara publik seperti ini.  Moderator kedua tidak mengecewakan meskipun dia masih harus berlatih menata suaranya. Masih terlalu banyak jeda waktu yang tidak perlu.  Jadi pengelolaaan waktunya perlu diperbaiki.  Pak Hendry lantas mempersilahkan pemateri pertama.


Budi Setyarso, pimred koran Tempo tampil dengan kalem tapi mantap.  Dia mampu membuat tampilan visual yang bagus sekali.  Banyak foto yang memukau disertai teks singkat dan efektif.  Narasinya juga efektif meskipun dia tidak memakai teknik vokal yang canggih.  Jadi kombinasi antara content dan teknik presentasinya mantap sekali.  Audiens juga banyak memuji.
Dia memaparkan teknik story telling sesuai profesinya sebagai wartawan. Pertama menurut Budi penulis harus memilih angle (sudut pandang) terbaik untuk ceritanya.  Kemudian prinsip pokok adalah 5 W + 1 H yaitu who, when, what, where dan how.  Cerita harus ada tokoh utamanya (who), ada tempat kejadiannya (where), harus jelas kapan kejadiannya (when), apa kejadiannya (what) dan bagaimana terjadinya (how).     Kemudian cerita memiliki tiga bagian.  Pertama adalah lead.  Ini adalah paragraf pembuka yang harus menarik.  Bagian inilah yang menentukan nasib cerita itu, apakah akan dibaca atau tidak.  Orang sibuk pasti akan memilih cerita yang menarik, yang relevan dengan mereka. Maka alinea ini harus menarik.  Di bagian ini 5 W +1 H sudah harus ada.  Tapi harus singkat agar orang tidak bosan.  Dia sertakan juga contohnya dengan sebuah alinea berita tentang seorang Papua yang mampu memanggil ikan. Contoh itu memang sangat bagus.  Ia mampu membangkitkan minat pembaca.


Bagian kedua adalah isi, paparan utama, dari cerita.  Bagian ini harus memakai kalimat efektif, yang disarankan pendek saja. Dia sarankan hindari kalimat panjang.  Tujuannya agar mudah dipahami.  Tulisan yang bagus adalah tulisan yang mudah dipahami semua kalangan.  Bukan tulisan yang bikin pusing. Di bagian ini Budi tidak memberi contoh mungkin karena panjang.

Bagian ketiga adalah penutup.  Bagian ini bisa singkat saja tapi harus tetap lengkap.  Bagian ini harus menuntaskan paparan di bagian sebelumnya.  Budi tidak menganjurkan ada penutup yang menggantung, yang menyisakan pertanyaan.  Misalnya dengan kalimat, nanti sejarah yang akan mengungkapkan dsb.


Budi memberi contoh dengan tulisannya sendiri di Tempo tentang kematian Munir.   Contohnya singkat saja tapi sangat kuat.  Isinya keterangan tentang kondisi Munir yang meninggal ketika sedang berbaring di lantai pesawat yang sedang terbang menuju Belanda.  Hebatnya alinea itu bisa menimbulkan kesan betapa kejamnya si pembunuh.


Di akhir paparannya Budi memberi latihan.  Dia meminta kami menulis cerita berdasarkan sebuah foto. Ada sebuah foto tiga orang perawat yang sedang duduk bersandar di dinding sambil ketiduran.  Mereka masih memakai alat pelindung diri lengkap.  Dia minta tulisan dikirim via email dan dia berjanji akan memberi komentar dan masukan pada beberapa tulisan.

Dia juga menjawab beberapa pertanyaan.  Salah satunya adalah pertanyaan tentang SARA.  Menurut dia kita tidak usah menutupi masalah ini karena bisa jadi bahaya kalau berpura pura tidak ada masalah. Jadi ditulis boleh asal jangan dengan bahasa yang membakar emosi orang.


Pemateri kedua adalah Maryoto, seorang wartawan Kompas alumni TP UGM. Dia memaparkan story telling juga dengan banyak foto yang cukup bagus.  Sayangnya dia tidak memberi teks sedikitpun pada foto foto tersebut.  Dia memang memberi narasi tapi dia masih harus berlatih lebih giat agi untuk menata suaranya agar tidak monoton.  Saya jadi ingat pelajaran teknik mengelola intonasi agar paparan kita tidak membuat audiens mengantuk.  Situasi diperburuk dengan munculnya suara mendengung dan bergema.  Bahasa tubuhnya juga datar saja, tanpa ekspreso,  eh ekspresi. Di chatting banyak audiens yang mengeluhkan kualitas suara.  Waktu dia bicara ini pas dengan saat solat asar sehingga banyak yang memilih meninggalkan acara sejenak untuk solat.  Saya juga mengutamakan solat dulu.  Seusai solat ketika saya kembali masalah suara ini belum teratasi.     Banyak pertanyaan belum terjawab mungkin karena pengelolaan waktu yang masih perlu ditingkatkan lagi.

