Thursday, February 14, 2019

Banjaran Karno


Banjaran (biografi) Karno

Mungkin anda sudah pernah mendengar frasa Bagavad Gita yang berasal dari wira carita Mahabarata.  Barangkali anda pernah melihat lukisan atau foto Karno yang sedang bertarung dengan Arjuno.  Atau mungkin anda pernah melihat patung dua orang satria bertarung dengan menaiki kereta berkuda.  Ada berbagai versi cerita tentang Karno.  Berikut ini adalah cerita dalam versi Jowo.

Dewi Kunti Nalibroto adalah ibu kandung dari Karno.  Jadi Karno adalah kakak kandung tertua dari Pendowo, terutama Judistiro, Bimo dan Arjuno.  Dewi Kunti ini adalah anak raja Basukunti dari kerajaan Manduro.  Ketika remaja Kunti punya seorang guru bernama Begawan Druwoso yang mengajari berbagai macam ilmu kepada keluarga raja.  Salah satu ilmu yang diajarkan adalah ilmu untuk memanggil dewa.  Kunti yang menyukai matahari pagi lantas memanggil dewa matahari Betoro Suryo.  Maka datanglah Betoro Suryo dan terjadilah hubungan sehingga Kunti hamil. Ayahnya tentu saja marah lalu memanggil Begawan Druwoso untuk mencari jalan keluar masalah ini. Sang Begawan akhirnya menemukan jalan untuk menyelamatkan muka keluarga raja.  Sang bayi dilahirkan lewat telinga sehingga keperawanan Kunti tetap terjaga dan bayinya selamat.  Bayi itu lantas diberi nama Karno yang artinya telinga.  Nama lainnya adalah Suryo putro dan Suryo Atmojo, keduanya sama artinya yaitu anak (dewa) matahari.  Ada keajaiban lain yaitu ketika bayi Karno lahir dia sudah memakai baju dan anting yang bersinar.  Keduanya adalah pusaka sakti pemberian ayahnya yang kasiatnya membuat Karno kebal segala macam senjata.

Namun Dewi Kunti ketika melahirkan Karno ini masih belum menikah.  Maka bayi Karno lalu ditaruh di sebuah keranjang lalu dihanyutkan di sebuah sungai.  Kemudian bayi Karno ditemukan oleh seorang kusir bernama Adiroto yang bekerja di istana Ngestino sebagai kusir raja.  Dia lalu dibesarkan oleh Adiroto.


Sebagai anak kusir maka dia mewarisi profesi ayahnya yaitu merawat kuda dan mengedarai kereta kerajaan.  Karena itu dia bisa dekat dengan anak anak raja sehingga dia bisa menguping ketika Durno mengajar Pendowo dan Kurowo.  Saat itu yang berkuasa adalah Destoroto ayah dari para Kurowo.  Karno yang pintar menempatkan diri jadi dekat dengan para Kurowo.  Jadi dia meguasai semua ilmu yang dimiliki para Pendowo dan Kurowo.


Ketika mereka remaja dan ketegangan antara Pendowo dan Kurowo makin meningkat maka Karno ikut bertapa untuk mendapatkan kesaktian dari para dewa.  Suatu saat dia topo broto (bertapa) di gunung Indrokilo tidak jauh dari tempat Arjuno bertapa.  Betoro Narodo diperintah oleh Betoro Guru untuk memberikan sebuah senjata yang sangat sakti berupa panah bernama Kunto Wijoyondanu.  Panah ini bukan sembarang panah tapi panah yang bisa mengejar sasarannya. Jadi lintasannya tidak hanya lurus tapi bisa berbelok belok.  Meskipun sasarannya terbang sekalipun dia akan terus mengejar sampai kena.   


Ketika Narodo sampai di gunung Indrikilo ini dia bingung melihat dua satria sedang betapa dan wajahnya mirip.  Dia mengira Karno adalah Arjuno maka dia datangi Karno lantas dia serahkan senjata sakti tersebut tanpa mengecek ktpnya.  Dia juga berpesan agar senjata itu jangan sembarangan dipakai karena saking dahsyatnya dan hanya bisa sekali dipakai.   Karno lantas pulang ke Ngestino.  Setelah itu Nardo menemui Arjuno menanyakan apa maunya.  Narodo kaget ketika dijawab dialah Arjuno.  Seketika mereka berdua menyusul Karno.  Untung masih bisa dikejar.  Tapi ketika senjata sakti itu diminta lagi Karno menolak meskipun Narodo mengatakan sebenarnya panah sakti itu untuk Arjuno.  Perdebatan makin panas lantas terjadi perkelahian.  Ternyata kesaktian keduanya seimbang.  Akhirnya Arjuno hanya mampu merebut sarung panahnya saja.  Kata Narodo suatu ketika nanti panah sakti Kunto akan mencari sarungnya.


