Banjaran
(biografi) Karno
Mungkin
anda sudah pernah mendengar frasa Bagavad Gita yang berasal dari wira carita
Mahabarata. Barangkali anda pernah
melihat lukisan atau foto Karno yang sedang bertarung dengan Arjuno. Atau mungkin anda pernah melihat patung dua
orang satria bertarung dengan menaiki kereta berkuda. Ada berbagai versi cerita tentang Karno. Berikut ini adalah cerita dalam versi Jowo.
Dewi
Kunti Nalibroto adalah ibu kandung dari Karno.
Jadi Karno adalah kakak kandung tertua dari Pendowo, terutama Judistiro,
Bimo dan Arjuno. Dewi Kunti ini adalah
anak raja Basukunti dari kerajaan Manduro.
Ketika remaja Kunti punya seorang guru bernama Begawan Druwoso yang
mengajari berbagai macam ilmu kepada keluarga raja. Salah satu ilmu yang diajarkan adalah ilmu
untuk memanggil dewa. Kunti yang
menyukai matahari pagi lantas memanggil dewa matahari Betoro Suryo. Maka datanglah Betoro Suryo dan terjadilah
hubungan sehingga Kunti hamil. Ayahnya tentu saja marah lalu memanggil Begawan
Druwoso untuk mencari jalan keluar masalah ini. Sang Begawan akhirnya menemukan
jalan untuk menyelamatkan muka keluarga raja.
Sang bayi dilahirkan lewat telinga sehingga keperawanan Kunti tetap
terjaga dan bayinya selamat. Bayi itu
lantas diberi nama Karno yang artinya telinga.
Nama lainnya adalah Suryo putro dan Suryo Atmojo, keduanya sama artinya
yaitu anak (dewa) matahari. Ada
keajaiban lain yaitu ketika bayi Karno lahir dia sudah memakai baju dan anting
yang bersinar. Keduanya adalah pusaka
sakti pemberian ayahnya yang kasiatnya membuat Karno kebal segala macam
senjata.
Namun
Dewi Kunti ketika melahirkan Karno ini masih belum menikah. Maka bayi Karno lalu ditaruh di sebuah
keranjang lalu dihanyutkan di sebuah sungai.
Kemudian bayi Karno ditemukan oleh seorang kusir bernama Adiroto yang
bekerja di istana Ngestino sebagai kusir raja. Dia lalu dibesarkan oleh Adiroto.
Sebagai
anak kusir maka dia mewarisi profesi ayahnya yaitu merawat kuda dan mengedarai
kereta kerajaan. Karena itu dia bisa
dekat dengan anak anak raja sehingga dia bisa menguping ketika Durno mengajar
Pendowo dan Kurowo. Saat itu yang
berkuasa adalah Destoroto ayah dari para Kurowo. Karno yang pintar menempatkan diri jadi dekat
dengan para Kurowo. Jadi dia meguasai
semua ilmu yang dimiliki para Pendowo dan Kurowo.
Ketika
mereka remaja dan ketegangan antara Pendowo dan Kurowo makin meningkat maka
Karno ikut bertapa untuk mendapatkan kesaktian dari para dewa. Suatu saat dia topo broto (bertapa) di gunung
Indrokilo tidak jauh dari tempat Arjuno bertapa. Betoro Narodo diperintah oleh Betoro Guru
untuk memberikan sebuah senjata yang sangat sakti berupa panah bernama Kunto
Wijoyondanu. Panah ini bukan sembarang
panah tapi panah yang bisa mengejar sasarannya. Jadi lintasannya tidak hanya
lurus tapi bisa berbelok belok. Meskipun
sasarannya terbang sekalipun dia akan terus mengejar sampai kena.
Ketika
Narodo sampai di gunung Indrikilo ini dia bingung melihat dua satria sedang
betapa dan wajahnya mirip. Dia mengira
Karno adalah Arjuno maka dia datangi Karno lantas dia serahkan senjata sakti
tersebut tanpa mengecek ktpnya. Dia juga
berpesan agar senjata itu jangan sembarangan dipakai karena saking dahsyatnya
dan hanya bisa sekali dipakai. Karno
lantas pulang ke Ngestino. Setelah itu
Nardo menemui Arjuno menanyakan apa maunya.
Narodo kaget ketika dijawab dialah Arjuno. Seketika mereka berdua menyusul Karno. Untung masih bisa dikejar. Tapi ketika senjata sakti itu diminta lagi
Karno menolak meskipun Narodo mengatakan sebenarnya panah sakti itu untuk Arjuno. Perdebatan makin panas lantas terjadi
perkelahian. Ternyata kesaktian keduanya
seimbang. Akhirnya Arjuno hanya mampu
merebut sarung panahnya saja. Kata
Narodo suatu ketika nanti panah sakti Kunto akan mencari sarungnya.
