Thursday, February 14, 2019

Banjaran Karno


Banjaran (biografi) Karno

Mungkin anda sudah pernah mendengar frasa Bagavad Gita yang berasal dari wira carita Mahabarata.  Barangkali anda pernah melihat lukisan atau foto Karno yang sedang bertarung dengan Arjuno.  Atau mungkin anda pernah melihat patung dua orang satria bertarung dengan menaiki kereta berkuda.  Ada berbagai versi cerita tentang Karno.  Berikut ini adalah cerita dalam versi Jowo.

Dewi Kunti Nalibroto adalah ibu kandung dari Karno.  Jadi Karno adalah kakak kandung tertua dari Pendowo, terutama Judistiro, Bimo dan Arjuno.  Dewi Kunti ini adalah anak raja Basukunti dari kerajaan Manduro.  Ketika remaja Kunti punya seorang guru bernama Begawan Druwoso yang mengajari berbagai macam ilmu kepada keluarga raja.  Salah satu ilmu yang diajarkan adalah ilmu untuk memanggil dewa.  Kunti yang menyukai matahari pagi lantas memanggil dewa matahari Betoro Suryo.  Maka datanglah Betoro Suryo dan terjadilah hubungan sehingga Kunti hamil. Ayahnya tentu saja marah lalu memanggil Begawan Druwoso untuk mencari jalan keluar masalah ini. Sang Begawan akhirnya menemukan jalan untuk menyelamatkan muka keluarga raja.  Sang bayi dilahirkan lewat telinga sehingga keperawanan Kunti tetap terjaga dan bayinya selamat.  Bayi itu lantas diberi nama Karno yang artinya telinga.  Nama lainnya adalah Suryo putro dan Suryo Atmojo, keduanya sama artinya yaitu anak (dewa) matahari.  Ada keajaiban lain yaitu ketika bayi Karno lahir dia sudah memakai baju dan anting yang bersinar.  Keduanya adalah pusaka sakti pemberian ayahnya yang kasiatnya membuat Karno kebal segala macam senjata.

Namun Dewi Kunti ketika melahirkan Karno ini masih belum menikah.  Maka bayi Karno lalu ditaruh di sebuah keranjang lalu dihanyutkan di sebuah sungai.  Kemudian bayi Karno ditemukan oleh seorang kusir bernama Adiroto yang bekerja di istana Ngestino sebagai kusir raja.  Dia lalu dibesarkan oleh Adiroto.


Sebagai anak kusir maka dia mewarisi profesi ayahnya yaitu merawat kuda dan mengedarai kereta kerajaan.  Karena itu dia bisa dekat dengan anak anak raja sehingga dia bisa menguping ketika Durno mengajar Pendowo dan Kurowo.  Saat itu yang berkuasa adalah Destoroto ayah dari para Kurowo.  Karno yang pintar menempatkan diri jadi dekat dengan para Kurowo.  Jadi dia meguasai semua ilmu yang dimiliki para Pendowo dan Kurowo.


Ketika mereka remaja dan ketegangan antara Pendowo dan Kurowo makin meningkat maka Karno ikut bertapa untuk mendapatkan kesaktian dari para dewa.  Suatu saat dia topo broto (bertapa) di gunung Indrokilo tidak jauh dari tempat Arjuno bertapa.  Betoro Narodo diperintah oleh Betoro Guru untuk memberikan sebuah senjata yang sangat sakti berupa panah bernama Kunto Wijoyondanu.  Panah ini bukan sembarang panah tapi panah yang bisa mengejar sasarannya. Jadi lintasannya tidak hanya lurus tapi bisa berbelok belok.  Meskipun sasarannya terbang sekalipun dia akan terus mengejar sampai kena.   


Ketika Narodo sampai di gunung Indrikilo ini dia bingung melihat dua satria sedang betapa dan wajahnya mirip.  Dia mengira Karno adalah Arjuno maka dia datangi Karno lantas dia serahkan senjata sakti tersebut tanpa mengecek ktpnya.  Dia juga berpesan agar senjata itu jangan sembarangan dipakai karena saking dahsyatnya dan hanya bisa sekali dipakai.   Karno lantas pulang ke Ngestino.  Setelah itu Nardo menemui Arjuno menanyakan apa maunya.  Narodo kaget ketika dijawab dialah Arjuno.  Seketika mereka berdua menyusul Karno.  Untung masih bisa dikejar.  Tapi ketika senjata sakti itu diminta lagi Karno menolak meskipun Narodo mengatakan sebenarnya panah sakti itu untuk Arjuno.  Perdebatan makin panas lantas terjadi perkelahian.  Ternyata kesaktian keduanya seimbang.  Akhirnya Arjuno hanya mampu merebut sarung panahnya saja.  Kata Narodo suatu ketika nanti panah sakti Kunto akan mencari sarungnya.


Sarung inipun sudah lumayan sakti. Dia bawa pulang dan dengan sarung panah inilah dia bisa memotong tali puser Gatotkoco yang semula tidak bisa dipotong dengan senjata apapun.  Tapi sayang sarung panah itu masuk ke badannya sehingga nanti Gatotkoco akan rawan kepada panah sakti Kunto wijoyondanu.

Suatu hari Karno bertemu dengan Surtikanti, anak Prabu Salya dari negri Mondoroko.   Surtikanti sebenarnya sudah dijodohkan dengan Suyudono putra mahkota Ngestino tapi tidak jadi karena lantas pacaran dengan karno.  Mereka berpacaran sembunyi sembunyi.  Di malam hari Karno sering melompati pagar keputren (asrama putri) di istana Mondoroko.  Awalnya tidak ada yang tahu, tapi suatu malam ada prajurit jaga yang melihat.  Ketika dikejar dia mampu lolos tapi prajurit itu melihat wajahnya dan melapor bahwa ada yang masuk keputren dan diduga Arjuno.  Wajahnya memang mirip dengan Arjuno lagipula Arjuno sudah punya reputasi sebagai playboy yang punya pacar di mana mana. 

Prabu Salyo yang mendapat laporan itu lalu marah kepada Arjuno. Arjuno tentu saja membantah tuduhan itu.  Dia lalu berjanji sanggup menangkap pencuri hati itu dalam waktu seminggu.  Maka malam harinya Arjuno ikut berjaga di keputren.   Malam pertama maling hati itu ditunggu tidak datang seolah tahu kalau mau dijebak.  Seminggu hampir berlalu tetap saja dia tidak datang.  Kesempatan Arjuno tinggal semalam. Untunglah pada malam terakhir ketika lewat tengah malam dia melihat ada bayangan hitam melompati tembok tinggi keputren.  Arjuno memburunya masuk keputren.  Si maling hati berhasil dikejar tap dia tidak mau diusir bahkan melawan.  Terjadilah perkelahian seru. Ilmu keduanya ternyata seimbang sehingga Betoro Narodo terpaksa memisahkan karena keduanya nyaris memakai senjata pusaka yang dahsyat.  Dalam perkelahian itu Karno cedera di kepala.