Sarung inipun sudah lumayan sakti. Dia bawa pulang dan dengan sarung panah inilah dia bisa memotong tali puser Gatotkoco yang semula tidak bisa dipotong dengan senjata apapun.  Tapi sayang sarung panah itu masuk ke badannya sehingga nanti Gatotkoco akan rawan kepada panah sakti Kunto wijoyondanu.

Suatu hari Karno bertemu dengan Surtikanti, anak Prabu Salya dari negri Mondoroko.   Surtikanti sebenarnya sudah dijodohkan dengan Suyudono putra mahkota Ngestino tapi tidak jadi karena lantas pacaran dengan karno.  Mereka berpacaran sembunyi sembunyi.  Di malam hari Karno sering melompati pagar keputren (asrama putri) di istana Mondoroko.  Awalnya tidak ada yang tahu, tapi suatu malam ada prajurit jaga yang melihat.  Ketika dikejar dia mampu lolos tapi prajurit itu melihat wajahnya dan melapor bahwa ada yang masuk keputren dan diduga Arjuno.  Wajahnya memang mirip dengan Arjuno lagipula Arjuno sudah punya reputasi sebagai playboy yang punya pacar di mana mana. 

Prabu Salyo yang mendapat laporan itu lalu marah kepada Arjuno. Arjuno tentu saja membantah tuduhan itu.  Dia lalu berjanji sanggup menangkap pencuri hati itu dalam waktu seminggu.  Maka malam harinya Arjuno ikut berjaga di keputren.   Malam pertama maling hati itu ditunggu tidak datang seolah tahu kalau mau dijebak.  Seminggu hampir berlalu tetap saja dia tidak datang.  Kesempatan Arjuno tinggal semalam. Untunglah pada malam terakhir ketika lewat tengah malam dia melihat ada bayangan hitam melompati tembok tinggi keputren.  Arjuno memburunya masuk keputren.  Si maling hati berhasil dikejar tap dia tidak mau diusir bahkan melawan.  Terjadilah perkelahian seru. Ilmu keduanya ternyata seimbang sehingga Betoro Narodo terpaksa memisahkan karena keduanya nyaris memakai senjata pusaka yang dahsyat.  Dalam perkelahian itu Karno cedera di kepala.

Setelah ketahuan sering datang ke keputren di malam hari dan dicurigai sudah terjadi hal yang diinginkan maka Karno dan Surtikanti dinikahkan.  Meskipun demikian Prabu Salyo agak kecewa dengan menantunya ini karena dia ingin punya menantu Suyudono yang calon raja.

Suatu hari Raja Ngestino Prabu Destoroto mengadakan pertandingan antara Kurowo dengan Pendowo.  Dalam semua cabang olah raga yang dipertandingkan seperti panahan, pencak silat dsb Kurowo selalu kalah.  Maka suatu hari Suyudono mengusulkan agar Karno diajukan sebagai jago Kurowo untuk melawan Arjuno dalam lomba panahan.  Tapi kesombongan Pendowo limo muncul.  Mereka menolak bertanding melawan Karno dengan alasan tidak sederajat.  Mereka adalah satria anak raja sedangkan Karno hanya anak kusir.  Karno yang dipermalukan sejak itu merasa dendam kepada Pendowo.  Suyudono tidak terima dengan penolakan tersebut dia lalu mengusulkan kepada ayahnya agar Karno diangkat menjadi penguasa di Awonggo.  Prabu Destoroto menyetujuinya.  Karno lalu diangkat menjadi penguasa Awonggo dengan gelar Adipati Karno.   Dengan demikian dia menjadi sederajat dengan Pendowo Limo dan layak mengikuti lomba.  Dalam lomba itu dia mampu meladeni kesaktian Pendowo Limo.  Karena kejadian itu Karno merasa berhutang budi kepada Kurowo dan bersumpah setia kepada mereka. Dia bertekad membela mereka dalam perang Baroto yudo joyo binangun.
 
Menjelang perang Baroto yudo kekuatan Karno makin besar dan makin berpengaruh di kubu Kurowo.  Pendowo limo lalu mengangkat Kresno, saudara sepupunya yang menjadi raja di Dwarawati sebagai penasehat mereka.  Kresno ini adalah keponakan Kunti, anak dari kakak kunti, Prabu Basudewo.  Kresno dikenal sebagai pemimpin yang cerdas. Dialah pengatur strategi politik dan militer Pendowo.