Di sesi terakhir tampil penulis cerita lucu Gondes, pak Nursodik Gunarjo.  Paparannya di awal adalah motivasi menulis. Menurut dia apapun bisa ditulis, tidak perlu peristiwa besar.  Dia ambil contoh cerita memoirnya.  Apa yang dia ceritakan adalah peristiwa biasa, bukan peristiwa besar yang mengguncang dunia.  Kejadian biasa bisa saja menjadi tulisan menarik asal ditulis dengan baik. Nursodik mengibaratkan penulis seperti seorang chef yang harus meracik bahan bahan menjadi makanan yang enak.  Sayangnya pak Gondes ini kurang rinci memaparkan bagaimana tahapan menulis yang baik dan lucu.  Jadi teknisnya agak kurang tajam.  Hanya berhenti sebatas memotivasi saja agar menulis menarik tanpa resep bagaimana menciptakan tulisan yang baik itu.  Gaya bertutur lisan mas Gondes juga tidak selucu tulisannya, meskipun dia sudah mencoba melucu.  Dia juga masih harus banyak berlatih olah suara agar mampu membuat tekanan suara, jeda dan lain lain semangkin baik dan menarik.


Secara keseluruhan acara Kagama Menulis V kemarin berjalan baik.  Semuanya lancar.  Semua materi dipaparkan dengan lumayan sesuai dengan rencana.  Pemateri bintang kemarin adalah Mas Budi Setyarso yang di CV nya disebutkan alumi SMA Magelang, sayang tidak disebutkan SMA mana.   Panitia patut diapresiasi dengan kerja bagusnya ini.  Moderator juga sudah bagus terutama pak Hendri Prasetyo yang alumni Kehutanan UGM.  Pesertanya juga nampak antusias menanyakan berbagai hal kepada para pemateri.  Akan lebih baik lagi kalau peserta yang diberi kesempatan tampil bertanya secara lisan bukan hanya yang cantik saja. Semoga lain kali ada lagi acara seperti ini tanpa harus menunggu sirnanya Corona dengan menampilakan narsum penulis lain untuk meluaskan wawasan kita.  





Friday, June 5, 2020

You are what you read.




Anda dibentuk oleh bacaan anda.  Mengapa? Karena bacaan itu mempengaruhi pikiran. Lalu pikiran mempengaruhi ucapan dan perbuatan.  Kemudian tindakan akan jadi kebiasaan.  Nah kebiasaan akan menentukan kemampuan kerja anda. Akhirnya kemampuan kerja akan menentukan nasib anda.  Jadi pilihlah bacaan yang membuat nasib anda jadi baik.  Jika anda ingin keluarga anda bahagia, maka pilihlah bacaan yang mendukung tercapainya tujuan itu.  Buku apa misalnya ?  Buku berikut ini contohnya. 
  
Kalau bacaan anda buruk, maka pikiran anda akan buruk dan akibatnya berantai seperti di atas.  