Setelah ketahuan sering datang ke keputren di malam hari dan dicurigai sudah terjadi hal yang diinginkan maka Karno dan Surtikanti dinikahkan.  Meskipun demikian Prabu Salyo agak kecewa dengan menantunya ini karena dia ingin punya menantu Suyudono yang calon raja.

Suatu hari Raja Ngestino Prabu Destoroto mengadakan pertandingan antara Kurowo dengan Pendowo.  Dalam semua cabang olah raga yang dipertandingkan seperti panahan, pencak silat dsb Kurowo selalu kalah.  Maka suatu hari Suyudono mengusulkan agar Karno diajukan sebagai jago Kurowo untuk melawan Arjuno dalam lomba panahan.  Tapi kesombongan Pendowo limo muncul.  Mereka menolak bertanding melawan Karno dengan alasan tidak sederajat.  Mereka adalah satria anak raja sedangkan Karno hanya anak kusir.  Karno yang dipermalukan sejak itu merasa dendam kepada Pendowo.  Suyudono tidak terima dengan penolakan tersebut dia lalu mengusulkan kepada ayahnya agar Karno diangkat menjadi penguasa di Awonggo.  Prabu Destoroto menyetujuinya.  Karno lalu diangkat menjadi penguasa Awonggo dengan gelar Adipati Karno.   Dengan demikian dia menjadi sederajat dengan Pendowo Limo dan layak mengikuti lomba.  Dalam lomba itu dia mampu meladeni kesaktian Pendowo Limo.  Karena kejadian itu Karno merasa berhutang budi kepada Kurowo dan bersumpah setia kepada mereka. Dia bertekad membela mereka dalam perang Baroto yudo joyo binangun.
 
Menjelang perang Baroto yudo kekuatan Karno makin besar dan makin berpengaruh di kubu Kurowo.  Pendowo limo lalu mengangkat Kresno, saudara sepupunya yang menjadi raja di Dwarawati sebagai penasehat mereka.  Kresno ini adalah keponakan Kunti, anak dari kakak kunti, Prabu Basudewo.  Kresno dikenal sebagai pemimpin yang cerdas. Dialah pengatur strategi politik dan militer Pendowo.


Salah satu akal Kresno adalah melobby Karno.  Suatu hari Kresno mengajak bibinya, Dewi Kunti menemui Karno.  Mereka membujuk Karno dengan tujuan mengajak Karno gabung ke kubu Pendowo dengan alasan Karno adalah kakak kandung Pendowo terutama Judistiro, Brotoseno dan Arjuno meskipun beda ayah.  Tapi Karno menolak dengan tegas.  Dia sampaikan bahwa dia sudah bersumpah setia kepada Kurowo akan membantu dalam keadaan senang maupun susah.  Menurut dia seorang satria harus memiliki prinsip kesetiaan seperti itu.  Dia malah mempertanyakan di mana tanggung jawab Kunti sebagai ibu. Selama ini dia tidak pernah dibesarkan dan didik oleh Kunti.  Dia justru dibuang dan diangkat anak oleh seorang kusir.  Ini sangat menyakitkannya.  Dewi Kunti hanya bisa menangis mendengar ini.  

Akhirnya perang Baroto yudo tidak terhindarkan.  Karno memang sakti tapi dia bukan ahli strategi yang canggih.  Dalam perang itu dia termakan oleh strategi Kresno yang lihai.  Kresno tahu bahwa Karno memiliki senjata sakti yang nyaris tidak ada lawannya.  Maka ketika Karno menjadi senopati (komandan) pasukan Ngestino di hari kelimabelas, Kresno menunjuk Gatotkoco sebagai komandan pasukan Ngamarto.  Awalnya pertarungan keduanya seimbang bahkan pelan pelan Gatotkoco yang lebih muda dan lebih kuat mampu mendominasi perkelahian.  Karena itu Karno terpaksa memakai panah saktinya – Kunto wijoyondanu.  Gatotkoco tahu dia tidak akan mampu melawan panah sakti tersebut maka dia mengindarinya dengan terbang sangat tinggi.  Tapi Kunto mampu mengejar ke manapun Gatotkoco terbang.  Akhirnya kunto kembali ke sarungnya.  Gatotkoco gugur sebagai pahlawan Ngamarto ketika Kunto mengenainya di langit.  Ketika jatuh dia masih semat mengarahkan tubuhnyake pasukan Ngestino sehingga banyak korban jatuh terkena badannya.

Barulah di hari berikutnya Kresno menunjuk Arjuno sebagai senopati pasukan Ngamarto.  Artinya senjata pamungkas Karno yaitu Kunto sudah hilang karena hanya bisa dipakai sekali saja.  Kali ini terjadi perang tanding dengan adu ketrampilan memanah dengan menaiki kereta perang.  Karno naok kereta perang yang dikusiri oleh mertuanya sendiri yaitu Prabu Salyo.  Sedangkan Arjuno dikusiri oleh Kresno sendiri. 


Di episode inilah ada dialog antara Arjuno dengan Kresno yang terkenal sebagai filsafat Bagawad Gita.  Intinya Arjuno mempertanyakan kebenaran peperangan tersebut.  Dia harus membunuh orang yang dikasihi dan orang dekatnya sendiri.  Bukankah itu sebuah kekejaman.  Berarti dia menjadi pembunuh, menjadi orang berdosa.  Kresno menjawab bahwa kalau dilihat secara sempit, ibarat sebuah snapshot, pembunuhan akan nampak sebagai sebuah kejahatan sehingga pelakunya berdosa.  Namun jika dilihat secara luas, secara keseluruhan, ibaratnya keseluruhan sinematografi, lengap smeua konteksnya, maka akan terlihat bahwa dia sedang berbuat kebaikan, yaitu menyirnakan angkara murka, menegakkan keadilan, membela kebenaran.  Asala semua itu dilakukan bukan berdasarkan dendam atau emosi tapi dengan niat baik dan hati bersih.

Jika dilakukan dengan jujur dan bersih sebenarnya perang itu dimenangi oleh Karno.  Tapi dia dicurangi dua kali. Pertama oleh Kresno sehingga dia tidak bisa lagi memakai panah saktinya. Kedua oleh Prabu Salyo.  Ketika suatu saat Karno sedang membidik Arjuno dengan panahnya lalu rabu Salyo memukul kudanya dengan cemeti sehingga kuda itu mendadak melompat ke depan sehingga Karno yang berdiri di belakang Salyo agak terhuyung. Akibatnya bidikannya meleset dan hanya mengenai mahkota Arjuno.  Sebaliknya ketika Arjuno sedang membidiknya maka Salyo melambatkan jalan keretanya sehingga suatu saat panah sakti Arjuno mengenai leher Karno dan menamatkan riwayatnya.