Sarung
inipun sudah lumayan sakti. Dia bawa pulang dan dengan sarung panah inilah dia
bisa memotong tali puser Gatotkoco yang semula tidak bisa dipotong dengan
senjata apapun. Tapi sayang sarung panah
itu masuk ke badannya sehingga nanti Gatotkoco akan rawan kepada panah sakti
Kunto wijoyondanu.
Suatu
hari Karno bertemu dengan Surtikanti, anak Prabu Salya dari negri
Mondoroko. Surtikanti sebenarnya sudah
dijodohkan dengan Suyudono putra mahkota Ngestino tapi tidak jadi karena lantas
pacaran dengan karno. Mereka berpacaran
sembunyi sembunyi. Di malam hari Karno
sering melompati pagar keputren (asrama putri) di istana Mondoroko. Awalnya tidak ada yang tahu, tapi suatu malam
ada prajurit jaga yang melihat. Ketika dikejar
dia mampu lolos tapi prajurit itu melihat wajahnya dan melapor bahwa ada yang
masuk keputren dan diduga Arjuno. Wajahnya
memang mirip dengan Arjuno lagipula Arjuno sudah punya reputasi sebagai playboy
yang punya pacar di mana mana.
Prabu
Salyo yang mendapat laporan itu lalu marah kepada Arjuno. Arjuno tentu saja
membantah tuduhan itu. Dia lalu berjanji
sanggup menangkap pencuri hati itu dalam waktu seminggu. Maka malam harinya Arjuno ikut berjaga di
keputren. Malam pertama maling hati itu
ditunggu tidak datang seolah tahu kalau mau dijebak. Seminggu hampir berlalu tetap saja dia tidak
datang. Kesempatan Arjuno tinggal
semalam. Untunglah pada malam terakhir ketika lewat tengah malam dia melihat
ada bayangan hitam melompati tembok tinggi keputren. Arjuno memburunya masuk keputren. Si maling hati berhasil dikejar tap dia tidak
mau diusir bahkan melawan. Terjadilah perkelahian
seru. Ilmu keduanya ternyata seimbang sehingga Betoro Narodo terpaksa
memisahkan karena keduanya nyaris memakai senjata pusaka yang dahsyat. Dalam perkelahian itu Karno cedera di kepala.
Setelah
ketahuan sering datang ke keputren di malam hari dan dicurigai sudah terjadi hal
yang diinginkan maka Karno dan Surtikanti dinikahkan. Meskipun demikian Prabu Salyo agak kecewa
dengan menantunya ini karena dia ingin punya menantu Suyudono yang calon raja.
Suatu
hari Raja Ngestino Prabu Destoroto mengadakan pertandingan antara Kurowo dengan
Pendowo. Dalam semua cabang olah raga
yang dipertandingkan seperti panahan, pencak silat dsb Kurowo selalu
kalah. Maka suatu hari Suyudono
mengusulkan agar Karno diajukan sebagai jago Kurowo untuk melawan Arjuno dalam
lomba panahan. Tapi kesombongan Pendowo
limo muncul. Mereka menolak bertanding
melawan Karno dengan alasan tidak sederajat.
Mereka adalah satria anak raja sedangkan Karno hanya anak kusir. Karno yang dipermalukan sejak itu merasa
dendam kepada Pendowo. Suyudono tidak
terima dengan penolakan tersebut dia lalu mengusulkan kepada ayahnya agar Karno
diangkat menjadi penguasa di Awonggo. Prabu
Destoroto menyetujuinya. Karno lalu
diangkat menjadi penguasa Awonggo dengan gelar Adipati Karno. Dengan
demikian dia menjadi sederajat dengan Pendowo Limo dan layak mengikuti lomba. Dalam lomba itu dia mampu meladeni kesaktian
Pendowo Limo. Karena kejadian itu Karno
merasa berhutang budi kepada Kurowo dan bersumpah setia kepada mereka. Dia bertekad
membela mereka dalam perang Baroto yudo joyo binangun.
Menjelang
perang Baroto yudo kekuatan Karno makin besar dan makin berpengaruh di kubu
Kurowo. Pendowo limo lalu mengangkat
Kresno, saudara sepupunya yang menjadi raja di Dwarawati sebagai penasehat
mereka. Kresno ini adalah keponakan
Kunti, anak dari kakak kunti, Prabu Basudewo.
Kresno dikenal sebagai pemimpin yang cerdas. Dialah pengatur strategi
politik dan militer Pendowo.
Salah
satu akal Kresno adalah melobby Karno. Suatu
hari Kresno mengajak bibinya, Dewi Kunti menemui Karno. Mereka membujuk Karno dengan tujuan mengajak
Karno gabung ke kubu Pendowo dengan alasan Karno adalah kakak kandung Pendowo
terutama Judistiro, Brotoseno dan Arjuno meskipun beda ayah. Tapi Karno menolak dengan tegas. Dia sampaikan bahwa dia sudah bersumpah setia
kepada Kurowo akan membantu dalam keadaan senang maupun susah. Menurut dia seorang satria harus memiliki
prinsip kesetiaan seperti itu. Dia malah
mempertanyakan di mana tanggung jawab Kunti sebagai ibu. Selama ini dia tidak
pernah dibesarkan dan didik oleh Kunti. Dia
justru dibuang dan diangkat anak oleh seorang kusir. Ini sangat menyakitkannya. Dewi Kunti hanya bisa menangis mendengar ini.