Saturday, April 11, 2020

D+D=R&R


D+D = R&R
Bambang Udoyono


Barangkali anda membatin apa arti judul di atas.  Mungkin anda membatin kok ada miripnya dengan merek busana papan atas.  Atau mungkin anda mengira itu adalah sebuah persamaan.  Tepat sekali kalau anda menganggapnya sebagai sebuah persamaan.
Judul itu memang mirip dengan persamaan matematika yang diterapkan di berbagai bidang.  Salah satunya di bidang parenting ini.  Bagaimana mungkin?  Apa hubungannya dengan parenting?  Mari kita simak.
Persamaan di atas bisa diuraikan demikian:
Dedication + discipline = reward and recognition.
Dedication atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pengabdian, adalah komitmen total pada sesuatu hal yang dikerjakannya.  Jadi kalau seorang siswa atau mahasiswa artinya dia harus sangat serius, sangat total dalam belajar.  Buat orang yang sudah bekerja artinya bekerja dengan sebaik baiknya, memberikan upaya terbaiknya untuk pekerjaannya.   
Discipline sudah terserap dalam bahasa Indonesia menjadi disiplin, (bukan diselipin) artinya mematuhi tata tertib.  Kalau pelajar / mahasiswa ya harus rajin belajar setiap hari di sekolah dan di rumah.  Karyawan ya harus bekerja sesuai aturan waktu, tata cara dsb.
Reward dalam bahasa Indonesia artinya ganjaran atau hadiah atas apa yang sudah diupayakan.  Jadi kalau orang sudah bekerja dengan sangat disiplin dan memiliki dedikasi yang tinggi maka dia akan menerima rewardnya, atau hadiahnya.  Seorang pelajar / mahasiswa yang sudah melakukan D+D akan mendapat nilai tinggi dan mendapat ilmu selain ijazah.  Seorang karyawan akan mendapatkan penghasilan berupa uang dsb.
Recognition  artinya pengakuan.  Selain itu, hasil dari D+D adalah masyarakat akan mengakui keunggulan kita.  Lagipula ajaibnya, pengakuan masyarakat itu akan diberikan kepada seorang siswa / mahasiswa tanpa melihat rapot, nilai atau ijazahnya.  Jarang sekali kan kita memamerkan nilai di sekolah apalagi rapot dan ijazah.  Namun masyarakat mengakui bahwa kita memiliki keunggulan dalam satu bidang ilmu tertentu, atau ketrampilan tertentu.    Pengakuan ini dimulai dari lingkungan terdekat. Di kelas misalnya, pasti semua murid sudah paham kepada siapa bertanya tentang bahasa Inggris dan kepada siapa harus bertanya soal matematika.  Artinya dalam waktu singkat, beberapa minggu saja, pasti semua anak memberikan pengakuan kepada yang terunggul di bidang tertentu.  Dari lingkungan terdekat pengakuan itu menyebar ke masyarakat dari mulut ke mulut.
Demikian juga untuk karyawan.  Sejak awal sebenarnya semuanya saling memantau kinerja.  Bersama berjalannya waktu akan terlihat siapa yang paling maksimal memberikan D+D.  Setelah terlihat oleh teman dan atasan maka akan jelas siapa yang layak naik ke jenjang kepeminpinan. Namun jangan kaget jika nanti ada pihak yang merasa akan kalah lalu melakukan upaya mencegah. Bukan untuk kepentingan umum tapi untuk memenuhi ambisinya sendiri.  Tapi ini kita bahas lain kali saja.  Mari kita fokus ke topik utama.
Jadi secara umum bisa terlihat polanya.  Siapa saja yang memberikan dedikasi dan disiplin terbaik maka dia akan menerima reward dan pengakuan terbaik juga.  Pertanyaan berikutnya, apa hubungannya dengan parenting?  
Nah setelah pola itu dipahami, menjadi jelas bahwa tugas orang tua adalah membantu anak anaknya melakukan D+D secara maksimal. Orang tua harus menanamkan disiplin kepada anak anaknya.  Satu hal penting yang harus dipahami oleh orang tua adalah, ada dua macam disiplin yaitu disiplin intriksik dan disiplin ekstrinsik.  Apalagi itu?  Keduanya sudah saya jelaskan di dalam buku saya yang berjudul “Membangun keluarga bahagia dengan iman, cinta dan wacana”.  Di sana dipaparkan kiat membangun disiplin untuk anak anak tanpa menimbulkan efek samping yang buruk.
Orang tua harus memantau perkembangan anak anaknya dalam melaksanakan D+D ini agar selalu baik.  Setelah hal itu dicapai, maka orang tua tidak usah kuatir lagi karena bisa dipastikan anak anaknya akan mendapatkan R & R yang setara.  Apabila D+D sudah maksimal maka pasti anak anaknya akan mendapat R&R yang maksimal juga.  Selain nilainya akan bagus, ilmunya juga akan bagus. Mereka akan mendapat sekolah yang bagus dan insya Allah pekerjaan yang bagus juga.
Saya perlu menegaskan hal ini karena saya lihat orang tua Indonesia melakukan kesalahan.  Di mana kesalahannya? Bukankah ini hal sederhana saja? Apa susahnya?
Mereka mungkin memang sudah lama paham tapi sayang kebanyakan orang terbalik dalam menerapkannya.  Mereka salah fokus.  Salah fokus bagaimana?  Mereka memfokuskan pada R+R.  Mereka menuntut anak anaknya mendapatkan nilai tinggi dan peringkat tinggi saja.  Akibatnya banyak orang memiliki gelar sarjana, tapi tidak menguasai ilmunya. Banyak orang berjuang mencari hasil tanpa mementingkan prosesnya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa ‘Gelem nangkane ora gelem pulute”. Artinya mau nangkanya tapi tidak mau getahnya.  Mau enaknya  tapi tidak mau bersusah payah berjuang.
Sedangkan ilmu hanya bisa dikuasai dengan belajar keras.    Tidak bisa didapatkan dengan santai santai saja. Tidak bisa juga dengan membeli nilai. Tidak bisa dengan menyuap.  Demikian juga pekerjaan, kedudukan, dan jabatan. 
Kalau D+D sudah kita terapkan bersama anak anak kita maka insya Allah kita tidak akan melewati jalur yang salah.  Kita tidak usah menyuap, menyogok dsb.
Jadi mari kita pastikan anak anak kita memiliki D+D yang maksimal,  agar mendapat R&R yang maksimal juga.
Lain kali kita sambung lagi dengan bahasan yang beda lagi.