Adegan paling mangharukan dalam lakon ini adalah ketika istri Karno mendengar berita kematiannya.  Surtikanti sangat terkejut da sedih sehingga dia bunuh diri.  Ketika saya menonton pentas Ki Narto Sabdo di mBulaksumur, Yogyakarta, memainkan ini dengan piawai.  Di saat menjelang subuh.  Ketika suasana sedang hening. Dia melakukan suluk (nyanyi) dengan nada rendah dan pelan, diiringi rebab dan gender. Dia lalu menarasikan kesedihan Sutikanti yang lantas bunuh diri.  Adegan ini sangat mengharukan sehingga banyak penonton menitikkan air mata.  

Tamat

Thursday, February 7, 2019

Banjaran Durno





Tidak diragukan lagi bahwa Durna adalah salah satu nama wayang yang paling kondang.  Dia dikenal sebagai seorang pendeta yang berilmu tinggi tapi licik dan menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya.  Bagaimana kisahnya sejak muda sampai meninggal?  Sila simak terus lakon banjaran (biografi) Durna berikut ini. 

Masa muda


Durna adalah anak Resi Baratmadya, seorang pendeta berilmu tinggi dari Argo Jembangan.  Ibunya adalah seorang bidadari yang cantik jelita bernama Dewi Kumbini.  Maka dia diberi nama Kumboyono.  Di masa mudanya Kumboyono ini adalah seorang pemuda yang cerdas dan ganteng.  Gurunya adalah ayahnya sendiri Resi Baratmadya.  Saking terkenalnya sang resi memiliki banyak sekali murid dari berbagai negara. Salah satunya adalah Sucitro, anak raja Poncolo.
Kumboyono dan Sucitro merasa saling cocok sehingga mereka menjadi sahabat dekat.  Saking dekatnya hubungan mereka Sucitro an Kumboyono pernah berjanji akan saling menolong selamanya. Bahkan Sucitro pernah berjanji kalau dia jadi raja kelak maka Kumboyono akan diberi sebagian wilayahnya.  Sucitro ini juga seorang pemuda yang ganteng dan cerdas.  Maka dia mampu menguasai dengan baik semua ilmu yang diajarkan oleh gurunya dan dia mampu lulus dengan baik dan tepat waktu.  Setelah lulus Sucitro pulang ke Poncolo untuk mengamalkan ilmunya di sana.

Sahabat Sucitro musuh Drupodo


Sekian tahun telah berlalu.  Kumboyono sudah ditinggal mati ayahnya. Perguruan bapaknya sudah sepi ditinggalkan murid muridnya karena Kumboyono belum memiliki nama besar.  Akhirnya Kumboyono menganggur.  Suatu saat dia mendengar kabar bahwa Sucitro sudah diangkat menjadi raja  di Poncolo dengan sebutan Prabu Drupodo.  Harapan Kumboyono membesar lagi karena dia ingat dulu mereka pernah berjanji akan saling tolong menolong dalam keadaan susah maupun senang. 
Dengan semangat tinggi Kumboyono berjalan kaki menuju ke Poncolo. Berhari hari kemudian dia tiba di tepi sungai besar.  Kumboyono bingung karena dia tidak bisa berenang dan di sana tidak ada perahu. Dia lantas berucap barang siapa bisa membantunya menyeberang sungai besar itu kalau laki laki aka dijadikan saudara kalau perempuan aka dijadikan istri. Mendadak muncullah seekor kuda sembrani, yaitu kuda yang bisa terbang. Kuda itu lalu dia naiki untuk menyeberangi sungai besar tersebut. Ternyata kuda itu betina maka Kumboyono menikahi kuda sembrani.  Si kuda lalu hamil dan melahirkan anak laki laki yang diberi nama Aswotomo.  Tidak lama kemudian ternyata si kuda ini adalah seorang bidadari cantik jelita bernama Dewi Wilutomo.  Dia sedang menjalani hukuman dikutuk dewa menjadi kuda.  Setelah melahirkan habislah masa hukumannya sehingga dia harus kembali ke kahyangan.  Aswotomo lalu diserahkan kepada Kumboyono.
Kumboyono lalu meneruskan langkahnya menuju ke Poncolo.  Sampai di sana Kumboyono meminta ijin dan diterima menghadap raja.  Saking gembiranya bertemu teman lama Kumboyono lupa menerapkan tata krama protokol kerajaan.  Dia tetap memanggil dengan nama kecilnya Sucitro dan menempatkan dirinya sebagai sahabat lama.  Ternyata kedudukan sering membuat orang lupa daratan.  Prabu Drupodo tidak berkenan dengan sikap Kumboyono ini.  Dia merasa sudah tidak sederajat lagi dengan Kumboyono.  Dia jawab bahwa sekarang sudah tidak ada lagi Sucitro.  Sekarang dia adalah Prabu Drupodo.  Keadaan sudah berubah jadi semua orang harus menghormati dia.  Ketika diingatkan oleh Kumboyono bahwa mereka dulu sudah pernah berjanji akan saling menolong dan bahwa dia sedang membutuhkan pertolongan maka Drupodo mengingkarinya.  Drupodo malah mengusir Durno dari istananya.  Durno masih berupaya membujuk dengan tetap menempatkan diri sebagai teman lama. Drupodo kehilangan kesabaran dan emerintahkan anak buahnya memaksa mengusir Kumboyono.  saat itu hadir juga patih Gondomono.  Setelah terusir dari Ngestino dia lalu bekerja di Poncolo.  Gondomono memaksanya keluar.  Mereka bertengkar dan berkembang menjadi perkelahian.  Tapi ilmu Gondomono ternyata masih lebih tinggi.  Kumboyono dihajarm dianiaya sampai cacat.  Kumboyono yang dulu ganteng menjadi tidak ganteng lagi karena cacatnya.  Dalam keadaan luka parah dia dibuang dan ditolong oleh Sengkuni, patih Ngestino.  Dia dibawa ke Ngestino dan dirawat sampai sembuh.  Bahkan setelah mengetahui dia berilmu tinggi Sengkuni menawarinya menjadi guru besar para Kurowo dan Pendowo dengan gelarBegawan Durna.  Itulah sebabnya Durno meras aberhutang budi kepada Sengkuni dan keluarga Kurowo sehingga dia selalu taat kepada mereka.

Menjadi guru besar Ngestino



Begawan Durno mengajar ilmu perang kepada para Kurowo dan Pendowo. Salah satu kelihaiannya adalah ilmu panahan.  Di antara semua muridnya yang terbaik adalah Arjuno, penengah Pendowo limo.  Diajarkannya juga kepada Arjuno ini aji Sirwendo.  Ini adalah cara menyatukan kekuatan lahir batin untuk  membidik sasaran dalam panahan maupun dalam kehidupan. 