Salah satu akal Kresno adalah melobby Karno.  Suatu hari Kresno mengajak bibinya, Dewi Kunti menemui Karno.  Mereka membujuk Karno dengan tujuan mengajak Karno gabung ke kubu Pendowo dengan alasan Karno adalah kakak kandung Pendowo terutama Judistiro, Brotoseno dan Arjuno meskipun beda ayah.  Tapi Karno menolak dengan tegas.  Dia sampaikan bahwa dia sudah bersumpah setia kepada Kurowo akan membantu dalam keadaan senang maupun susah.  Menurut dia seorang satria harus memiliki prinsip kesetiaan seperti itu.  Dia malah mempertanyakan di mana tanggung jawab Kunti sebagai ibu. Selama ini dia tidak pernah dibesarkan dan didik oleh Kunti.  Dia justru dibuang dan diangkat anak oleh seorang kusir.  Ini sangat menyakitkannya.  Dewi Kunti hanya bisa menangis mendengar ini.  

Akhirnya perang Baroto yudo tidak terhindarkan.  Karno memang sakti tapi dia bukan ahli strategi yang canggih.  Dalam perang itu dia termakan oleh strategi Kresno yang lihai.  Kresno tahu bahwa Karno memiliki senjata sakti yang nyaris tidak ada lawannya.  Maka ketika Karno menjadi senopati (komandan) pasukan Ngestino di hari kelimabelas, Kresno menunjuk Gatotkoco sebagai komandan pasukan Ngamarto.  Awalnya pertarungan keduanya seimbang bahkan pelan pelan Gatotkoco yang lebih muda dan lebih kuat mampu mendominasi perkelahian.  Karena itu Karno terpaksa memakai panah saktinya – Kunto wijoyondanu.  Gatotkoco tahu dia tidak akan mampu melawan panah sakti tersebut maka dia mengindarinya dengan terbang sangat tinggi.  Tapi Kunto mampu mengejar ke manapun Gatotkoco terbang.  Akhirnya kunto kembali ke sarungnya.  Gatotkoco gugur sebagai pahlawan Ngamarto ketika Kunto mengenainya di langit.  Ketika jatuh dia masih semat mengarahkan tubuhnyake pasukan Ngestino sehingga banyak korban jatuh terkena badannya.

Barulah di hari berikutnya Kresno menunjuk Arjuno sebagai senopati pasukan Ngamarto.  Artinya senjata pamungkas Karno yaitu Kunto sudah hilang karena hanya bisa dipakai sekali saja.  Kali ini terjadi perang tanding dengan adu ketrampilan memanah dengan menaiki kereta perang.  Karno naok kereta perang yang dikusiri oleh mertuanya sendiri yaitu Prabu Salyo.  Sedangkan Arjuno dikusiri oleh Kresno sendiri. 


Di episode inilah ada dialog antara Arjuno dengan Kresno yang terkenal sebagai filsafat Bagawad Gita.  Intinya Arjuno mempertanyakan kebenaran peperangan tersebut.  Dia harus membunuh orang yang dikasihi dan orang dekatnya sendiri.  Bukankah itu sebuah kekejaman.  Berarti dia menjadi pembunuh, menjadi orang berdosa.  Kresno menjawab bahwa kalau dilihat secara sempit, ibarat sebuah snapshot, pembunuhan akan nampak sebagai sebuah kejahatan sehingga pelakunya berdosa.  Namun jika dilihat secara luas, secara keseluruhan, ibaratnya keseluruhan sinematografi, lengap smeua konteksnya, maka akan terlihat bahwa dia sedang berbuat kebaikan, yaitu menyirnakan angkara murka, menegakkan keadilan, membela kebenaran.  Asala semua itu dilakukan bukan berdasarkan dendam atau emosi tapi dengan niat baik dan hati bersih.

Jika dilakukan dengan jujur dan bersih sebenarnya perang itu dimenangi oleh Karno.  Tapi dia dicurangi dua kali. Pertama oleh Kresno sehingga dia tidak bisa lagi memakai panah saktinya. Kedua oleh Prabu Salyo.  Ketika suatu saat Karno sedang membidik Arjuno dengan panahnya lalu rabu Salyo memukul kudanya dengan cemeti sehingga kuda itu mendadak melompat ke depan sehingga Karno yang berdiri di belakang Salyo agak terhuyung. Akibatnya bidikannya meleset dan hanya mengenai mahkota Arjuno.  Sebaliknya ketika Arjuno sedang membidiknya maka Salyo melambatkan jalan keretanya sehingga suatu saat panah sakti Arjuno mengenai leher Karno dan menamatkan riwayatnya.


Adegan paling mangharukan dalam lakon ini adalah ketika istri Karno mendengar berita kematiannya.  Surtikanti sangat terkejut da sedih sehingga dia bunuh diri.  Ketika saya menonton pentas Ki Narto Sabdo di mBulaksumur, Yogyakarta, memainkan ini dengan piawai.  Di saat menjelang subuh.  Ketika suasana sedang hening. Dia melakukan suluk (nyanyi) dengan nada rendah dan pelan, diiringi rebab dan gender. Dia lalu menarasikan kesedihan Sutikanti yang lantas bunuh diri.  Adegan ini sangat mengharukan sehingga banyak penonton menitikkan air mata.  

Tamat

No comments:

Post a Comment