Monday, January 6, 2020

Mengorangtuai orang tua




Kebanyakan orang ketika memasuki usia limapuluhan tahun ke atas sudah memiliki anak anak yang sudah dewasa.   Mereka akan menikah dan memiliki keturunan sendiri.  Anak kita sudah menjadi orang tua dari anak anaknya. Maka posisi kita berkembang menjadi kakek dan nenek.  Di sinilah muncul pertanyaan : bagaimana peran ideal kita sebagai kakek dan nenek?
Untuk menggambarkan hubungan antara kakek nenek dengan anak cucunya, saya ingin memakai ibarat hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam sistem pemerintahan yang menganut otonomi daerah, bukan yang sentralistik.   Dalam sistem pemerintahan yang otonom ini daerah memiliki kewenangan memutuskan sendiri banyak hal teknis yang khas daerahnya.  Pemerintah pusat mendikte hanya dalam beberapa hal pokok saja.  Demikian juga dalam keluarga. Kakek nenek ibarat pemerintah pusat yang tidak mendikte keputusan teknis keluarga anak cucunya.
Satu hal pokok yang saya haruskan adalah agama.  Hal ini harga mati yang tidak bisa ditawar.  Jadi saya mengharuskan anak anak saya mengajarkan kepada anak anaknya agama Islam.  Mereka harus menjadi contoh buat anak anaknya.  Sedangkan soal teknis parenting saya tidak akan mendikte.  Saya hanya memberi masukan tapi tidak akan mendikte secara rinci.  Saya serahkan keputusan teknis rincinya kepada mereka sendiri karena saya percaya mereka sudah mampu membuat keputusan terbaik untuk anak anaknya.  
Meskipun demikian hal ini lebih mudah diomongkan daripada dilakukan karena naluri kita sebagai orang tua masih dominan.  Tidak jarang kita ingin mendikte anak harus melakukan ini dan itu.  Jadi saya dan istri selalu saling mengingatkan untuk tidak terlalu jauh campur tangan dalam hal teknis.  Itulah sebabnya sebaiknya pasangan yang sudah menikah tinggal terpisah.  Boleh saja bersebelahan rumah tapi menjadi unit rumah tangga yang mandiri.
Ketika berkunjung ke rumah anak atau anak berkunjung ke rumah kita maka prinsip ini harus selalu dipegang.  Kita harus berdiskusi dengan anak soal pola asuh misalnya.  Tujuannya untuk kordinasi agar tindakan kita sebagai kakek nekek tidak kontra dengan policy yang sudah dia tetapkan untuk anak anaknya.  Jadi agar sinkron langkah kita dengan langkah anak kita dalam mendidik cucu kita.
Kita sebagai kakek nenek harus legowo apabila anak kita menganut pola asuh yang berbeda dengan apa yang pernah kita terapkan kepada mereka dulu.  Demikian juga dengan semua keputusan teknis yang mereka ambil, kita harus menerima dengan lapang dada.  Misalnya di mana mereka tinggal, apa profesi yang mereka pilih dsb.  Percayaan saja kepada mereka. Serahkan saja keputusan itu kepada mereka.  Dengan demikian mereka akan mampu berkembang menajdi pengambil keputusan yang baik.  Tentu saja kita masih bisa berperan sebagai pemberi masukan.  Tapi bukan sebagai pengambil keputusan atas masalah teknis mereka.
Agar tidak ada benturan antara tindakan kita dengan policy anak anak kita maka perlu dialog secara terus menerus.  Kita perlu menciptakan suasana keterbukaan di mana mereka bebas mengutarakan pendapatnya dan opininya.  Hal ini mudah saja dilakukan kalau sudah sejak awal kita menerapkannya kepada anak anak kita. 
Semuanya berakar di masa lalu.  Jadi ketika anak anak kita masih muda kita sudah harus menerapkan pola asuh yang demokratis.  Bagaimana gambaran pola asuh ini sudah saya tuliskan secara gambalnag dan rinci dalam buku saya yang berjudul ‘Membangun Keluarga bahagia dengan iman, cinta dan wacana’, yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, tahun 2019.  Buku ini tersedia dalam dua versi, buku cetak basa dan ebook alias buku elektronik.