Dalam salah satu episode dicertakan sebuah sesi latihan memanah para muridnya.  Satu persatu mereka disuruh memperagakan cara memanah sasaran yang digantung di sebuah pohon, kemudian  sebelum anak panah dilepaskan mereka ditanyai apa yang terlihat dalam pikirannya.  Dursosono menjawab terbayang ayam panggang.  Durno marah dan berkata tidak usah dilepaskan anak panahnya karena percuma saja, tidak akan mengenai sasaran yang digantung dipohon. Kurowo juga salah semua jawabnnya.  Sampailah pada Arjuno.  Dia berkonsentrasi lalu mengangkat busur dan anak panah.  Ketika ditanya apa yang terbayang dia diam saja.  Sampai ketiga kali ditanya barulah dia mendengar lalu menjawab yang ada di pikirannya hanya sasarannya.  Durno menjawab kalau dilepaskan anak panah itu pasti akan mengenai sasaran.  Dia benar dan Arjuno membidik dengan tepat.


Suatu malam ketika mereka akan makan bersama Durno mematikan lampu sabil menyuruh mereka tetap makan.  Dia lantas bertanya apakah ada yang salah memasukkan makanan ke mulutnya. Dijawab tidak ada.  Kata Durno hal itu bisa terjadi karena tindakan itu diulangi setiap hari sehingga menyatu kehendak dengan gerakan raga.  Prinsip itulah yang harus diterapkan dalam latihan ilmu perang.      

        
Suatu hari ada seorang pemuda bernama Ekoloyo datang menghadap Durno.  Dia minta menjadi murid Durno karena dulu ayahnya adalah teman Durno dan Durno pernah berjanji akan menerima anaknya menjadi muridnya.  Durno keberatan karena salah satu syaratnya menjadi gubes di Ngestino adalah tidak boleh meneriam murid lain.  Dia harus mengajar khusus Pendowo dan Kurowo saja.  Tapi karena sudah berjanji maka Durno memberi jalan.  Dia disuruh bekerja sebagai tukang kuda.  Sambil mengurusi kuda dia dibolehkan melihat Durno mengajar.  Ekoloyo sanggup melaksanakan saran Durno.


Kemudian Durno suatu malam mengajak murid muridnya berburu di sebuah hutan di pinggir kota Ngestino.  Ketika mereka berburu mendadak anjing yang dibawa Arjuno mati.  Di badannya ada anak panah.  Arjuno kaget lalu bertanya siapa yang lebih lihai memanah daripada dia karena dia sendiri belum mampu memanah sasaran di dalam gelap.  Durno tahu itu pasti Ekoloyo.  Dia panggil Ekoloyo.  Setelah datang Ekoloyo diminta memberikan jempol kanannya agar tidak bisa memanah lagi.  Sebagai murid yang taat Ekoloyo sanggup tapi dia dendam kepada Durno dan berjanji kelak di dalam perang Baroto yudo akan membunuh Durno. 


Durno sebenarnya sangat sayang kepada Pendowo limo karena mereka adalah muridnya yang terbaik dalam prestasi dan sikapnya.  Dia tahu kalau Kurowo sering berbuat jahat tapi dia tidak berani menentang karena tidak mau kehilangan pekerjaan.  Dia tidak mau lagi menderita seperti saat menganggur.


Setelah Pendowo dan Kurowo menguasai ilmu perang Durno ingat pad adendam lamanya kepada Drupodo dan berniat membalas dendam.  Dia memerintahkan mereka menyerang Poncolo dengan dalih latihan perang.  Tentara Poncolo bukan tandingan tentara Ngestino.  Dalam waktu singkat Poncolo ditaklukkan dan Drupodo ditangkap.  Durno memerintahkan Arjuno membunuhnya tapi Arjuno menolak karena tidak ada alasan yang tepat. Durno mengatakan bahwa Drupodo pernah menyakiti hatinya. Arjuno menjawab sakit hati tidak boleh menjadi alasan membunuh orang. Akhirnya Drupodo selamat dari kematian. Tapi kerajaanya tetap diminta sebagian oleh Durno.  Drupodo menjadi dendam dan berdoa agar anaknya bisa membalaskan dendamnya kelak di perang Baroto yudo.  Belakangan anak laki lakinya Destojumeno lah yang membunuh Durno dalam perang besar itu. Anak perempuannya Drupadi menjadi istri Judistiro (dalam versi India dia istri bersama Pendowo limo, poliandri)

Durno gugur


Pada perang besar Baroto yudo Durno mendapat giliran menjadi panglima pasukan Ngestino pada hari ketigabelas.  Berkat ilmunya yang tinggi dalam ilmu perang tidak susah buat dia menghancurkan pertahanan Pendowo.  Dalam waktu singkat pasukan Pendowo kocar kacir.  Kresno yang jadi jendralnya segera mancari akal. Akhirnya dia mendapat taktik licik juga.  Dia menyuruh Bimo membunuh seekor gajah yang diberi nama Aswotomo lalu semua anggota pasukan meneriakkannya.  Durno kaget dan panik.  Dia lantas bertanya kepada Judistiro kebenarannya.  Judistiro sudah dibertahu oleh Kresno agar berbohong tapi dia tetap tidka mau. Maka komprominya dia hanya membisikkkan saja kata gajah dan mengeraskan kata Aswotomo.  Durno yang mendengar dari mulut Judistiro yang dia percayai karena tidak pernah bohong seketika lemas, panik dan putus asa.  Dalam keadaan demikian ini Destojumeno lalu maju mendekati.  Saat itulah roh Ekoloyo, muridnya yang dizalimi sampai mati masuk ke raga Destojumeno dan membantunya membunuh Durno.

Tamat  

Wednesday, February 6, 2019

Banjaran Sengkuni




Nama Sengkuni menjadi terkenal lagi akhir akhir ini lantaran beberapa kejadian terkini di jagad politik Indonesia.  Siapakah sebenarnya Sengkuni?  Berikut ini lakon Banjaran (biografi) Sengkuni dalam versi Jowo yang sudah agak berbeda dengan versi India.  Selama ini banyak penulis dan dalang yang menciptakan sendiri versinya.  Sila simak.
Di masa mudanya namanya adalah Haryo Suman alias Raden Trigantalpati.  Dia anak raja Plasa jenar yang bernama Prabu Suwala.  Salah satu kakaknya bernama Gendari yang nanti menjadi istri Destoroto raja Ngestino (hastinapura). Di masa muda Haryo Suman adalah seorang satria yang ganteng.  Perilakunya juga sopan. Tutur katanya halus. Penampilannya embuat banyak orang senang dan percaya.  Namun sayangnya sifat sejatinya adalah licik dan culas, penuh tipu muslihat.
Ketika Gendari menjadi istri Destoroto maka Haryo Suman ikut ke Ngestino.   Sifatnya yang ambisius membuatnya selalu berpikir keras  mencari kesempatan untuk mendapat jabatan tinggi.  Sampai akhirnya dia melihat kesempatan emas.