Akhirnya
perang Baroto yudo tidak terhindarkan. Karno
memang sakti tapi dia bukan ahli strategi yang canggih. Dalam perang itu dia termakan oleh strategi
Kresno yang lihai. Kresno tahu bahwa
Karno memiliki senjata sakti yang nyaris tidak ada lawannya. Maka ketika Karno menjadi senopati (komandan)
pasukan Ngestino di hari kelimabelas, Kresno menunjuk Gatotkoco sebagai
komandan pasukan Ngamarto. Awalnya pertarungan
keduanya seimbang bahkan pelan pelan Gatotkoco yang lebih muda dan lebih kuat
mampu mendominasi perkelahian. Karena itu
Karno terpaksa memakai panah saktinya – Kunto wijoyondanu. Gatotkoco tahu dia tidak akan mampu melawan
panah sakti tersebut maka dia mengindarinya dengan terbang sangat tinggi. Tapi Kunto mampu mengejar ke manapun Gatotkoco
terbang. Akhirnya kunto kembali ke
sarungnya. Gatotkoco gugur sebagai
pahlawan Ngamarto ketika Kunto mengenainya di langit. Ketika jatuh dia masih semat mengarahkan
tubuhnyake pasukan Ngestino sehingga banyak korban jatuh terkena badannya.
Barulah
di hari berikutnya Kresno menunjuk Arjuno sebagai senopati pasukan Ngamarto. Artinya senjata pamungkas Karno yaitu Kunto sudah
hilang karena hanya bisa dipakai sekali saja.
Kali ini terjadi perang tanding dengan adu ketrampilan memanah dengan
menaiki kereta perang. Karno naok kereta
perang yang dikusiri oleh mertuanya sendiri yaitu Prabu Salyo. Sedangkan Arjuno dikusiri oleh Kresno
sendiri.
Di
episode inilah ada dialog antara Arjuno dengan Kresno yang terkenal sebagai
filsafat Bagawad Gita. Intinya Arjuno
mempertanyakan kebenaran peperangan tersebut.
Dia harus membunuh orang yang dikasihi dan orang dekatnya sendiri. Bukankah itu sebuah kekejaman. Berarti dia menjadi pembunuh, menjadi orang
berdosa. Kresno menjawab bahwa kalau dilihat
secara sempit, ibarat sebuah snapshot, pembunuhan akan nampak sebagai sebuah
kejahatan sehingga pelakunya berdosa. Namun
jika dilihat secara luas, secara keseluruhan, ibaratnya keseluruhan
sinematografi, lengap smeua konteksnya, maka akan terlihat bahwa dia sedang
berbuat kebaikan, yaitu menyirnakan angkara murka, menegakkan keadilan, membela
kebenaran. Asala semua itu dilakukan
bukan berdasarkan dendam atau emosi tapi dengan niat baik dan hati bersih.
Jika
dilakukan dengan jujur dan bersih sebenarnya perang itu dimenangi oleh
Karno. Tapi dia dicurangi dua kali. Pertama
oleh Kresno sehingga dia tidak bisa lagi memakai panah saktinya. Kedua oleh
Prabu Salyo. Ketika suatu saat Karno
sedang membidik Arjuno dengan panahnya lalu rabu Salyo memukul kudanya dengan
cemeti sehingga kuda itu mendadak melompat ke depan sehingga Karno yang berdiri
di belakang Salyo agak terhuyung. Akibatnya bidikannya meleset dan hanya
mengenai mahkota Arjuno. Sebaliknya ketika
Arjuno sedang membidiknya maka Salyo melambatkan jalan keretanya sehingga suatu
saat panah sakti Arjuno mengenai leher Karno dan menamatkan riwayatnya.
Adegan
paling mangharukan dalam lakon ini adalah ketika istri Karno mendengar berita
kematiannya. Surtikanti sangat terkejut
da sedih sehingga dia bunuh diri. Ketika
saya menonton pentas Ki Narto Sabdo di mBulaksumur, Yogyakarta, memainkan ini
dengan piawai. Di saat menjelang
subuh. Ketika suasana sedang hening. Dia
melakukan suluk (nyanyi) dengan nada rendah dan pelan, diiringi rebab dan
gender. Dia lalu menarasikan kesedihan Sutikanti yang lantas bunuh diri. Adegan ini sangat mengharukan sehingga banyak
penonton menitikkan air mata.
Tamat
No comments:
Post a Comment