Menjadi Patih Ngestino



Suatu hari ketika berangkat ke pasewakan ageng (sidang pleno) di depan istana Ngestino dia bertemu dengan Arimbo, anak Prabu Tremboko raja raksasa penguasa Pringgodani. Arimbo meminta ijin menghadap Pandu.  Suman menanyakan apa keperluannya.  Arimbo bilang mau menyampaikan surat dari Tremboko untuk Pandu. Suman lantas membuka surat itu.  Isinya Tremboko meminta maaf belum bisa sowan ke Ngestino ketika ada pasewakan ageng (sidang pleno) karena dia sedang menunggui istrinya yang melahirkan.  Suman lantas bilang ke Arimbo bahwa Pandu akhir akhir ini sedang pusing memikirkan masalah kenegaraan sehingga dia sensitif, suka marah marah. Daripada dimarahi lebih baik tidak usah bertemu.  Suman berjanji akan menyampaikan surat itu.  Arimbo percaya saja lalu pulang.
Ternyata Suman mengganti isi surat itu.  Suman memalsunya sehingga isinya mengatakan bahwa Tremboko sudah tidak mau datang lagi ke Ngestino dan kalau Pandu mau menjatuhkan sangsi maka dia siap melawan kapan saja.  Kemudian di sidang kabinet surat Tremboko itu dibacakan Suman dan dibahas.  Pandu sangat terkejut dan marah mendengarnya.  Tapi adik bungsunya Widuro yang menjadi penasehat raja memintanya lebih sabar dan bijaksana. Dia usulkan agar mengutus patih Gondomono datang ke Pringgodani untuk mengklarifikasi  dan memecahkan masalahnya.  Semula Suman menentang usulan itu tapi Pandu menerimanya. Dia putuskan esok harinya mengutus Gondomono untuk menuntaskan masalah dengan Tremboko.
Haryo Suman yang licik tidak kalah akal. Dia segera berangkat ke Pringgodani mendahului Gondomono.  Di sana dia menyampaikan kepada Tremboko bahwa Pandu marah kepadanya karena tidak hadir di sidang pleno dan sekarang mengirim pasukan di bawah pimpinan Gondomono untuk menangkapnya.  Tremboko tentu saja terkejut karena di suratnya dia sudah meminta maaf.  Tapi dia segera menyiagakan pasukannya di bawah pimpinan Arimbo si putra mahkota.  Pasukan Arimbo segera berangkat mengantisipasi serangan pasukan Ngestino.  Ketika sudah nampak Arimbo segeran menyerang.  Gondomono hanya membawa sedikit tentara karena tujuannya memang mencari perdamaian bukan menyerang Pringgodani.  Tapi karena mendadak diserang maka Gondomono dan pasukannya terpaksa melawan. Dalam keadaan tidak siap tempur tentu saja pasukan Ngestino kalah.  Suman membantu Arimbo memprovokasi Gondomono sehingga dia berhasil dijebak dan terjugkas ke sebuah sumur upas (lubang yang mengeluarkan gas beracun).
Ternyata Widuro sudah curiga dengan Suman.  Diam diam dia mengikuti Suman. Dia tidak melihat provokasinya kepada Tremboko tapi dia melihat ketika Gondomono dijebak ke sumur upas.  Setelah Suman dan Arimbo pergi maka Widuro menyelamatkannya dengan bantuan seorang pendeta. Gondomono masih hidup dan lantas pulang ke Ngestino. Sedangkan Widuro pergi ke rumah pendeta untuk menikah dengan anaknya karena dia memberi syarat demikian untuk menolong Gondomono.
Sementara itu Haryo Suman pulang ke Ngestino. Di sana dia melapor bahwa Tremboko memberontak.  Rombongan Ngestino dibantai dan Gondomono sudah tewas di tangan mereka.   Gendari dan Destoroto lalu mengusulkan agar Sengkuni diangkat menjadi patih menggantikan Gondomono.  Pandu setuju lalu Sengkuni diangkat menjadi patih Ngestino. 
Sedangkan Gondomono yang selamat akhirnya mengetahui akal licik Suman.  Setelah sampai di Ngestino dia langsung mencari Suman.  Di rumahnya dia menemukan istrinya sudah mati bunuh diri, maka kecurigaannya kepada Suman makin kuat.  Ketika bertemu dia langsung menyerang.  Kesaktian Gondomono ternyata jauh di atas Suman.  Emosinya yang meledak membuatnya tanpa ampun menghajar Suman sehingga Suman yang tak berdaya menjadi cacat.  Kakinya pincang, mulutnya sobek, punggungnya bongkok.
Amukan Gondomono dan jeritan minta tolong Suman menarik perhatian banyak orang.  Akhirnya suman diselamatkan banyak orang.  Gondomono langsung diadili oleh raja Pandu.  Raja sangat kecewa dengan tindakan main hakim sendiri. Pembelaan diri Gondomono sudah tidak diterima apalagi dengan pembelaan diri Suman yang mengatakan dirinya adalah korban penganiayaan.  Pandu lantas menjatuhkan sangsi.  Gondomono diusir dari Ngestino.  Dia tidak boleh lagi menginjakkan kakinya di seluruh wilayah Ngestino.  Kalau ketahuan maka akan langsung dihukum.  Dalam pertunjukan wayang kulit, adegan Gondomono pamit setelah diusir ini sangat mengharukan. Dia kehilangan jabatan, kehilangan istri dan nama baik.   Sejak itu Haryo Suman lebih sering disebut Sengkuni.
Nasib Tremboko sendiri tragis.  Dia yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan menjadi korban fitnah Sengkuni.  Atas tuduhan makar Tremboko dihukum mati, dibunuh oleh Pandu Dewonoto. Sementara pemerintahan dipegang oleh adik adiknya Brojomusti, Brojodento, dan Brojolamatan.  Di  kemudian hari anaknya Arimbo (Hidimba dalam Sangskrit) menggantikannya menjadi raja.   Adik Arimbo yang bernama Arimbi (Hidimbi dalam Sangskrit) akan menjadi istri Brotoseno dan memiliki anak Gatotkoco.       


Minyak Tolo



Setelah Pandu meninggal maka Destoroto naik tahta menjadi raja Ngestino.  Tidak lama setelah Pandu meninggal maka raja Destoroto berniat memberikan salah satu peninggalan Pandu kepada Pendowo dan Kurowo.  Peninggalan Pandu itu berupa minyak Tolo yang didapatkan dari dewa.  Konon kasiatnya minyak itu kalau dioleskan akan membuat seseorang menjadi sakti dan kebal segala macam senjata. Destoroto berniat menyebarkannya ke seluruh yang hadir tapi tangan Sengkuni menyenggolnya sehingga minyak itu tumpah semua.   Sengkuni segera membuka semua pakaiannya lalu berguling guling di lantai sehingga semua bagian tubuhnya terkena minyak sakti tersebut.  Sejak itulah Sengkuni jadi kebal senjata. Hanya ada satu bagian yang tidak terkena minyak.  Semar yang melihat itu paham dan nanti akan diungkapkan dalam perang Baroto yudo.

Pendowo dadu


Setelah Pendowo Limo dewasa maka dicapai kompromi yaitu mereka diberi wilayah yang masih hutan belukar.  Hutan Wonomarto namanya. Mereka bangun jadi negeri baru tapi ternyata konflik dengan Arimbo.  Akhirnya Arimbo mati di tangan Bimo dan Arimbi dinikahi.  Wilayah itu lalu menjadi negara Ngamarto yang dalam waktu singkat tumbuh pesat dan menjadi negri yang adil dan makmur.   Pertumbuhan Ngamarto tidak lepas dari amatan Sengkuni.  Dia lalu mendapat akal.  Suatu hari dia mengajak Kurowo bertandang ke Ngamarto.  Dia beralasan untuk mengakrabkan hubungan kedua negara.  Setelah berpesta pora makan enak Sengkuni mengajak bermain dadu.  Dia memang sangat lihai bermain judi termasuk dadu.  Dan salah satu kelemahan Judistiro kakak tertua Pendowo adalah suka main dadu juga.
Semalaman mereka bermain dadu saking lihanya Sengkuni memancing emosi Judistiro.  Sesekali diberinya kemenangan tapi keudian kalah lagi.  Demikian seterusnya sehingga Judistiro makin penasaran. Dia tidak mau berhenti.  Saat itulah Sengkuni memainkan jebakan utamanya.  Judistiro ditantang taruhan negara Ngamarto.  Kalau kalah maka Ngamarto akan jadi milik Kurowo.  Adik adiknya sudah mengingatkan tapi Judistiro yang sudah emosi tidak mau berhenti.  Tebakan terakhirnya ternyata salah maka terpaksa dia menyerahkan Ngamarto kepada Kurowo.  Kurowo yang menyaksikan kekalahan taruhan terakhir itu mejadi hialng kendali. Mereka bersorak sorak dan berteriak teriak di kraton Ngamarto.  Dan yang paling parah adalah tindakan Dursosono.  Dia adalah Kurowo nomor dua, adik Duryudono.  Dia mendatangi Drupadi, istri Judistiro (dalam Mahabarata asli dia istri bersama Pendowo Limo) lalu menarik pakaiannya. Dursosono berniat menelanjangi Drupadi.  Untunglah saat itu Drupadi dilindungi dewa. Pakaian Drupadi yang dibuka Dursosono tidak ada habisnya sampai akhirnya Dursosono jatuh terduduk karena kelelahan.  Meskipun demikian Drupadi menjadi dendam kepadanya. Dia bersumpah akan kramas dengan darah Dursosono. 
Akibat kekalahan itu Pendowo limo, Drupadi dan ibunya Dewi Kunti harus pergi dari Ngamarto selama duabelas tahun.  Apabila mereka ketahuan oleh Kurowo maka masa itu ditambah lagi duabelas tahun lagi.

Sengkuni Gugur


Di dalam perang Baroto yudo Sengkuni menjadi salah satu sasaran utama pihak Pendowo.  Sebenarnya  kesaktiannya tidak terlalu tinggi tapi dia memiliki senjata maut juga yaitu berupa krepus (topi) nya.  Kalau krepusnya dibanting maka akan terjadi hujan batu.  Senjata ini memakan banyak korban di kalangan tentara Pendowo.  Apalagi membunuh mendekati saja mereka sudah mati kejatuhan batu dari langit.  Kresno yang menjadi jendral pihak Pendowo pusing memikirkan masalah ini. Tapi dia lantas mendapat akal.  Dia menyuruh Bagong, salah satu Punokawan Pendowo untuk memata matai Sengkuni.  Bagong melaksanakan tugasnya dengan baik.  Dia mengikuti Sengkuni ke manapun dia pergi tanpa ketahuan.  Suatu saat ketika Sengkuni sedang mandi di pancuran krepusnya dicuri oleh Bagong.  Tanpa krepus saktinya Sengkuni tidak berbahaya lagi.
Setelah beberapa hari diburu akhirnya Brotoseno menemukan Sengkuni di Tegal Kurusetro, itulah nama medan perang Baroto yudo.  Keaktian keduanya tidka berimbang.  Mudah sekali bagi Brotoseno untuk menyerang Sengkuni.  Tapi Sengkuni ternyata kebal.  Semua serangan Brotoseno tidak ada yang mampu melukainya.  Untunglah Semar yang melihat perkelahian itu membisikkan kelemahan Sengkuni. Mau tahu kelemahannya di mana?

Ketika Sengkuni berguling di lantai untuk membasahi tubuhnya dengan minyak Tolo bagian duburnya tidak terkena minyak Tolo.  Itulah yang dibiskkan Semar kepada Bimoseno.  Dengan sigap Bimo menyerang dubur Sengkuni memakai kuku Ponconoko.  Sengkuni tewas mengenaskan.  Dia dikuliti lalu kulitnya diserahkan kepada Dewi Kunti, ibu Bimo karena dia pernah bersumpah untuk membuat pakaian dari kulit Sengkuni. 
Tamat
    




Tuesday, February 5, 2019

Menafsirkan cerita Arjuno Wiwoho



Arjuno wiwoho


Kata wiwoho artinya mulia, dimuliakan. Jadi frasa itu artinya Arjuno yang dimuliakan atau mendapat kemuliaan.  Karena artinya baik maka ini sering dipakai untuk nama di kalangan orang Jawa. Cerita ini adalah salah satu karya anak bangsa yaitu Empu Kanwa yang hidup di abad ke 11 di kerajaan Kediri, Jatim.  Judul lengkapnya Kekawin Arjuno wiwoho.  Karakternya memang diambil dari wiracarita Mahabarata tapi plotnya dan narasinya sepenuhnya karya Empu Kanwa.


Sejak Pendowo dan Kurowo masih kecil friksi di antara mereka sudah terasa.  Di masa awal itu penyebabnya masih sekedar sifat saja di antara mereka yang kontras.  Pendowo yang rajin, sabar, serius, pekerja keras, jujur berbenturan dengan sifat Kurowo yang egois, mau menang sendiri, malas, tamak, serakah, tidak jujur, manja dan pemarah.  Kurowo  sering merebut bahkan mencuri barang barang milik Pendowo. Awalnya Pendowo mengalah tapi kadang emosi mereka meledak sehingga terjadi pertengkaran dan bahkan perkelahian. Setelah remaja menjelang dewasa potensi konflik makin berkembang karena mereka sama sama merasa sebagai pewaris tahta Ngestino (Hastinapura).  Pandu Dewonoto ayah dari Pendowo Limo adalah raja Ngestino maka mereka merasa berhak menjadi pewaris tahta.  Raja yang saat itu sedang berkuasa adalah Destoroto.  Dia   kakak laki laki dari Pandu.  Ketika Pandu masih hidup dia tidak diangkat menjadi raja karena sejak lahir sudah buta.  Tapi ketika Pandu mati muda maka dialah yang diangkat menjadi raja dengan mengandalkan adiknya Widuro sebagai penasehat ketika harus mengambil keputusan pelik. Anaknya adalah Kurowo (artinya keturunan Kuru) yang berjumlah seratus.  Maka Kurowo ini merasa berhak juga menjadi raja. 
Sejak kecil sampai remaja Pendowo Limo tetap tinggal di istana Ngestino. Raja Destoroto mengangkat Begawan Durno seorang pendeta yang mumpuni menjadi mahaguru di istana Ngestino. Tugasnya mengajari Kurowo dan Pendowo dalam ilmu perang dan kenegaraan.  Karena sifat Pendowo yang positif maka prestasi mereka jauh di atas Kurowo.  Di antara semua muridnya Arjunolah yang paling menonjol. Arjuno menjadi murid kesayangan Begawan Durno.  Dia menguasai dengan sangat baik ilmu perang dan terutama ketrampilan memanah.  Suatu sat pernah diadakan pertandingan perang antara kedua kubu itu dan pemanangnya adalah Pendowo limo.  Kenyataan ini menambah dendam di hati Kurowo yang memang iri dengki.
Di tengah ketegangan yang mangkin meningkat itu Pendowo limo semangkin serius menyiapkan kekuatan untuk mengantisipasi perang yang bakal pecah.   Di antara Pendowo limo Arjuno dan Brotoseno yang paling kuat dalam ilmu perang.  Meskipun demikian mereka masih terus berupaya meningkatkan kekuatan.  Maka suatu hari Arjuno bertekad  melakukan topo broto (bertapa). Dia lantas mamakai busana sederhana, bukan busana kasatrian atau kaprajuritan (busana formal dan tempur) dan  berangkat sendirian ke gunung Indrokilo. 
Di gunung Indrokilo Arjuno tinggal di sebuah gua dan mengganti identitasnya menjadi Begawan Ciptoning.  Di dalam gua itulah dia bertapa mengurangi makan, minum dan tidur.  Setiap hari kegiatannya hanya memuja dan memuji yang maha kuasa.  Saking intensifnya Arjuno melakukan olah batin maka getarannya dirasakan sampai ke kahyangan. Para dewa merasakan getaran kuat  orang bertapa.  Betoro Guru lalu memerintahkan Betoro Narodo mencari tahu siapa orang yang sedang bertapa dan apa permintaannya. 
Narodo lantas turun ke Ngarcopodo (dunia) untuk menemui Arjuno yang sedang bertapa di lereng gunung Indrokilo.  Dia menaanyakan kepada Arjuno apa sebabnya bertapa dan apa permintaannya kepada para dewa.  Arjuno menjawab bahwa dia sedang prihatin dengan keadaan di Ngestino khususnya keadaan Pendowo limo yang selalu dizalimi Kurowo. Dia sampaikan permohonan perlindungan kepada dewa.  Dia juga memohon diberi kekuatan apabila suatu hari pecah perang antara Pendowo dengan Kurowo.  Narodo lalu kembali ke kahyangan untuk menyampaikan permohonan tersebut.
Setelah menemukan jawabannya Narodo melapor ke Betoro Guru.  Mereka berdiskusi dan Betoro Guru memutuskan akan menguji dulu sampai di mana keteguhan Arjuno.  Apabila dia lulus ujian itu maka Betoro Guru berkenan memberikan sebuah senjata ampuh berupa panah. Betoro Guru juga memeritahkan kepada Narodo untuk mengirimkan tujuh bidadari tercantik di kahyangan untuk menggoda Arjuno.  Maka diturunkanlah tujuh orang bidadari tercantik di kahyangan.  Di antaranya adalah Dewi Wilutomo, Dewi Tari, Dewi Tara, Dewi Suprobo dll.  Mereka masuk ke gua Arjuno dan menggodanya.  Ini sunguh sebuah godaan yang sangat berat buat Arjuno karena dia adalah seorang lelananging jagad (play boy).     Arjuno adalah seorang laki laki yang memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga banyak sekali wanita yang terpikat dengan dia.  Bukan hanya gadis bahkan istri orangpun banyak yang terpesona dengan Arjuno. Bahkan tanpa dirayupun sudah banyak yang dengan suka rela menyerahkan diri.  Meskipun demikian ketika sedang bertapa Arjuno sangat teguh dalam tekadnya sehingga dia sama sekali idak tergoda.  Justru para bidadari itulah yang jatuh cinta kepadanya.  Tapi Arjuno tetap tidak mau melayani.  Akhirnya para bidadari menyerah.  Mereka pulang ke kahyangan dan melapor bahwa misi mereka gagal.
Narodo lantas turun ke gua di gunung Indrokilo sambil membawa hadiah untuk Arjuno berupa sebuah panah pusaka. Kepada Arjuno disampaikan bahwa dia ditakdirkan sebagai satria dengan tugas utama menjaga keamanan, melindungi rakyatnya dan menagakkan keadilan serta kebenaran.   Itulah sebabnya dia diberi senjata sakti tersebut.  Kemudian dia dituasi juga mempertahankan istana para dewa di kahyangan Jonggring salaka yang sedang diserang bangsa raksasa di bawah pimpinan raja Niwata kawaca.  Namun sebelumnya Arjuno harus melindungi warga lerang gunung itu yang sedang diancam bahaya.  Arjuno juga akan diberi hadiah yaitu tujuh bidadari tercantik di kahyangan yang pernah ditugasi menggodanya.
Setelah terkabul permohonannya Arjuno turun gunung untuk melaksanakan tugas mulianya.  Tidak lama kemudian dia sampai ke desa di lereng gunung Indrokilo.  Desa itu sudah sepi, tidak ada orang berani keluar rumah karena sudah beberapa lama diganggu oleh seekor celeng (babi hutan) yang ganas.  Celeng itu tidak hanya memakan hasil pertanian mereka tapi juga menyerang manusia.  Sudah banyak korban yang jatuh.  Warga juga sudah mencoba melawan dengan senjata tajam. Tapi celeng itu selalu menang meskipun dikeroyok rame rame.
Arjuno mengelilingi desa itu untuk mencari celeng pengganggu.  Tidak lama kemudian dia melihat dari jauh seekor celeng berlari mendatanginya. Celeng itu hkan sembarang celeng tapi celeng yang besar sekali dan buas sekali. Sejatinya dia adalah jelmaan seorang raksasa.     Dengan cepat Arjuno melepaskan panah saktinya yang baru saja didapat dari Betoro Narodo.  Arjuno adalah murid terbaik Begawan Durno yang sudah menguasai ilmu Sirwendo alias ilmu membidik dan dia juga juara panahan di Ngestino.  Tidak ada kesulitan buatnya membidik celeng yang sedang berlari ke arahnya.  Panah itu tepat mengenai celeng yang lantas jatuh sambil mengeluarkan suara keras.  Arjuno berlari mendatangi celeng tersebut untuk mencabut anak panahnya.  Namun ketika sudah di depan celeng dia terkejut melihat ada dua anak panah tertancap di badan celeng.  Lebih terkejut lagi ketika mendadak terdengar suara seseorang dari arah lain.  Di sana bedriri seorang satria gagah memegang busur.  Dia mengatakan anak panahnyalah yang tepat mengenai jantung celeng sehingga mati seketika.  Arjuno tidak terima. Dia juga mengatakan anak panahnyalah yang lebih dulu mengenai celang dan dialah yang membunuh celeng tersebut. 
Pertengkaran semangkin memanas sehingga berlanjut menjadi perkelahian.  Arjuno selama ini belum pernah terkalahkan dalam setiap perkelahian karena itu dia sangat percaya diri. Apalagi dia baru saja mendapat pencerahan dari dewa.  Tapi ternyata kali ini dia membentur batu.  Satria itu ternyata sangat kuat dan cepat gerakannya sehingga Arjuno terdesak terus dan akhirnya dipukul jatuh.  Dia yang murid terbaik Begawan Durno ternyata terpaksa mengakui keunggulan satria itu.  Tiba tiba satria itu berubah wujud menjadi dewa Siwa.  Arjuno menyembah dan memohon maaf. 
Setelah itu Arjuno menuju ke kahyangan Jonggring salaka yang sedang dikepung tentara raksasa dibawah pimpinan Niwata Kawaca.  Mereka menyerang karena lamaran Niwata Kawaca kepada seorang bidadari tidak dikabulkan para dewa.  Sekarang raja raksasa ini megancam akan menghancurkan Jonggring salaka dan memaksa menikahi bidadari idamannya.  Para dewa mengerahkan bala tentaranya tapi dengan mudah mereka dikalahkan tentara raksasa.  Untung para dewa masih bisa menyelamatkan diri di dalam benteng.  Kedatangan Arjuno segera disambut serangan tentara raksasa.  Karena kesaktiannya tidak ada seorangpun tentara raksasa mampu mengalahkannya.  Akhirnya Arjuno berhadapan langsung dengan Niwata Kawaca.  
Pertarungan satu lawan satu segera terjadi dengan seru. Arjuno mengeluarkan segala macam jurus saktinya yang selama ini berhasil mengalahkan semua musuhnya.  Tapi ternyata semua  kesaktian Arjuno tidak ada artinya sama sekali buat Niwata Kawaca. Semua pukulan, tendangan, tebasan pedangpun tidak mempan.  Bahkan panah sakti pemberian dewa yang baru saja dia dapatkan sama sekali tidak mampu melukai kulit Niwata Kawaca.  Dengan nada melecehkan Niwata Kawaca mempersilahkan Arjuno memilih bagian tubuhnya yang mana yang akan diserang.  Akhirnya terpaksa Arjuno melarikan diri agar selamat adari amukan sang raja raksasa sambil menantang besoknya dia akan datang lagi.
Malam harinya Arjuno memohon petunjuk para dewa agar bisa memanangi perang dengan raja raksasa itu.  Narodo yang datang memberi petunjuk bahwa seorang bidadari Dewi Suprobo akan diutus kepada Niwata Kawaca.  Dia ditugasi berpura pura mau menjadi istri Niwata Kawaca tapi sejatinya mencari rahasia kelemahan sang raja. 
Esok harinya    Niwata Kawaca sangat girang ketika tentara para dewa menyerahkan Dewi Suprobo kepadanya dengan syarat serangan dan kepungan dihentikan dan berjanji akan mengadakan pernikahan.  Niwata kawaca menyanggupi syarat itu.  Kepungan segera dibubarkan.  Sang raja raksasa segera memperlakukan Dewi Suprobo dengan sangat baik. Ketika makan siang hari itu dia diberi hidangan terbaik dan dilayani dengan baik.  Saking senangnya Niwata Kawaca memiliki calon istri bidadari idaman hatinya maka kewaspadaanya surut.  Dia tidka menyadari bahwa sang dewi sedang mematamatainya.  Sambil makan siang sang dewi memuji muji sang raja setinggi langit sambil menanyakan rahasia kesaktiannya.  Karena mabuk cinta sang raja membocorkan rahasianya bahwa kelemahannya terletak di mulutnya.  Semua senjata tidak akan mempan di seluruh tubuhnya kecuali di mulutnya.  Kalau dia diserang di mulutnya maka dia bisa mati.  Dewi Suprobo diam diam menyampaikan rahasia ini kepada Arjuno.
Dengan berbekal pengetahuan ini Arjuno sekali lagi menantang Niwata Kawaca untuk bertarung satu lawan satu.  Niwata Kawaca yang pernah menang merasa yakin dia akan menang lagi.  Dia bahkan mempersilahkan Arjuno memakai senjata apa saja yang dia sukai.   Sambil mementang busurnya Arjuno memancing Niwata Kawaca terus berbicara. ketika mulutnya terbuka maka secepat kilat anak panah pusaka meluncur dan masuk ke mulut Niwata kawaca.  Sang raja raksasa tewas seketika.  
Para dewa menyambut hangat kemenangan Arjuno.  Dia diberi penghormatan tinggi di kahangan jngring salaka dan dikikahkan dengan tujuh bidadari tercantik di kahyangan.  Salah satunya adalah Dewi Suprobo. 



Tafsir  
Saya punya tafsir atas cerita ini. Paling tidak ada dua hal yang saya tafsirkan dari cerita ini.  Pertama adegan Arjuno membunuh celeng dengan panah yang ternyata bersamaan dengan seorang satria jelmaan dewa.  Saya yakin maksud Empu Kanwa adalah keberhasilan manusia itu tergantung pada usaha manusia itu sendiri plus ijin  Allah.  Manusia wajib berupaya dengan baik. Ini adalah syarat keberhasilan mencapai apapun. Tapi ijin Allah mutlak diperlukan.  Apabila Allah sudah memberi ijin maka akan berhasil. Sebaliknya sebaik apapun upaya jika Allah tidak memberi ijin maka pasti gagal. 
Tafsir kedua saya tentang kelemahan Niwata Kawaca di mulutnya.  Kegagalan manusia bisa karena mulutnya, alias omongannya. Jadi kita harus menjaga omongan.  Jangan sampai ada omongan jelek, tidak sopan, apalabi makian, gibah dsb.
Itulah yang saya tangkap dari cerita Arjuno Wiwoho. Mungkin masih ada lagi metafora lain dari Empu Kanwa yang belum saya tangkap. Sila diutarakan.